Aku tak tahu harus
menulis apa tengah hari ini, tapi entah mengapa keinginan saraf otakku untuk
menulis menggiring tangan serta jemariku untuk kembali menyapa dan menyentuh
laptopku yang manis. Aku juga tak tahu mengapa semua memori dalam otakku kembali
bangkit. Ntah mengapa sejak semalam aku teringat masa kecilku, ketika aku
menangis dicubit ibuku tersayang karena baju seragam SD ku yang kotor akibat
bermain dengan teman sepermainanku. Aku teringat ketika aku masih ingusan dan
menangis ketika harus pergi kesekolah pada kondisi yang masih sangat mengantuk
dipagi hari, dan masih banyak kisah lucu lainnya yang membuatku tersenyum kala
mengingat masa-masa SD ku.
Namun masa SD ku tak
seindah masa SMP dan SMA ku, dikala duduk dibangku sekolah menengah pertama dan
sekolah menengah atas, aku harus mengusahakan sendiri biaya sekolahku agar aku
bisa tetap kembali bersekolah seperti teman-teman sebayaku yang lain. Saat itu,
ayahku hanya seorang pebisnis yang bangkrut. Lalu ia juga menjadi seorang
supir, penjual bawang goreng hingga akhirnya menjadi penjual aksesoris handphone. Ibuku sempat menjadi TKI di
Singapura beberapa tahun demi membantu ayahku mencari nafkah. Lalu, ia kembali
ke Indonesia. Namun tak berapa lama kemudian ayah dan ibuku bercerai.
Ketidaksanggupan ayah
dan ibuku memberikan pendidikan yang layak untuk keempat buah hatinya kala itu
adalah sebuah pelajaran yang tak terhingga bagiku. Hidup mewah yang kurasakan
sejak kecil hilang ketika usiaku menginjak remaja. Kami pernah mengalami
peristiwa kehabisan persediaan beras. Mau hutang pada tetangga sudah tidak
mungkin lagi. Sudah banyak tetangga yang dimintai tolong untuk meminjami uang
atau beras. Belum ada satupun yang kami bayar. Kami malu bila harus datang lagi
ke salah satu dari mereka untuk meminjam uang atau beras. Begitupula dengan
uang sekolah, aku sudah dua kali memohon keringanan dari kepala sekolah,
sekarang aku tinggal membayar separuh dari uang sekolah semula. Namun ini masih
sangat terasa berat sekali. Aku pernah meminta bantuan pada seseorang ternyata
tidak diberi, melainkan mendapatkan jawaban yang sangat menyakitkan hati.
Dengan angkuh dia mengatakan
: “Kalau memang tidak mempunyai uang
mengapa sekolah disana? Daripada ngerepotin orang lain, mendingan kerja aja. Jangan sok mau sekolah deh, makan aja keluarga lu sering ngutang!”.
Aku dan adik-adikku tidak
pernah menuntut. Makan hanya dengan nasi dan garam pun kami diam saja, meski
banyak teman kami makan nasi dengan lauk dan sayur. Kami juga jarang sekali
meminta uang jajan. Kesulitan dan penghinaan bertubi-tubi dari teman-teman
sekelas membuatku bangkit, awalnya aku sering bolos karena takut ditagih uang sekolah oleh wali kelasku,
aku diminta berdiri dikantor guru jika aku terlambat membayar uang sekolah
membuatku malu. Aku harus sekolah, aku harus menjadi juara kelas, aku harus
menjadi orang sukses. Aku harus membuat mereka berhenti mengolok-olokku dan
keluargaku. Inilah menjadi pemicu bagiku untuk sekolah sambil bekerja.
Aku tumbuh menjadi
gadis yang ambisius, aku selalu berusaha keras untuk apa yang ku inginkan, aku
berusaha sekeras mungkin mencari uang dengan cara yang benar ketika aku masih
duduk dibangku sekolah, ku sabet semua penghargaan dikelas, dan sekolah. Juara
kelas, juara olimpiade, juara lomba ini dan itu ku raih, itu semua karena aku
sudah tidak tahan diolok-olok teman sekelasku sebagai anak pemalas yang suka
membolos. Namun aku tidak mungkin dan tidak dapat menerangkan pada merekaa
tentang kesulitan hidup yang ku jalani.
Kemarin malam, ketika
salah satu teman memberitakan seorang anak terancam tak dapat mengikuti ujian
karena masih menunggak biaya sekolah, hatiku tiba-tiba terasa sakit.
Seolah-olah aku melihat diriku sendiri. Dulu, setiap hendak ujian, aku harus
dipenuhi ketakutan karena ketidaksanggupan orangtuaku melunasi uang sekolahku. Miris
rasanya jika harus ada anak yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi yang
dialami oleh keluarganya. Seandainya setiap orang mau membantu satu anak saja,
maka tidak akan ada lagi anak Indonesia yang berhenti sekolah karena masalah
ekonomi.
Pemerintah sudah
saatnya memberikan anggaran biaya pendidikan yang lebih besar dari sebelumnya.
Banyak anak-anak yang kecerdasannya diatas rata-rata namun tidak dapat
mengenyam pendidikan yang layak hanya karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Disisi
lain, banyak anak-anak yang berasal dari keluarga mampu namun menyia-nyiakan
dan melupakan pendidikannya. Miris sekali pemandangan seperti ini.
Saya memutuskan
memberikan bantuan bagi Lisa, memberikan kebahagiaan pada gadis kecil ini agar
dapat mengikuti ujian seperti teman-temannya yang lain. Memberikan sebungkus
nasi hanya menghilangkan penderitaan akibat lapar. Namun memberikan kesempatan
bersekolah kepada satu orang, akan membantunya seumur hidup! Aku punya janji
yang harus kutepati dalam hidup ini, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa” dan
aku harus menepatinya. Gadis kecil ini tak perlu tahu siapa yang menolongnya,
karena tugasnya hanya belajar dengan baik dan berbakti kepada orangtuanya.
Dunia ini akan lebih indah
jika kita saling membantu sesama, tak peduli apa sukunya, apa warna kulitnya
dan apa agamanya, karena kebaikan tak terbatas pada suku, warna kulit dan
agama.
Majulah! Majulah! Majulah! Berikan yang terbaik bagi kehidupan..
Majulah! Majulah! Majulah! Berikan yang terbaik bagi kehidupan..
Semoga aku menjadi obat bagi yang sakit,
Semoga aku menjadi jembatan bagi yang menyebrang,
Semoga aku menjadi pelita bagi yang dalam kegelapan,
1 komentar:
Salut...semoga tindakan baik ini banyak di tiru
Posting Komentar