Senin, 26 Desember 2016

Volunteering Stories in Myanmar.

Do your little bit of good where you are; it’s those little bits of good put together that overwhelm world. ~ Desmond Tutu

Sebelum memulai perjalanan keluar negeri, melayani sesama sudah bagian hidupku sehari-hari selama enam tahun belakangan. Aku memberikan hidupku secara teratur untuk melayani dan membantu sesama, Setiap saya memutuskan untuk travelling, menjadi relawan selalu menjadi salah satu hal yang wajib untuk kulakukan. Tahun lalu ketika melakukan perjalanan di Cambodia dan Thailand selama satu bulan, aku memberikan 2 hari dari perjalananku di Cambodia untuk kegiatan kemanusiaan. Satu hari di kampung terapung untuk mengajar Bahasa Inggris kepada anak-anak dan satu hari di Bank Darah untuk mendonorkan darah. Sedangkan di Thailand, aku memberikan 3 hari dari perjalananku untuk menjadi relawan di Dhammagiri Foundation – Mae Hong Son. Disana, aku membantu dalam bentuk tenaga dan membawa sejumlah uang donasi yang telah ku kumpulkan di Medan, Indonesia.

“You don’t have to be rich to travel well.” Kutipan ini nampaknya benar. bukan karena aku belum cukup kaya, tetapi aku percaya bahwa untuk memiliki perjalanan yang baik, uang bukan satu-satunya hal yang wajib, uang hanya salah satunya untuk menjadikan perjalanan wisata kita lebih baik. Sama seperti tahun lalu saat travelling di Cambodia dan Thailand, tahun ini rutinitas travelling kembali dijalankan dan pilihan jatuh pada Negara Myanmar.

Sebelum pergi ke Myanmar, aku menyampaikan kabar baik kepada teman-teman bahwa aku akan menerima donasi untuk disalurkan di Myanmar, ternyata hal ini disambut baik oleh seluruh teman-teman, mereka mulai mengirimkan donasi mereka untuk dititipkan kepadaku. Aku senang sekali dapat menjadi perpanjangan tangan untuk membantu mereka menyalurkan rezekinya. Aku pribadi, bukanlah orang yang kaya dan melimpah. Hidupku yang berkecukupan namun tak berlebih membuatku memutar akal, aku memilih berkontribusi dengan caraku. Pekerjaanku sebagai guru yang telah ku lakoni selama delapan tahun menjadi bekal utama, keahlian mengajarku akan ku pergunakan untuk berkontribusi. Aku mulai mencari ‘ladang’ dimana aku bisa menyalurkan ‘benih’ yang ku miliki dengan baik.

Aku selalu bersyukur, walau tidak berkelimpahan materi namun aku berkelimpahan talenta, kira-kira itulah yang sering dikatakan oleh teman-teman kepadaku. Selain mengajar, aku memiliki sedikit keahlian memasak, bermain alat musik, sedikit bela diri dan tubuh yang sehat, dengan kelebihan yang ku miliki inilah aku berusaha untuk terus berkontribusi.

Aku pergi ke sebuah rumah sakit khusus biarawan di Yangon. Disana aku menyalurkan donasi yang terkumpul dari teman-temanku sebesar USD1300. Jivitadana Sangha Hospital, memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada biarawan dan orang-orang tidak mampu. Lalu, Aku juga menyalurkan donasi lainnya berupa jubah dan mangkuk sebanyak 40 set di Mahagandhayone Monastery di Amarapura, Mandalay. Jubah dan Mangkuk adalah kebutuhan mendasar bagi para biarawan yang berlatih. Aku juga membeli sedikit makanan untuk didonasikan disana. Mahagandhayone merupakan pusat pembelajaran terkenal di Myanmar, seluruh biarawan diberikan pendidikan monastik secara gratis disana dan diharapkan setelahnya dapat berkontribusi untuk perkembangan Agama Buddha. Jumlah biarawan yang belajar disana mencapai 1.100 orang dari berbagai kota di Myanmar dan usia para biarawan pun beragam, mulai dari 7 tahun hingga lanjut usia.

Lalu, aku juga mengunjungi sebuah sekolah khusus tuna netra yang ada di Pyin Oo Lwin. Kunjungan ini tidak ada dalam rencanaku, aku mencari informasi mengenai panti asuhan yang bisa ku kunjungi, aku berharap untuk bisa mengajar disebuah panti asuhan untuk melampiaskan rasa rinduku kepada siswaku di Medan. Lalu, aku diberitahu oleh orang lokal bahwa ada sebuah sekolah yang dikhususkan untuk tuna netra dan aku memutuskan untuk kesana. Setelah 30 menit perjalanan, aku tiba disana. Tidak ada seorangpun yang mampu berkomunikasi dalam bahasa inggris menjadi tantangan tersendiri bagiku ketika tiba disana, akhirnya mereka mencari seorang guru yang bisa berbahasa inggris dan beliau menjadi pemandu sekaligus penerjemahku ketika berkomunikasi dengan orang-orang disana. Aku menghabiskan dua jam disana dengan berkeliling melihat situasi dan bangunan sekolah. Pendiri sekolah tersebut adalah seorang biarawan Buddhis yang bernama Sayadaw U Nye Ya yang juga penyandang tuna netra. Disekolah tersebut selain diajarkan pelajaran umum seperti matematika, bahasa inggris, dan pelajaran umum lainnya, siswa juga diajarkan keahlian seperti memijat, mereparasi telepon genggam, dan lain sebagainya secara gratis. Tentu saja untuk pelajaran umum, mereka menggunakan braille. Mereka juga memperlihatkan bagaimana menulis dan membaca dengan huruf braille itu kepadaku. Di sisi belakang sekolah, aku bertemu dengan seorang anak perempuan berusia sekitar 10 tahun yang sedang menikmati makan malamnya. Dia mampu melihat seperti orang pada umumnya, namun yang menjadi perhatianku adalah ia terlahir tidak sempurna, ia tidak memiliki kedua tangan seperti orang pada umumnya dan harus makan dengan kaki. Tidak hanya makan, juga melakukan aktivitas lain dengan kakinya, salah satunya menulis. Aku sempat duduk cukup lama disampingnya dan ia menulis namanya di buku yang ku bawa. Sebuah pelukan ku berikan sebagai penguat dan penyemangat baginya walau ku tahu ia sudah cukup kuat dan semangat selama ini. Sebelum meninggalkan sekolah itu, aku memberikan sedikit donasi yang dikumpulkan dari teman-temanku sebesar USD200. Aku tahu itu bukan jumlah yang cukup besar, namun aku berharap itu dapat membantu sekolah tersebut karena mereka juga telah membantu memberikan harapan kepada para penyandang tuna netra. Aku belajar bersyukur disana, kedua mataku yang mampu melihat dunia adalah alasannya. Aku mampu melihat dunia yang indah ini  dengan kedua mataku.

Saat melakukan trekking dari Kalaw ke Inle Lake, aku bertemu dengan sekelompok orang lokal ditengah perjalanan kami. Mereka berbincang sejenak dengan pemandu kami dan aku bertanya kepada pemandu apa yang mereka katakan. Lalu pemandu kami mengatakan bahwa bapak tersebut bertanya kepadanya apakah memiliki obat karena beliau terluka di tengah perjalanannya. Sayangnya pemandu kami tidak membawa persediaan obat apapun. Aku bertanya apakah aku boleh melihat luka bapak tersebut. Saat itu, salah satu temanku memiliki plester dan aku menawarkan diri untuk mengobati luka tersebut. Tanpa banyak bicara, ku buka ranselku dan mengeluarkan botol air minumku dan tisu untuk membersihkan lukanya. Ku minta satu plester dari temanku. Setelah membersihkannya dengan air dan mengeringkannya dnegan tisu, aku membalutkan plester agar luka tersebut tidak terkontaminasi dengan bakteri. Bapak tersebut bertanya kepada pemandu kami darimana asal Negara kami, dan pemandu kami menjawab ‘Indonesia’. Bapak tersebut tersenyum lebar kepadaku dan mengucapkan terima kasih sebanyak yang ia bisa. Senang sekali berkesempatan menolong sesama walau sedang berada di hutan sekalipun. Hidup terasa jauh lebih bermakna dan bermanfaat ketika berkesempatan untuk membantu sesama.

Selanjutnya ketika mengunjungi The Ancient City of Bagan, aku memutuskan untuk menginap di sebuah wihara yang direkomendasikan oleh salah satu teman di Yangon. Wihara ini bukanlah wihara khusus yang menerima wisatawan asing untuk menginap. Ketika aku menginjakkan kaki disana, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh kepala wihara dan salah satu relawan yang mengurus wihara disana adalah ‘Mengapa kalian tidak menginap di hotel?’. Well, sebenarnya tujuannya bukan menghemat biaya akomodasi semata, melainkan ingin merasakan langsung dan mengamati langsung kehidupan monastik yang ada di Myanmar. Aku bercerita mengenai berapa lama aku menghabiskan waktu di Myanmar, apa yang akan ku lakukan dan yang sudah dilakukan. Yang tak kalah penting adalah meyakinkan mereka bahwa kami adalah ‘orang baik-baik’. Ku lihat kepala wihara sedikit bingung, namun akhirnya beliau mengizinkanku menginap. Saat ditanya, “Berapa lama kalian akan menginap?”, giliranku yang bingung! HAHAHA. Maklum, aku tak pernah membuat patokan seperti itu dan aku spontan menjawab ‘tidak tahu, mungkin maksimal 5 malam!’. Lalu, kepala wihara menugaskan Mr. Thay untuk menunjukkan ruangan dimana kami akan tidur. Kami diberikan ruangan yang menurutku ‘mewah’ untuk ukuran wihara. Sebuah ruangan lengkap dengan pendingin ruangan, bantal, tikar, penerangan yang baik juga bersih! Lalu kami juga dibawa melihat kamar mandi, aku sedikit kaget tapi juga senang karena kamar mandi ini adalah sebuah ruangan terbuka! Tidak ada penutup, tidak ada pembatas, benar-benar kamar mandi ala Myanmar! Sebuah bak mandi yang berukuran besar sekali, memungkinkan 15 orang untuk masuk kedalam bak dan berendam! HAHAHA. Aku sedikit bingung bagaimana mungkin aku bisa mandi dengan situasi seperti itu, dan Mr.Thay mengatakan bahwa biasanya wanita Myanmar akan mandi dengan mengenakan sarung! Baiklah, aku tidak mengerti dan memilih untuk mandi tengah malam setelah semua biarawan tidur. Setiap kali akan mandi, aku akan mematikan lampu, aku mandi dalam situasi gelap dan terburu-buru karena sedikit khawatir orang lain akan muncul tiba-tiba! HAHAHA. I had so much fun anyway!

Wihara tempat aku menginap memiliki sekitar 120 biarawan laki-laki dengan rentang usia 6 tahun hingga 30 tahun yang sedang mengenyam pendidikan monastik. Mereka semua disibukkan dengan aktivitas belajar sepanjang hari dibawah bimbingan kepala wihara dan guru-guru lainnya. Senang sekali berkesempatan melihat langsung kehidupan mereka di wihara, dan aku menghabiskan banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan Mr. Thay. Beliau cukup fasih berbahasa Inggris karena pernah menghabiskan 12 tahun bekerja di Negara Singapura. Keberadaan beliau bagai dewa penolong bagiku karena ia banyak membantu menerjemahkan obrolanku ke kepala wihara yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Mr. Thay juga banyak memberitahu mengenai tradisi dan kebudayaan di Myanmar. Bahkan ia merekomendasikan sebuah wihara yang membutuhkan bantuan. Di Bagan, aku menyalurkan bantuan ke sebuah wihara di Nyaung U yang bernama Shwe Gu Orphanage For Elementary Monastic Education. Bantuan yang disalurkan adalah kebutuhan yang berdasarkan info yang diberikan oleh kepala Wihara disana. Kepala wihara Shwe-Gu Orphanage mengatakan mereka membutuhkan 25 mangkuk alumunium untuk biarawan yang sedang mengenyam pendidikan disana. Jumlah biarawan disana adalah 80 orang dengan rentang usia 6 tahun hingga 15 tahun, kebanyakan dari biarawan yang ditampung adalah dari pedesaan dan tidak memiliki orangtua lagi. Maka, kami memutuskan untuk membeli keperluan tersebut dan mendonasikannya untuk Shwe-Gu Orphanage. Tidak hanya mangkuk alumunium, kami juga mendonasikan 70 jubah untuk biarawan disana karena aku melihat jubah yang dikenakan sudah sangat usang dan sebagian tak lagi layak pakai. Lalu, kami juga menyalurkan USD300 untuk Shwe-Gu Orphanage yang bisa mereka pergunakan untuk membeli bahan makanan sehari-hari atau kebutuhan lainnya. Aku sudah melihat banyak wihara sebelum mengunjungi Shwe-Gu Orphanage, dan menurutku ini adalah Wihara yang sangat membutuhkan bantuan. Aku sangat senang bisa menyalurkan donasi yang ku kumpulkan dari teman-teman ke tempat yang tepat sasaran.

Di akhir perjalananku, tepatnya saat berada di Yangon, aku kembali melanjutkan misi terakhir sebelum kembali ke tanah air. Misi yang sudah rutin ku lakukan di tanah airku sendiri dan ketika aku berkesempatan berkunjung ke Negara lain, aku juga akan melakukannya. Aku mengunjungi National Blood Centre di Yangon. Sehari sebelumnya, ku pastikan diriku cukup istirahat dan sehat. Ya! Aku akan mendonorkan darahku untuk ke-14 kalinya dan akan ku lakukan di Yangon! Tahun 2015, aku telah melakukan hal yang sama di Siem Reap, Kamboja. Aku ajak kedua temanku dan kami bertiga berjalan kaki ke National Blood Centre. Setelah tiba disana kami mengatakan bahwa kami ingin mendonorkan darah kami. Seorang wanita yang fasih berbahasa Inggris datang menghampiri kami dan menjadi penerjemah kami juga menuntun kami untuk mengikuti setiap prosedur disana. Setelah mengisi formulir, aku diarahkan ke meja pemeriksaan hemoglobin dan golongan darah. Aku sedikit khawatir karena seringkali aku gagal mendonorkan darahku hanya karena hemoglobinku yang rendah. Namun hari itu sepertinya adalah hari keberuntunganku, hemoglobinku dalam kondisi baik untuk melakukan donor darah. Setelah itu aku dibawa ke ruangan konsultasi pra-donor darah. Di ruangan itu aku berikan beberapa pertanyaan, berupa : apakah aku cukup tidur, apakah aku mengonsumsi obat tiga hari belakangan, apakah aku sedang menstruasi dan apakah aku dalam kondisi fit hari itu.

Setelah menjawab pertanyaan itu dengan jujur dan dianggap layak menjadi pendonor, ternyata ada satu langkah terakhir yang harus ku lewati, yaitu tensi tekanan darah. Aku tak begitu khawatir untuk step ini karena aku yakin aku memiliki tensi darah yang cukup baik selama ini. Tenyata benar! Aku dinyatakan layak menjadi pendonor dan dibawa keruangan dimana 350cc darah dari tubuhku akan diambil! Hooray!!! Aku berbaring ditempat yang sudah disediakan dan siap untuk mendonorkan darahku. Saat proses pengambilan darah berlangsung, aku ditanya oleh salah satu suster, ‘apakah ini pertama kalinya aku mendonorkan darah?’, aku berasumsi bahwa pertanyaan ini muncul karena aku berulang-ulang mengingatkannya untuk sedikit pelan dan lembut saat menancapkan jarum di lenganku, plus suara jeritanku yang cukup dahsyat saat jarum ditancapkan di lenganku. Ya, bukan dibuat-buat, aku memang takut setiap melihat jarum suntik. Ku jawab pertanyaan suster tersebut sambil menunjukkan kartu donor darah milikku, ku lihat ia cukup kaget bahwa ini adalah ke-14 kalinya aku mendonorkan darah. Ku katakan kepadanya bahwa aku tak perlu menjadi dokter untuk menyelamatkan nyawa orang lain karena setiap orang bisa menyelamatkan nyawa orang lain hanya dengan mendonorkan darah.

Aku tak punya banyak uang dan harta untuk ku sumbangkan, aku juga tak punya banyak keahlian untuk ku pergunakan membantu orang lain, aku juga tahu pasti bahwa aku tak bisa membantu banyak orang karena keterbatasan yang ku miliki, namun setiap kesempatan itu datang, aku akan berusaha memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Terima kasih kepada seluruh sahabat yang mempercayaiku sebagai perpanjangan tangan untuk membantu sesama. Kepercayaan sahabat adalah yang utama dan terpenting.

Aku selalu percaya dan yakin, kita hidup untuk membantu sesama karena we cannot live only for ourselves. Aku tidak mau melewatkan kesempatan yang ada dan selalu ingin mengajak sahabat-sahabat untuk ikut serta didalamnya. Kindness gives birth to another kindness, and I believe it.



Would I consider going back? Definitely YES! 

Tidak ada komentar: