Do
your little bit of good where you are; it’s those little bits of good put
together that overwhelm world. ~ Desmond Tutu
Sebelum memulai
perjalanan keluar negeri, melayani sesama sudah bagian hidupku sehari-hari
selama enam tahun belakangan. Aku memberikan hidupku secara teratur untuk
melayani dan membantu sesama, Setiap saya memutuskan untuk travelling, menjadi relawan selalu menjadi salah satu hal yang
wajib untuk kulakukan. Tahun lalu ketika melakukan perjalanan di Cambodia dan
Thailand selama satu bulan, aku memberikan 2 hari dari perjalananku di Cambodia
untuk kegiatan kemanusiaan. Satu hari di kampung terapung untuk mengajar Bahasa
Inggris kepada anak-anak dan satu hari di Bank Darah untuk mendonorkan darah.
Sedangkan di Thailand, aku memberikan 3 hari dari perjalananku untuk menjadi
relawan di Dhammagiri Foundation –
Mae Hong Son. Disana, aku membantu dalam bentuk tenaga dan membawa sejumlah
uang donasi yang telah ku kumpulkan di Medan, Indonesia.
“You
don’t have to be rich to travel well.” Kutipan ini nampaknya
benar. bukan karena aku belum cukup kaya, tetapi aku percaya bahwa untuk
memiliki perjalanan yang baik, uang bukan satu-satunya hal yang wajib, uang
hanya salah satunya untuk menjadikan perjalanan wisata kita lebih baik. Sama
seperti tahun lalu saat travelling di
Cambodia dan Thailand, tahun ini rutinitas travelling
kembali dijalankan dan pilihan jatuh pada Negara Myanmar.
Sebelum pergi ke
Myanmar, aku menyampaikan kabar baik kepada teman-teman bahwa aku akan menerima
donasi untuk disalurkan di Myanmar, ternyata hal ini disambut baik oleh seluruh
teman-teman, mereka mulai mengirimkan donasi mereka untuk dititipkan kepadaku.
Aku senang sekali dapat menjadi perpanjangan tangan untuk membantu mereka
menyalurkan rezekinya. Aku pribadi, bukanlah orang yang kaya dan melimpah.
Hidupku yang berkecukupan namun tak berlebih membuatku memutar akal, aku memilih berkontribusi dengan caraku. Pekerjaanku
sebagai guru yang telah ku lakoni selama delapan tahun menjadi bekal utama,
keahlian mengajarku akan ku pergunakan untuk berkontribusi. Aku mulai mencari
‘ladang’ dimana aku bisa menyalurkan ‘benih’ yang ku miliki dengan baik.
Aku selalu bersyukur,
walau tidak berkelimpahan materi namun aku berkelimpahan talenta, kira-kira
itulah yang sering dikatakan oleh teman-teman kepadaku. Selain mengajar, aku
memiliki sedikit keahlian memasak, bermain alat musik, sedikit bela diri dan
tubuh yang sehat, dengan kelebihan yang ku miliki inilah aku berusaha untuk
terus berkontribusi.
Aku pergi ke sebuah
rumah sakit khusus biarawan di Yangon. Disana aku menyalurkan donasi yang
terkumpul dari teman-temanku sebesar USD1300. Jivitadana Sangha Hospital, memberikan pelayanan kesehatan gratis
kepada biarawan dan orang-orang tidak mampu. Lalu, Aku juga menyalurkan donasi
lainnya berupa jubah dan mangkuk sebanyak 40 set di Mahagandhayone Monastery di Amarapura, Mandalay. Jubah dan Mangkuk
adalah kebutuhan mendasar bagi para biarawan yang berlatih. Aku juga membeli
sedikit makanan untuk didonasikan disana. Mahagandhayone merupakan pusat
pembelajaran terkenal di Myanmar, seluruh biarawan diberikan pendidikan
monastik secara gratis disana dan diharapkan setelahnya dapat berkontribusi
untuk perkembangan Agama Buddha. Jumlah biarawan yang belajar disana mencapai
1.100 orang dari berbagai kota di Myanmar dan usia para biarawan pun beragam,
mulai dari 7 tahun hingga lanjut usia.
Lalu, aku juga
mengunjungi sebuah sekolah khusus tuna netra yang ada di Pyin Oo Lwin.
Kunjungan ini tidak ada dalam rencanaku, aku mencari informasi mengenai panti asuhan
yang bisa ku kunjungi, aku berharap untuk bisa mengajar disebuah panti asuhan
untuk melampiaskan rasa rinduku kepada siswaku di Medan. Lalu, aku diberitahu
oleh orang lokal bahwa ada sebuah sekolah yang dikhususkan untuk tuna netra dan
aku memutuskan untuk kesana. Setelah 30 menit perjalanan, aku tiba disana.
Tidak ada seorangpun yang mampu berkomunikasi dalam bahasa inggris menjadi
tantangan tersendiri bagiku ketika tiba disana, akhirnya mereka mencari seorang
guru yang bisa berbahasa inggris dan beliau menjadi pemandu sekaligus
penerjemahku ketika berkomunikasi dengan orang-orang disana. Aku menghabiskan
dua jam disana dengan berkeliling melihat situasi dan bangunan sekolah. Pendiri
sekolah tersebut adalah seorang biarawan Buddhis yang bernama Sayadaw U Nye Ya
yang juga penyandang tuna netra. Disekolah tersebut selain diajarkan pelajaran
umum seperti matematika, bahasa inggris, dan pelajaran umum lainnya, siswa juga
diajarkan keahlian seperti memijat, mereparasi telepon genggam, dan lain
sebagainya secara gratis. Tentu saja untuk pelajaran umum, mereka menggunakan braille. Mereka juga memperlihatkan
bagaimana menulis dan membaca dengan huruf braille
itu kepadaku. Di sisi belakang sekolah, aku bertemu dengan seorang anak
perempuan berusia sekitar 10 tahun yang sedang menikmati makan malamnya. Dia
mampu melihat seperti orang pada umumnya, namun yang menjadi perhatianku adalah
ia terlahir tidak sempurna, ia tidak memiliki kedua tangan seperti orang pada
umumnya dan harus makan dengan kaki. Tidak hanya makan, juga melakukan
aktivitas lain dengan kakinya, salah satunya menulis. Aku sempat duduk cukup
lama disampingnya dan ia menulis namanya di buku yang ku bawa. Sebuah pelukan
ku berikan sebagai penguat dan penyemangat baginya walau ku tahu ia sudah cukup
kuat dan semangat selama ini. Sebelum meninggalkan sekolah itu, aku memberikan
sedikit donasi yang dikumpulkan dari teman-temanku sebesar USD200. Aku tahu itu
bukan jumlah yang cukup besar, namun aku berharap itu dapat membantu sekolah
tersebut karena mereka juga telah membantu memberikan harapan kepada para
penyandang tuna netra. Aku belajar bersyukur disana, kedua mataku yang mampu
melihat dunia adalah alasannya. Aku mampu melihat dunia yang indah ini dengan kedua mataku.
Saat melakukan trekking
dari Kalaw ke Inle Lake, aku bertemu dengan sekelompok orang lokal ditengah
perjalanan kami. Mereka berbincang sejenak dengan pemandu kami dan aku bertanya
kepada pemandu apa yang mereka katakan. Lalu pemandu kami mengatakan bahwa
bapak tersebut bertanya kepadanya apakah memiliki obat karena beliau terluka di
tengah perjalanannya. Sayangnya pemandu kami tidak membawa persediaan obat
apapun. Aku bertanya apakah aku boleh melihat luka bapak tersebut. Saat itu,
salah satu temanku memiliki plester dan aku menawarkan diri untuk mengobati
luka tersebut. Tanpa banyak bicara, ku buka ranselku dan mengeluarkan botol air
minumku dan tisu untuk membersihkan lukanya. Ku minta satu plester dari
temanku. Setelah membersihkannya dengan air dan mengeringkannya dnegan tisu,
aku membalutkan plester agar luka tersebut tidak terkontaminasi dengan bakteri.
Bapak tersebut bertanya kepada pemandu kami darimana asal Negara kami, dan
pemandu kami menjawab ‘Indonesia’.
Bapak tersebut tersenyum lebar kepadaku dan mengucapkan terima kasih sebanyak
yang ia bisa. Senang sekali berkesempatan menolong sesama walau sedang berada
di hutan sekalipun. Hidup terasa jauh lebih bermakna dan bermanfaat ketika
berkesempatan untuk membantu sesama.
Selanjutnya ketika
mengunjungi The Ancient City of Bagan,
aku memutuskan untuk menginap di sebuah wihara yang direkomendasikan oleh salah
satu teman di Yangon. Wihara ini bukanlah wihara khusus yang menerima wisatawan
asing untuk menginap. Ketika aku menginjakkan kaki disana, pertanyaan pertama
yang ditanyakan oleh kepala wihara dan salah satu relawan yang mengurus wihara
disana adalah ‘Mengapa kalian tidak
menginap di hotel?’. Well,
sebenarnya tujuannya bukan menghemat biaya akomodasi semata, melainkan ingin
merasakan langsung dan mengamati langsung kehidupan monastik yang ada di
Myanmar. Aku bercerita mengenai berapa lama aku menghabiskan waktu di Myanmar,
apa yang akan ku lakukan dan yang sudah dilakukan. Yang tak kalah penting
adalah meyakinkan mereka bahwa kami adalah ‘orang baik-baik’. Ku lihat kepala
wihara sedikit bingung, namun akhirnya beliau mengizinkanku menginap. Saat
ditanya, “Berapa lama kalian akan menginap?”,
giliranku yang bingung! HAHAHA. Maklum, aku tak pernah membuat patokan seperti
itu dan aku spontan menjawab ‘tidak tahu,
mungkin maksimal 5 malam!’. Lalu, kepala wihara menugaskan Mr. Thay untuk
menunjukkan ruangan dimana kami akan tidur. Kami diberikan ruangan yang
menurutku ‘mewah’ untuk ukuran
wihara. Sebuah ruangan lengkap dengan pendingin ruangan, bantal, tikar,
penerangan yang baik juga bersih! Lalu kami juga dibawa melihat kamar mandi,
aku sedikit kaget tapi juga senang karena kamar mandi ini adalah sebuah ruangan
terbuka! Tidak ada penutup, tidak ada pembatas, benar-benar kamar mandi ala Myanmar! Sebuah bak mandi yang
berukuran besar sekali, memungkinkan 15 orang untuk masuk kedalam bak dan
berendam! HAHAHA. Aku sedikit bingung bagaimana mungkin aku bisa mandi dengan
situasi seperti itu, dan Mr.Thay mengatakan bahwa biasanya wanita Myanmar akan
mandi dengan mengenakan sarung! Baiklah, aku tidak mengerti dan memilih untuk
mandi tengah malam setelah semua biarawan tidur. Setiap kali akan mandi, aku
akan mematikan lampu, aku mandi dalam situasi gelap dan terburu-buru karena
sedikit khawatir orang lain akan muncul tiba-tiba! HAHAHA. I had so much fun anyway!
Wihara tempat aku
menginap memiliki sekitar 120 biarawan laki-laki dengan rentang usia 6 tahun
hingga 30 tahun yang sedang mengenyam pendidikan monastik. Mereka semua
disibukkan dengan aktivitas belajar sepanjang hari dibawah bimbingan kepala
wihara dan guru-guru lainnya. Senang sekali berkesempatan melihat langsung
kehidupan mereka di wihara, dan aku menghabiskan banyak waktu untuk
berbincang-bincang dengan Mr. Thay. Beliau cukup fasih berbahasa Inggris karena
pernah menghabiskan 12 tahun bekerja di Negara Singapura. Keberadaan beliau
bagai dewa penolong bagiku karena ia banyak membantu menerjemahkan obrolanku ke
kepala wihara yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Mr. Thay juga
banyak memberitahu mengenai tradisi dan kebudayaan di Myanmar. Bahkan ia
merekomendasikan sebuah wihara yang membutuhkan bantuan. Di Bagan, aku
menyalurkan bantuan ke sebuah wihara di Nyaung U yang bernama Shwe Gu Orphanage For Elementary Monastic
Education. Bantuan yang disalurkan adalah kebutuhan yang berdasarkan info
yang diberikan oleh kepala Wihara disana. Kepala wihara Shwe-Gu Orphanage mengatakan mereka membutuhkan 25 mangkuk
alumunium untuk biarawan yang sedang mengenyam pendidikan disana. Jumlah
biarawan disana adalah 80 orang dengan rentang usia 6 tahun hingga 15 tahun,
kebanyakan dari biarawan yang ditampung adalah dari pedesaan dan tidak memiliki
orangtua lagi. Maka, kami memutuskan untuk membeli keperluan tersebut dan
mendonasikannya untuk Shwe-Gu Orphanage. Tidak hanya mangkuk alumunium, kami
juga mendonasikan 70 jubah untuk biarawan disana karena aku melihat jubah yang
dikenakan sudah sangat usang dan sebagian tak lagi layak pakai. Lalu, kami juga
menyalurkan USD300 untuk Shwe-Gu
Orphanage yang bisa mereka pergunakan untuk membeli bahan makanan
sehari-hari atau kebutuhan lainnya. Aku sudah melihat banyak wihara sebelum
mengunjungi Shwe-Gu Orphanage, dan
menurutku ini adalah Wihara yang sangat membutuhkan bantuan. Aku sangat senang
bisa menyalurkan donasi yang ku kumpulkan dari teman-teman ke tempat yang tepat
sasaran.
Di akhir perjalananku,
tepatnya saat berada di Yangon, aku kembali melanjutkan misi terakhir sebelum
kembali ke tanah air. Misi yang sudah rutin ku lakukan di tanah airku sendiri
dan ketika aku berkesempatan berkunjung ke Negara lain, aku juga akan
melakukannya. Aku mengunjungi National
Blood Centre di Yangon. Sehari sebelumnya, ku pastikan diriku cukup
istirahat dan sehat. Ya! Aku akan mendonorkan darahku untuk ke-14 kalinya dan
akan ku lakukan di Yangon! Tahun 2015, aku telah melakukan hal yang sama di
Siem Reap, Kamboja. Aku ajak kedua temanku dan kami bertiga berjalan kaki ke National Blood Centre. Setelah tiba
disana kami mengatakan bahwa kami ingin mendonorkan darah kami. Seorang wanita
yang fasih berbahasa Inggris datang menghampiri kami dan menjadi penerjemah
kami juga menuntun kami untuk mengikuti setiap prosedur disana. Setelah mengisi
formulir, aku diarahkan ke meja pemeriksaan hemoglobin dan golongan darah. Aku
sedikit khawatir karena seringkali aku gagal mendonorkan darahku hanya karena
hemoglobinku yang rendah. Namun hari itu sepertinya adalah hari
keberuntunganku, hemoglobinku dalam kondisi baik untuk melakukan donor darah.
Setelah itu aku dibawa ke ruangan konsultasi pra-donor darah. Di ruangan itu
aku berikan beberapa pertanyaan, berupa : apakah aku cukup tidur, apakah aku
mengonsumsi obat tiga hari belakangan, apakah aku sedang menstruasi dan apakah
aku dalam kondisi fit hari itu.
Setelah menjawab
pertanyaan itu dengan jujur dan dianggap layak menjadi pendonor, ternyata ada
satu langkah terakhir yang harus ku lewati, yaitu tensi tekanan darah. Aku tak
begitu khawatir untuk step ini karena
aku yakin aku memiliki tensi darah yang cukup baik selama ini. Tenyata benar!
Aku dinyatakan layak menjadi pendonor dan dibawa keruangan dimana 350cc darah
dari tubuhku akan diambil! Hooray!!! Aku
berbaring ditempat yang sudah disediakan dan siap untuk mendonorkan darahku.
Saat proses pengambilan darah berlangsung, aku ditanya oleh salah satu suster, ‘apakah ini pertama kalinya aku mendonorkan
darah?’, aku berasumsi bahwa pertanyaan ini muncul karena aku berulang-ulang
mengingatkannya untuk sedikit pelan dan lembut saat menancapkan jarum di
lenganku, plus suara jeritanku yang cukup dahsyat saat jarum ditancapkan di
lenganku. Ya, bukan dibuat-buat, aku
memang takut setiap melihat jarum suntik. Ku jawab pertanyaan suster tersebut
sambil menunjukkan kartu donor darah milikku, ku lihat ia cukup kaget bahwa ini
adalah ke-14 kalinya aku mendonorkan darah. Ku katakan kepadanya bahwa aku tak
perlu menjadi dokter untuk menyelamatkan nyawa orang lain karena setiap orang
bisa menyelamatkan nyawa orang lain hanya dengan mendonorkan darah.
Aku tak punya banyak
uang dan harta untuk ku sumbangkan, aku juga tak punya banyak keahlian untuk ku
pergunakan membantu orang lain, aku juga tahu pasti bahwa aku tak bisa membantu
banyak orang karena keterbatasan yang ku miliki, namun setiap kesempatan itu
datang, aku akan berusaha memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Terima kasih
kepada seluruh sahabat yang mempercayaiku sebagai perpanjangan tangan untuk
membantu sesama. Kepercayaan sahabat adalah yang utama dan terpenting.
Aku selalu percaya dan
yakin, kita hidup untuk membantu sesama karena we cannot live only for ourselves. Aku tidak mau melewatkan
kesempatan yang ada dan selalu ingin mengajak sahabat-sahabat untuk ikut serta
didalamnya. Kindness gives birth to
another kindness, and I believe it.
Check all the volunteering pics on : https://www.facebook.com/EriCaYiNz/media_set?set=a.1343144249043433.1073741890.100000436137749&type=3
Would I consider going
back? Definitely YES!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar