Dimana lagi kita dapat
menyapa matahari terbit, dengan bunga-bunga liar yang sedang bermekaran
kemudian dimana lagi kita dapat menyusuri jalan setapak dan mengelilingi telaga
cantik dengan pancaran warna-warninya, lalu dimana lagi kita dapat menyapa
warga bersarung dengan senyum ramahnya? Dieng oh Dieng, sebuah Negeri diatas awan
yang menawan. Dieng kerap mendapatkan julukan, “Negeri diatas awan”. Dataran
tinggi teluas di Dunia setelah nepal ini menawarkan pemandangan menakjubkan
berupa lautan awan dikaki Gunung, saya dapat menikmati sensasi indahnya negeri
diatas awan, seperti foto diatas saat berada di puncak Sikunir.
Dataran Tinggi Dieng
terletak di perbatasan antara Kabupaten Wonosobo dan Kabupaten Banjarnegara,
Jawa Tengah. Nama ‘Dieng’ sendiri berasal dari bahasa Sansekerta yaitu
"Di" yang berarti tempat yang tinggi dan ”Hyang” yang artinya tempat
para dewa-dewi. Diartikan kemudian sebagai tempat kediaman para dewa dan dewi. Dieng
terhampar di ketinggian 2.000 m diatas permukaan laut membuat udaranya sejuk
dan menyegarkan serta ditutupi kabut tebal. Karena keindahannya yang
menakjubkan inilah diyakini bahwa Dieng dipilih sebagai tempat yang sakral dan
tempat bersemayamnya dewa-dewi.
Setelah puas berdiam
empat hari di Karimun Jawa – Jepara, akhirnya saya berangkat menuju Dieng
bersama dua orang teman baru yang saya temui di Karimun Jawa. Sepasang kekasih
ini tidak tahu kemana mereka harus pergi dan berinisiatif untuk mengikuti saya
ke Dieng. Mereka adalah Imanol dan Eliza dari Spanyol. Kami bertiga
meninggalkan Karimun Jawa dan bertolak ke Semarang lalu melanjutkan perjalanan
ke Wonosobo. Wonosobo ditempuh selama 6 jam dari Jepara dan Dieng ditempuh 1
jam dari Wonosobo. Wow, perjalanan panjang!
Kami tiba di Dieng
pukul 09.00 malam dan saat kami keluar dari mobil yang membawa kami ke Dieng,
hal pertama yang keluar dari bibir saya adalah, “Cool Man!”. Ya! Hal pertama yang saya rasakan adalah dingin luar
biasa. Jadi kesejukan udaara bisa mencapai 10 derajat celcius, bahkan menjadi 5
derajat celcius saat musim kemarau. Wow, bahkan penduduk setempat mengatakan
kalau kita datang pada bulan agustus bisa terjadi hujan salju. Bisa dibayangkan
dong seperti apa dinginnya Dieng?
Kami menginap
disalah-satu homestay di Dieng.
Lumayan nyaman dan letaknya juga sangat strategis, sayangnya harganya lebih
mahal dibanding Karimun Jawa. Kami juga menyewa sepeda motor untuk melakukan
penjelajahan esok hari di Dieng, namun lagi-lagi tarifnya lebih mahal dibanding
Karimun Jawa. Kebetulan, saya memiliki seorang teman di Dieng yang bisa menjadi
guide dan membawa saya berkeliling di Dieng, ia adalah Agus. Agus menyuruh saya
untuk bersiap-siap esok pagi pukul 04.30 untuk berangkat berburu sunrise di Sikunir. Ah.. Lagi-lagi harus bangun dini
hari, semoga saja tak mengecewakan!
Pukul 04.30 pagi saya,
Imanol dan Eliza sudah siap untuk berburu sunrise
di puncak Sikunir. Saya tidak sanggup mandi di pagi hari karena suhu di
Dieng sangat sangat sangat dingin! Saya bahkan sudah mengenakan dua lapis
pakaian, dua lapir celana, dua lapis kaos kaki, sarung tangan dan jaket, namun
dinginnya udara Dieng masih menusuk hingga tulang saya. Bahkan, Imanol dan
Eliza sudah mengenakan seluruh pakaian yang dibawa, sekitar 6 lapis katanya,
namun suhu masih terasa dingin. Hahaha.
Sunrise
Sikunir kian populer bagi para wisatawan yang berkunjung ke Dieng. Berada di
Ketinggian 2260 mdpl, Bukit sikunir yang terletak di Desa Sembungan - Desa
tertinggi di Pulau Jawa ini memang tempat yang sangat pas untuk berburu
Sunrise. Menyaksikan peristiwa terbitnya matahari diufuk timur lanskap alam
Dieng yang mempesona dan Khas dengan udara dinginnya tentu akan menjadi
peristiwa yang memorable bagi saya.
Dari parkiran motor, kami harus berjalan 800 meter untuk bisa tiba dipuncak Sikunir ini. Jalan
yang dilalui tidak terlalu sulit, namun jalan menanjak ditemani udara super
dingin menjadikannya sedikit sulit dan lelah. Warna keemasan yang berpadu
dengan arak-arakkan awan dan kabut putih ketika sang matahari keluar dari
peraduannya menjadi pemandangan yang memukau saat terbit fajar. Kelelahan
berjalan mendaki Sikunir terbayar lunas oleh pemandangan sunrise ini.
Setelah selesai berburu
sunrise selanjutnya kami berempat
berburu pemandangan cantik di Telaga Warna. Kami memilih untuk menikmati
keindahan telaga warna dari ketinggian, maka kami memilih jalur Batu Pandang
sebagai spot asyik untuk menikmati keindahan telaga warna. Spot ini berada
dekat Dieng Plateau Theatre, bisa ditempuh dengan sedikit mendaki, namun
meskipun agak menguras tenaga dijamin
anda tidak akan menyesal begitu melihat keindahan pemandangan telaga dari atas
sana. Harmonisasi alam dengan udara yang sejuk dan bersih membuat suasana
Telaga Warna Dieng begitu memikat. Anda juga akan merasakan suasana mistis yang
hening disempurnakan oleh kabut putih dan pepohonan yang melingkupinya.
Tidaklah lengkap menyambangi Dieng tanpa melihat langsung keindahan Telaga
Warna Dieng. Dinamakan Telaga Warna karena fenomena alam yang terjadi di tempat
ini yaitu berupa pergantian warna air dari telaga tersebut. Terkadang berwarna
hijau dan kuning atau berwarna warni seperti pelangi. Fenomena ini terjadi
karena di dalam air tersebut terdapat kandungan sulfur cukup tinggi sehingga
saat sinar Matahari mengenainya maka warna air telaga nampak berwarna warni.
Kami berempat cukup
lama berada di spot ini karena kami mendapatkan paparan sinar matahari sembari
melihat telaga warna. Rasa dingin yang menusuk akhirnya hilang ketika disinari
oleh sinar matahari yang menghangatkan ini. Ah.. Luar biasa! Puas menghangatkan
diri, kami kembali ke penginapan untuk menikmati sarapan pagi yang telah
disiapkan oleh pihak penginapan. Sebuah roti panggang dengan telur mata sapi
didalamnya cukup membuat rasa lapar saya hilang seketika. Saking laparnya,
Imanol dan Eliza malah memesan dua buah roti lagi. Hahaha.
Usai sarapan, kami
kembali menjelajahi sisi keindahan Dieng lainnya. Kami beranjak menuju kompleks
Candi Arjuna yang letaknya tak jauh dari penginapan kami. Dieng memang memiliki
candi-candi kecil kuno yang indah dan terhampar di Kawasan dataran tinggi. Ada
banyak candi bercorak hindu dengan arsitektur yang indah dan unik. Beberapa candi diberi nama seperti
tokoh-tokoh cerita Mahabrata, seperti Bima, Gatot Kaca, Arjuna dan Srikandi. Dalam
sejarah Candi Arjuna Dieng, tercatat bahwa Candi Arjuna Dieng adalah salah satu
candi Hindu di Jawa Tengah yang sampai detik ini masih terawat, karena masuk
cagar budaya yang dilindungi pemerintah. Lokasi Candi Arjuna Dieng berada di kompleks dataran tinggi Dieng, Banjarnegara,
Jawa Tengah.
Puas mengintip
candi-candi di Dieng, kami beralih menuju kawah Sikidang. Bau belerang dan asap
tebal menyambut kehadiran kami di sana. Kawah Sikidang ini merupakan sebuah
kolam belerang yang mungkin hanya berdiameter sekitar 20 meter, dan selalu
menyembulkan asap seperti perokok akut. Gumpalan belerang pada kawah dengan diameter
sekitar sepuluh meter tersebut tampak meloncat-loncat ke udara seperti kijang.
Nama kawah Sikidang menurut sejarah memang berasal dari kata kijang.
Mayoritas para petani
di kawasan Dieng masih menjadikan tanaman kentang sebagai komoditas utama
pertanian. Lahan yang subur menjadikan hasil pertanian mereka melimpah,
lahan-lahan sempit mereka manfaatkan untuk tanaman sayuran dan kentang. Satu
lagi yang menjadi rahasia mereka dalam menghasilkan kentang yang bagus adalah
sistem irigasi dan terasering yang unik. Dieng menyimpan banyak potensi alam,
selain subur akan tanah untuk bertani, Dieng merupakan dataran yang banyak
menyimpan energi panas bumi dan bisa dikatan sangat melimpah. Hal yang khas
lainnya dari Dieng adalah pepaya gunung yang oleh warga setempat disebut
carica, jenis buah-buahan yang cocok tumbuh di ketinggian antara 1.500m sampai
3.000m. Tumbuhan ini berasal dari dataran tinggi Andes, Amerika Selatan. Selain
itu, Purwaceng menjadi minuman khas yang dijual di Dieng yang dipercaya sebagai
viagra tradisional yang dapat meningkatkan stamina pria. Hanya ada di Dieng!
Carica. |
Carica's Variant |
Sayangnya, saya tidak
cukup kuat untuk menginap semalam lagi di Dieng, saya memutuskan bertolak
sesegera mungkin ke Yogyakarta karena tidak tahan akan dinginnya suhu di Dieng.
Walau begitu, Dieng tetap memukau dimata saya. Ini adalah bait peninggalan yang
tersisa dari perjalanan Dieng, 03 – 04 Juli ini.. Enjoy to see you all in this
trip, hope to see you again someday! Saya kembali ke Wonosobo sendirian dengan
menggunakan Mikrobus local yang menjadi salah satu sarana transportasi di
Dieng, sementara Imanol dan Eliza memilih menginap dan menikmati Dieng semalam
lagi.
till we meet again, Dieng. |
Saya beranjak pelan-pelan,
meninggalkan Dieng siang itu dengan kabut yang selalu setia bersanding dengan
Sang Gunung..
Dieng,
till we meet again…
Tidak ada komentar:
Posting Komentar