Masih terekam jelas
dalam benakku kejadian 8 tahun lalu yang mengubah hidupku. 8 tahun lalu aku bertemu
dengan seseorang disebuah acara yang tak ku duga sekarang menjadi acara yang ku
rayakan setiap tahun. Acara yang mengubah hidupku, mengubah pola pikirku dan
acara yang membuatku bangkit dari keterpurukan hidup. Di acara tersebut
sosoknya muncul pertama kali di hidupku. Ia tak berkata banyak, ia duduk
dihadapanku tanpa berbicara, matanya terpejam, tubuhnya statis dan bibirnya tak
mengeluarkan sepatah katapun. Tetapi, tak butuh waktu yang lama bagiku untuk
mendekati sosoknya yang hangat dan penuh kasih. 8 tahun lalu ia hadir dalam
hidupku dan hingga detik ini ia selalu menjadi motivasiku.
Saya berhutang budi
kepada ayah saya untuk hidup, tapi kepada guru saya, untuk hidup dengan baik. Kira-kira
inilah kalimat yang menjelaskan kejadian 8 tahun lalu. Kejadian 8 tahun itu
mengubah hidupku, aku berhutang kepadanya untuk hidup yang lebih baik ini.
Guru adalah kata yang
pantas untuknya. Bukan saja mengajari apa yang belum ku ketahui, tetapi ia
memanduku, membimbingku, menunjukkan kepadaku apa yang belum ku jalani. Ia
memberiku kesempatan untuk menjadi diriku, sebuah hal yang belum pernah ku
dapatkan sebelumnya. Ia memberikanku sebuah kepercayaan, sebuah hal yang tak
pernah diberikan orang lain sebelumnya. Aku terharu dan serasa ingin meneteskan
airmata. Betapa tidak, sosok guru yang selama 8 tahun menemani perjalanan
hidupku bahkan ia lebih mengetahui diriku dibanding orangtua kandungku.
Delapan tahun lalu, aku
bertemu dengannya disebuah acara, ku lihat ia duduk tenang didepan sana,
matanya terpejam. Ketika ia membuka matanya dan berbicara, aku tertegun. Banyak
sekali hal baru yang ia sampaikan dan semua yang ia katakan menusuk hatiku,
seolah-olah masalahku mendapatkan jawaban setelah sekian lama ku temui jalan
buntu. Setelah acara itu selesai, aku ingin tahu siapa sosok yang berbicara
didepan tadi, aku ingin rasanya mengucapkan terima kasih karena telah menjawab
pertanyaan yang selama ini mengganjal hatiku. Aku malu-malu ketika berhadapan
dengannya, mulutku terasa terkunci dan berat berbicara. Ku lihat sosok itu
mulai mengembangkan senyum diwajahnya. Senyumnya hangat, tulus, dan tidak terlihat
palsu. Aneh, Ia tidak terasa asing bagiku. Rasanya, sudah lama ku kenal sosok
ini, tapi entah dimana kami pernah bertemu sebelumnya. Ah, kini ku sadari bahwa
kami memang pernah bertemu sebelumnya, memang aku tak ingat dimana tempat kami
bertemu, tapi satu yang ku tahu pasti, kami pernah bertemu di kehidupan
sebelumnya. Ya, kehidupan sebelumnya.
Kami terlibat
pembicaraan panjang, hingga aku memutuskan untuk akan mencarinya kembali. Aku
mencarinya terus sejak pertemuan kami 8 tahun lalu. Bahkan aku tak pernah bosan
terlibat pembicaraan dengannya. Ia adalah sosok yang memberiku inspirasi dan
tidak pernah mengizinkanku puas begitu saja. Ia penuh kasih, peduli, membuatku
merasa penting dan disambut, Ia menuntut, mendorongku dengan amat keras, Ia
memiliki selera humor yang membuatku merasa tak pernah lelah untuk bercerita
dengannya. Ia memiliki pengetahuan yang luas, namun ia tetap rendah hati dan
selalu mau mendengarkan orang lain. Ia sederhana dan mudah dilayani. Bagiku ia
adalah guru teladan, sungguh aku bangga menyebutnya sebagai guruku.
Bagiku, ia tak hanya
sekedar guru. Ia adalah sahabatku, tempatku berkeluh kesah. Ia selalu
mengatakan kepadaku, “Jika masukan dan krtitikku tak bisa membantu masalahmu,
minimal biarkanlah itu menjadi penghibur bagimu”. Sudah 8 tahun aku mengenalnya
dan ia tidak pernah berubah. Ia bagai matahari yang memberikan hangat. Walau
terkadang ia begitu menyebalkan, ia sering sekali menyindir dan meledekku
didepan orang lain, tapi aku tidak pernah bisa marah kepadanya. Dibalik
sindirannya itu, aku tahu ia selalu memperhatikan gerak gerikku walau kami
jarang bertemu.
Ia bagai ayah bagiku
yang kehilangan sosok ayah kandung beberapa tahun silam akibat perceraian kedua
orangtuaku. Ia tidak hanya menyekolahkanku, ia juga mendidikku dengan pelajaran
yang tidak didapatkan dibangku pendidikan formal. Diluar aku terlihat kuat,
namun hanya dihadapannya aku menunjukkan bahwa aku lemah, hanya didepannya aku
menitikkan airmata, sungguh hanya didepannya aku mampu melakukan itu. Aku masih
ingat, pidato berbahasa Inggris pertamaku yang ku ikuti. Ada ketegangan dan
ketidak-percayaan diri saat aku akan mengikuti ajang perlombaan itu.
Aku mengambil handphone, lalu mengirim sebuah pesan
teks kepadanya dan berkata, “Aku sungguh
takut akan perlombaan esok. Semua peserta berasal dari perguruan tinggi, hanya
aku yang mengenakan rok abu-abu besok. Aku tidak percaya diri. Aku takut”.
Lalu, ia membalas
pesanku, “Lakukan saja. Berikan penampilan terbaikmu. Berbicaralah seolah-olah
kamu adalah putri Diana dari kerajaan Inggris yang sedang memberikan pidato
kepada rakyatnya”.
Aku pernah terjebak
ketakutan selama seminggu sebelum ujian nasional, dan saat aku ketakutan aku
selalu mencarinya untuk meminta perlindungan, “Aku takut. Besok ujian nasional dimulai. Bagaimana kalau aku tidak
lulus ya? Aku takut, aku tidak bisa tidur”.
Lalu ia membalas
pesanku, “Bagus sekali kalau takut, artinya akan belajar sungguh-sungguh. Jika
tidak ada rasa takut menghadapi ujian, pasti kamu tidak akan belajar
sungguh-sungguh. Benar kan? Kalau besok kamu berkeringat terus disepanjang ujian,
jangan lupa bawa kain untuk menghapus keringat dinginmu dan peras keringatmu
didalam ember. Ingat, jangan menenggelamkan peserta dan pengawa ujian nasional
dengan keringatmu. Semangat!”.
Aku tertawa membaca
pesan yang ia balas. Ia tahu betul bagaimana menenangkanku dan mengembalikan
kepercayaan diriku. Ia adalah teladan dan inspirasiku. Guru yang tak lekang
oleh waktu. Guru yang memberikan contoh-contoh baik dalam kehidupan. Guru yang
memberikan semangat hidup dan semangat pengabdian secara nyata. Ia sosok hebat
yang pernah kutemui dalam kehidupanku kali ini.
Walau kehilangan
kehangatan seorang ayah kandung, kehadirannya menyembuhkan luka itu. Aku
bersyukur bertemu dengannya delapan tahun lalu. Dan aku bersyukur dia berhasil
membangkitkan nilai-nilai positif dalam diriku. Ia selalu berhasil
menginspirasiku dengan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya disetiap
pembicaraan kami. Ia selalu berhasil membuatku bangga dengan pemikiran-pemikirannya.
Dan ia selalu membuatku berharap, ya.. berharap.
Aku selalu berharap kelak,
berkat jodoh baik yang kami jalin selama hidup kami di kehidupan ini dapat
mempertemukan kami di kehidupan mendatang untuk menjadi sebuah keluarga yang
bisa saling mendukung dan menyemangati hingga tujuan serta cita-cita luhur kami
tercapai.
Setiap aku memejamkan mata, seorang sosok yang hangat, berpengetahuan, baik hati, tulus dan selalu tersenyum selalu menghiasi benakku. Suara dan tawanya selalu terdengar. Bayangannya nyata!
Terima kasih, Guruku.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar