Selasa, 12 Juli 2016

BACKPACKING IN EAST PART OF INDONESIA (Part I)

Jika kamu berpikir geografi Sulawesi terlihat fantastis di peta, tunggu sampai kamu melihat dengan nyata. Interior pulau ini dinaungi oleh pegunungan ditembus hutan yang kental dengan satwa liar, seperti tarsius langka yang aktif di malam hari  dan burung maleo flamboyan berwarna-warni. Budaya telah mampu berevolusi, terputus dari seluruh dunia dengan topografi yang dramatis. Memenuhi dataran tinggi Toraja, dengan upacara pemakaman mereka yang rumit  dimana kerbau dan babi hutan  dikorbankan juga ada palm wine (gula aren anggur) mengalir secara bebas.  Sulawesi berbaring di tengah kepulauan Indonesia, garis berliku-liku menyerupai huruf seribu kilometer "K", dan salah satu daerah yang paling menarik di negara ini. Tempat di Sulawesi jauh lebih dari 100 km dari laut. Sulawesi adalah salah satu pulau yang masuk kedalam daftar pribadiku untuk dijelajahi sejak 2 tahun lalu.

Cerita perjalananku kali ini berbeda dari biasanya karena perjalanan ini ditemani oleh Cas Boerkamp. Pria asal Belanda ini sudah ku kenal sejak April 2016 karena ia sempat tinggal dirumahku selama dua malam saat menjelajahi pulau Sumatra, pulau dimana aku tinggal. Dua bulan lalu, aku dan Cas sempat menjelajahi pulau Banyak yang letaknya di Aceh Singkil. Saat penjelajahan itu, aku bercerita kepadanya tentang rencana liburanku di bulan Juni, dan ia menyatakan diri ingin ikut serta dalam perjalanan ini.

Untuk bisa menginjakkan kaki di Sulawesi, aku harus terbang dari Medan menuju Jakarta dan Jakarta menuju Manado. Kenapa Manado? Karena pulau selanjutnya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) alias Flores, maka akan lebih mudah jika kami lebih dulu menjelajahi Sulawesi Utara lalu merayap perlahan hingga Sulawesi Selatan dan terbang lagi menuju NTT. Selain hemat waktu, juga hemat biaya! Hehehe!

Berbeda denganku, Cas harus sedikit lebih repot untuk bisa tiba di Sulawesi karena visanya yang sudah hampir habis. Setelah dua bulan di Indonesia (Sumatra dan Jawa), ia terbang ke negeri Jiran Malaysia, tepatnya Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur, Cas terbang menuju Makassar dan kembali mengajukan Visa disana. Pada hari yang sama, ia terbang ke Manado. Ya, bukan hal mudah alias perlu pengorbanan untuk bisa menginjakkan kaki di Sulawesi. 

Sebelum kami tiba di Sulawesi, aku telah menyusun sedikit rencana perjalanan bagi kami berdua. Maklum, aku orang yang well-organized dan butuh kepastian kemana aku akan pergi, berbeda dengan Cas yang go with the flow.  Maka sebelum aku tiba di Sulawesi, aku telah melakukan beberapa research dan menyusun rute perjalanan kami. Namun kami berdua bukan tipe orang yang kaku, jadi semua rencana kami bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung mood dan situasi ditempat tersebut.

Bagi yang penasaran mengenai rute perjalanan kami, berikut rute perjalanan kami :
11.  Sulawesi Utara hingga Selatan :
Manado > Tomohon >  Gorontalo > Kotamubago > Bogani Nani Wartabone National Park > Togian Island > Ampana > Palu > Makassar > Rantepao (Tana Toraja) > Makassar.

22.  Nusa Tenggara Timur (NTT) Alias Flores :
Maumere > Larantuka > Lembata Island > Moni Village > Ende > Bajawa > Ruteng > Labuan Bajo > Lombok > Bali.

Okay, aku akan menjelaskan secara garis besar isi perjalanan kami di Sulawesi terlebih dulu.  
Here we go!

Kami sama-sama tiba di Manado pada 10.45 PM. Pesawat Cas tiba 20 menit lebih awal dari pesawatku, akhirnya dia harus menunggu aku tiba. Dari Sam Ratulangi Airport Manado, kami langsung menuju salah satu hotel di pusat kota Manado untuk beristirahat karena kami sudah terbang seharian, tenaga kami sudah habis pada hari itu. Hari pertama kami di Manado cukup santai, kami menuju salah satu museum di Manado yaitu Museum Negeri Propinsi Sulawesi Utara (Free Entrace – Donation Only) lalu sore harinya kami bertemu dengan dua orang masyarakat lokal yang aku kenal dari situs Couchsurfing. Dari bincang-bincang seru ini, mereka menawarkan kami untuk berkunjung ke Tomohon dengan mereka. Tentu saja, aku dan Cas setuju! Tidak ada alasan bagi kami untuk menolak kebaikan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa spot di Tomohon, bahkan meminjamkan sepeda motor kepada kami. Keesokan harinya kami berempat berangkat ke Tomohon dengan sepeda motor dan perjalanan ditempuh selama 1,5 jam untuk bisa tiba di Danau Linow, salah satu danau cantik yang membuatku betah duduk berlama-lama. Kami juga mengunjungi dua buah air terjun di Tomohon, namun kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendaki gunung Lokon dan Mahawu. Kami menginap satu malam di Tomohon dan keesokan harinya sebelum kembali ke Manado, kami mengunjungi Extreme Market di Tomohon. Di Tomohon, dimana orang-orang Minahasa lokal mengatakan bahwa mereka makan hewan apapun yang berkaki empat kecuali meja dan kursi. Di pasar ini saya melihat monyet, kelelawar, kucing, anjing, babi, tikus, bajing dan bahkan ular raksasa diletakkan di atas meja dengan ekspresi menyakitkan masih terukir di wajah mereka. Beberapa anjing masih dalam kondisi hidup berada didalam kandang menunggu untuk diekskusi. Sedih sekali berada ditempat ini. Selama berkeliling pasar tradisional ini, aku tak bisa melepaskan genggamanku dari lengan Cas karena tidak tahan melihat penderitaan hewan-hewan malang ini. Tapi, inilah Tomohon dan tradisi setempat. Mereka pemakan segala! Haha.

Sore harinya, kami kembali ke Manado karena kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju Gorontalo dan Kotamubago pada malam hari. Kami menggunakan Private-Shared Taxi (Sejenis mobil Avanza/Innova) untuk ke Gorontalo. Manado-Gorontalo ditempuh dalam waktu 10 Jam dan dari Gorontalo ke Kotamubago ditempuh selama 6 Jam. Kami tiba di Kotamubago pada keesokan malam harinya dengan kondisi pinggang yang hampir patah karena terlalu lama duduk di dalam mobil, belum lagi jalan yang berliku membuat kepala kami pusing tujuh keliling. Haha. Sesampainya di Kotamubago, kami tewas didalam kamar hostel. Kami tidur hingga keesokan harinya dan dari Kotamubago kami melanjutkan perjalanan menuju Toraut. Perjalanan ke Toraut kami lewati selama 2 jam didalam angkot biru bersama warga setempat, lalu kami melanjutkan perjalanan dengan ojek selama 30 menit untuk bisa tiba di Bogani Nani Wartabone National Park. Melelahkan!

Bogani Nani Wartabone National Park ini lebih sepi dibandingkan dengan Tangkoko National Park, salah satu faktornya adalah lokasi yang sangat jauh. Tangkoko National Park hanya 2 jam dari Manado sedangkan Bogani Nani? Jauh sekali! Silahkan dihitung saja berapa jam yang kami habiskan dari Manado untuk bisa tiba disini. Tetapi, yang membuat kami senang adalah tempat ini sepi bahkan boleh dibilang minim signal handphone! Haha. Tidak ada guesthouse apalagi hotel, hanya ada rumah singgah milik Taman Nasional Bogani. Tidak ada yang memasak untuk kami, maka kami harus memasak makanan kami sendiri disini! Aku bertugas untuk memasak sedangkan Cas bertugas mencuci piring kotor setelah kami selesai makan. Haha. Kami juga melakukan trekking kedalam taman nasional dan melihat berbagai macam burung, serangga kecil dan menemukan air terjun didalam sana!

Dari Bogani Nani Wartabone National Park, kami melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Togian Island. Kami menempuh perjalanan selama 13 jam dari Gorontalo dengan menggunakan Ferry. Ferry berangkat pada pukul 8.00 PM dan tiba di Wakai pada 09.00 AM keesokan harinya. Dari Wakai, kami sudah ditunggu oleh Mas Ajo! Mas Ajo adalah salah satu pekerja di penginapan yang bernama Harmony Bay. Kami menginap selama tiga malam di Harmony Bay, untuk bisa tiba disini kami harus menempuh perjalanan 30 menit lagi dengan boat kayu. Harga menginap disini tidak begitu murah dibanding penginapan lain. Dengan IDR300.000/malam/orang, kita sudah mendapat fasilitas makan tiga kali, snack satu kali dan alat snorkeling. Kamarnya cukup luas untuk dua orang dengan kamar mandi didalamnya. Pemandangan yang kami lihat setiap hari adalah laut luas dengan bonus sunset setiap sore hari sambil bermalas-malasan di hammock yang disediakan di balkon kamar kami. Harmony Bay ini sangat nyaman, bukan hanya staff yang ramah, makanan yang enak, tetapi juga kita bisa langsung snorkeling tanpa harus menyewa boat atau membayar lebih untuk trip lainnya. Lokasinya disebuah pulau yang tidak berpenghuni, tidak ada signal handphone dan arus listriknya pun hanya bisa digunakan setiap pukul 5.00 sore hingga 11.00 malam saja. Benar-benar meninggalkan gadget dan menikmati keindahan Togian Island. Pada hari ketiga, kami menyewa kapal boat dan mengunjungi pulau lain di Togian Island, yaitu Una-Una. Kenapa Una-Una? Karena ada Gunung! Haha. Cas itu penggemar Gunung. Kakinya akan gatal-gatal kalau dia tidak mendaki gunung. Haha. Akhirnya, selama 3 jam kita masuk lagi kedalam hutan, mendaki air terjun, melewati danau untuk bisa sampai di kawah Una-Una. Sebelum kesana, saya sudah diperingatkan Mas Ajo bahwa biasanya wanita tidak akan sanggup kesana karena medannya yang berat. Saat kembali ke Harmony Bay dan mendengar bahwa  aku menyelesaikan perjalanan hingga kawah Una-Una, Mas Ajo ini mengatakan bahwa mungkin aku adalah Wanita Indonesia pertama yang berhasil. Karena sepengetahuannya, selain tidak begitu menarik, akses yang berat juga sering jadi kendala bagi perempuan. I did it! Sedikit bangga dengan diri sendiri walau ketika kembali ke kapal, aku merasa butuh kaki baru! Hahaha. You did it, Erica! 6 hours walking loh! Hahaha. Timur Indonesia adalah rahasia surga - semuanya hijau, biru, tropis, eksotis. itu seperti mimpi. Timur Indonesia, Truly Oceania! Langit malam dengan selimut yang berkilauan bintang dan suara deru ombak adalah pemandangan paling menakjubkan dan romantis yang pernah aku lihat. Aku pasti akan merindukan ini.

Dari Togian, perjalanan berlanjut ke Makassar. Tapi, lagi-lagi tidak mudah! Tidak Percaya? Nih, aku kasih ilustrasinya! Harmony Bay ke Wakai 30 menit dengan kapal kayu, Wakai ke Ampana ditempuh 4 jam dengan ferry boat, lalu Ampana ke Palu selama 8 jam dengan bus yang super sempit, non AC, dan berdesak-desakan dibagian belakang bus. Karena kami trauma dengan perjalanan darat yang sudah kami lalui beberapa hari di Sulawesi, akhirnya kami memilih terbang saja dari Palu ke Makassar untuk menghemat waktu, tenaga dan emosi. Haha. Kami tiba di Makassar pada sore hari pukul 4.00 dan segera pergi ke terminal bus untuk melanjutkan perjalanan ke Rantepao / Tana Toraja. Bus kami kali ini sangat-sangat-sangat nyaman! We can adjust the seat (Woo-Hoo!!!), AC-nya dingin, disediakan selimut dan aku tidur sepanjang perjalanan ke Rantepao karena sangat lelah akibat perjalanan dari Togian ke Makassar yang super panjang ini. Hahaha. Kami tiba di Rantepao keesokan pagi hari pukul 5.30 AM dan langsung menuju Riana Guesthouse. Tanpa banyak negosiasi, setelah ditunjukkan kamar kosong oleh pemilik guesthouse, aku dan Cas langsung terkapar di ranjang. Kami tidur dari pukul 6.00 pagi hingga 11.00 siang. Kami benar—benar tidur! Benar-benar terlelap karena suasana di Rantepao yang juga adem, dingin dan hujan pada kala itu. Setelah bangun dari tidur panjang dan dalam, kami mandi, lalu siap untuk mengisi perut! Hari pertama kami di Rantepao juga sangat santai akibat lelah yang menggerogoti kami di hari sebelumnya. Kami makan, ngopi, nonton pertandingan sepak bola lalu makan lagi, tapi semua itu kami lakukan sambil menyusun rencana perjalanan untuk keesokan harinya.

Di dataran tinggi di ujung utara semenanjung tersebut adalah, wilayah daratan pegunungan yang orang mempertahankan cara-cara kuno dan bangga dalam rumah sabit beratap mereka. Toraja, karena itu akrab dipanggil, tentu Shangri-La dari Sulawesi Selatan.

Kami memutuskan untuk menjelajahi sisi Utara dari Rantepao terlebih dulu, yaitu Batutumonga. Harus saya katakan bahwa… Batutumonga sangat dingin!!! Tidak heran jika menyebutkan negeri diatas awan. Kami menyewa sepeda motor dan saya sebagai supirnya saat perjalanan menuju Batutumonga. Coba bayangkan betapa dinginnya ketika mengendarai sepeda motor! Kami melihat landscape yang luar biasa dan senyum masyarakat lokal menghiasi disepanjang perjalanan kami menuju Batutumonga. Melewati desa satu-jalan, kami melihat pemandangan yang menakjubkan hanya dari sisi jalan, sawah yang bertingkat, bersinar kuning terang dan hijau di bawah sinar matahari, dengan latar belakang yang sempurna dari langit biru murni dengan beberapa awan putih besar. Kami berhenti disebuah rumah kecil untuk beristirahat dan menikmati secangkir kopi serta sepiring mie yang menghangatkan tubuh kami pagi itu. Benar-benar indah. Kami juga mengunjungi Lokomata yang merupakan lubang cukup besar untuk memasukkan peti mati ke dalam batu besar. Selanjutnya destinasi terakhir di Batutumonga adalah Pana, dimana kami melihat pohon yang berisi kuburan bayi yang meninggal sebelum mampu berjalan. Mereka kemudian dimakamkan di pohon, menurut tradisi, pohon dianggap sebagai simbol utama dari kehidupan. Dengan mengubur bayi mereka - hanya mereka yang tanpa gigi - dalam pohon, pohon akan bertindak sebagai ibu baru bagi bayi tersebut, dan getah sebagai susunya. Selama pohon hidup, bayi tersebut akan terus memiliki kehidupan baru di dalam. Kuburan kecil ditutupi oleh penutup bambu. Lalu kami kembali ke Rantepao dan mengunjungi Londa. Dalam gua Londa, banyak peti mati dimakamkan, berfungsi sebagai kuburan unik bagi masyarakat Tana Toraja. Kamu akan melihat, banyak kerangka yang berserakan di sekitar gua. Diperingatkan ada tulang di mana-mana dan itu sedikit menakutkan, dibutuhkan cahaya untuk mengunjungi gua-gua. Kamu dapat menyewa lentera gas jika mau, tetapi kamu juga dapat hanya menggunakan cahaya pada ponselmu.

Hari selanjutnya, kami menjelajahi apa yang ada di bagian selatan dari Sulawesi dan kami berkesempatan untuk melihat tradisi kuat yang ada di Tana Toraja, aku yakin bahwa semua turis yang datang ke Tana Toraja memiliki tujuan yang sama, yaitu melihat dan mengikuti pesta kematian orang Toraja! Orang-orang Toraja adalah pemeluk agama Kristen yang taat, namun mereka masih mempertahankan tradisional, ritual kematian animisme mereka. Di antaranya adalah keyakinan besar setelah mati. Mayat dapat dipertahankan selama berbulan-bulan dan bahkan sampai satu tahun sampai upacara pemakaman yang tepat diadakan. Almarhum dimakamkan dengan barang yang mereka perlukan dan hewan dikurbankan sehingga jiwa mereka juga dapat mengikuti jiwa seseorang kehidupan setelah mati. Dalam arti, itu mengingatkanku pada keyakinan orang Mesir kuno. Puluhan babi dikurbankan, terlihat ratusan orang menghadiri upacara pemakaman yang mereka sebut sebagai ‘pesta’ kematian ini. Dihadapan kami, dihidangkan berbagai cemilan, minuman bahkan makan siang. Kami membawa buah tangan berupa rokok, gula, kopi, dan teh sebagai bentuk hormat kami kepada keluarga yang mengalami kemalangan. Kami (Aku tidak berani melihat, tetapi Cas melihatnya langsung proses sembelih babi itu >.<) mendengar jumlah tak terbatas memekik. Lebih dari setengah lusin babi dalam proses disembelih, mengerikan untuk menonton, Cas menontonnya! Aku hanya berdiri jauh dari tempat sembelih sambil menutup telinga dan bernyanyi untuk mengalihkan pendengaran dari suara babi yang sedang disembelih. Pria dengan pisau besar membuat satu sayatan dan kemudian membiarkan babi mati kehabisan darah. Maka perut dipotong terbuka lebar dan semua organ ditarik keluar dalam satu gerakan dan meletakkan di atas tikar bambu. Kemudian, orang yang membawa penyembur api pergi untuk bekerja pada babi, memanggang itu. Setelah hampir 2 jam disana, inilah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh orang yang ada diacara 'pesta' kematian itu.. Yaitu acara kurban makhluk yang dianggap sebagai binatang yang paling penting. Dalam ‘pesta’ kematian ini yaitu Kerbau! Lagi-lagi aku tak berani melihat adegan sadis ini, Cas melihatnya! Haha. Kami meninggalkan tempat tersebut setelah acara puncak ini selesai.

Lalu kami juga mengunjungi Kambira yang letaknya 40 menit berkendara dari Rantepao. Kambira sama seperti Pana yang kami kunjungi kemarin, Kambira adalah tempat pohon yang berisi kuburan bayi yang meninggal sebelum mampu berjalan, bedanya di Kambira pohonnya lebih besar dari yang ada di Pana. Dari Kambira, kami pergi ke Kete Kesu. Kete' Kesu memang terbilang lengkap, disini terdapat gua, rumah tongkonan dan makam tebing. Desa ini berusia lebih dari 300 tahun dan diklasifikasikan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Desa ini memiliki 6 Tongkonan, yang merupakan bangunan tradisional yang dimiliki oleh bangsawan Toraja di mana nenek moyang mati disimpan. Bangunan-bangunan ini memiliki atap Saddleback tradisional, yang seharusnya mewakili tanduk kerbau. Ada juga 12 lumbung tradisional di mana beras disimpan. Semua bangunan di Ke'te Kesu yang indah dihiasi dengan gaya tradisional Toraja dengan desain bergaya dan geometris dalam warna merah, kuning, hitam dan putih yang dilukis di dinding. Di sisi belakang, kami melihat kuburan gantung milik orang Toraja. Peti mati disusun berdasarkan kelas sosial - orang kaya digantung lebih tinggi, yaitu lebih dekat ke surga, sedangkan makam orang miskin sering beristirahat langsung di tanah.

Sulawesi memang unik! Tidak hanya bentuk pulaunya yang unik menyerupai huruf ‘K’, tetapi juga keindahan alam, tradisi dan budaya setempatnya! Semua yang ada di Sulawesi menjadi kenangan indah dan pengetahuan baru bagi siapa saja yang menginjakkan kaki disana. Aku berharap bisa kembali lagi kelak, karena masih banyak sisi yang tidak ku kunjungi.  Dataran tinggi Sulawesi benar-benar adalah salah satu yang menarik dari Indonesia. Budaya yang unik dan pedesaan yang indah membuat liburan di sini menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Aku berharap artikel ini telah memberikan beberapa ide tentang apa yang dapat dilakukan di Sulawesi!

Sulawesi, I’m in love!

Untuk foto, silahkan klik :
https://www.facebook.com/EriCaYiNz/media_set?set=a.1214954968529029.100000436137749&type=3

Tidak ada komentar: