Jika kamu berpikir geografi
Sulawesi terlihat fantastis di peta, tunggu sampai kamu melihat dengan nyata. Interior
pulau ini dinaungi oleh pegunungan ditembus hutan yang kental dengan satwa
liar, seperti tarsius langka yang aktif di malam hari dan burung maleo flamboyan berwarna-warni.
Budaya telah mampu berevolusi, terputus dari seluruh dunia dengan topografi
yang dramatis. Memenuhi dataran tinggi Toraja, dengan upacara pemakaman mereka
yang rumit dimana kerbau dan babi hutan dikorbankan juga ada palm wine (gula aren
anggur) mengalir secara bebas. Sulawesi
berbaring di tengah kepulauan Indonesia, garis berliku-liku menyerupai huruf
seribu kilometer "K", dan salah satu daerah yang paling menarik di
negara ini. Tempat di Sulawesi jauh lebih dari 100 km dari laut. Sulawesi
adalah salah satu pulau yang masuk kedalam daftar pribadiku untuk dijelajahi
sejak 2 tahun lalu.
Cerita perjalananku kali ini
berbeda dari biasanya karena perjalanan ini ditemani oleh Cas Boerkamp. Pria
asal Belanda ini sudah ku kenal sejak April 2016 karena ia sempat tinggal
dirumahku selama dua malam saat menjelajahi pulau Sumatra, pulau dimana aku tinggal.
Dua bulan lalu, aku dan Cas sempat menjelajahi pulau Banyak yang letaknya di
Aceh Singkil. Saat penjelajahan itu, aku bercerita kepadanya tentang rencana
liburanku di bulan Juni, dan ia menyatakan diri ingin ikut serta dalam
perjalanan ini.
Untuk bisa menginjakkan kaki di
Sulawesi, aku harus terbang dari Medan menuju Jakarta dan Jakarta menuju
Manado. Kenapa Manado? Karena pulau selanjutnya adalah Nusa Tenggara Timur
(NTT) alias Flores, maka akan lebih mudah jika kami lebih dulu menjelajahi
Sulawesi Utara lalu merayap perlahan hingga Sulawesi Selatan dan terbang lagi
menuju NTT. Selain hemat waktu, juga hemat biaya! Hehehe!
Berbeda denganku, Cas harus
sedikit lebih repot untuk bisa tiba di Sulawesi karena visanya yang sudah
hampir habis. Setelah dua bulan di Indonesia (Sumatra dan Jawa), ia terbang ke
negeri Jiran Malaysia, tepatnya Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur, Cas terbang
menuju Makassar dan kembali mengajukan Visa disana. Pada hari yang sama, ia terbang
ke Manado. Ya, bukan hal mudah alias perlu pengorbanan untuk bisa menginjakkan
kaki di Sulawesi.
Bagi yang penasaran mengenai rute perjalanan kami, berikut rute perjalanan kami
:
11. Sulawesi Utara hingga Selatan :
Manado >
Tomohon > Gorontalo > Kotamubago
> Bogani Nani Wartabone National Park > Togian Island > Ampana >
Palu > Makassar > Rantepao (Tana Toraja) > Makassar.
22. Nusa Tenggara Timur (NTT) Alias Flores :
Maumere >
Larantuka > Lembata Island > Moni Village > Ende > Bajawa >
Ruteng > Labuan Bajo > Lombok > Bali.
Okay, aku akan menjelaskan secara
garis besar isi perjalanan kami di Sulawesi terlebih dulu.
Here we go!
Kami sama-sama tiba di Manado
pada 10.45 PM. Pesawat Cas tiba 20 menit lebih awal dari pesawatku, akhirnya
dia harus menunggu aku tiba. Dari Sam Ratulangi Airport Manado, kami langsung
menuju salah satu hotel di pusat kota Manado untuk beristirahat karena kami
sudah terbang seharian, tenaga kami sudah habis pada hari itu. Hari pertama
kami di Manado cukup santai, kami menuju salah satu museum di Manado yaitu
Museum Negeri Propinsi Sulawesi Utara (Free Entrace – Donation Only) lalu sore
harinya kami bertemu dengan dua orang masyarakat lokal yang aku kenal dari
situs Couchsurfing. Dari bincang-bincang seru ini, mereka menawarkan kami untuk
berkunjung ke Tomohon dengan mereka. Tentu saja, aku dan Cas setuju! Tidak ada
alasan bagi kami untuk menolak kebaikan mereka. Mereka akan menunjukkan
beberapa spot di Tomohon, bahkan meminjamkan sepeda motor kepada kami. Keesokan
harinya kami berempat berangkat ke Tomohon dengan sepeda motor dan perjalanan
ditempuh selama 1,5 jam untuk bisa tiba di Danau Linow, salah satu danau cantik
yang membuatku betah duduk berlama-lama. Kami juga mengunjungi dua buah air
terjun di Tomohon, namun kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendaki
gunung Lokon dan Mahawu. Kami menginap satu malam di Tomohon dan keesokan
harinya sebelum kembali ke Manado, kami mengunjungi Extreme Market di Tomohon. Di Tomohon, dimana orang-orang
Minahasa lokal mengatakan bahwa mereka makan hewan apapun yang berkaki empat kecuali
meja dan kursi. Di pasar ini saya melihat monyet, kelelawar, kucing, anjing,
babi, tikus, bajing dan bahkan ular raksasa diletakkan di atas meja dengan
ekspresi menyakitkan masih terukir di wajah mereka. Beberapa anjing masih dalam
kondisi hidup berada didalam kandang menunggu untuk diekskusi. Sedih sekali
berada ditempat ini. Selama berkeliling pasar tradisional ini, aku tak bisa melepaskan genggamanku dari lengan Cas karena tidak tahan melihat penderitaan hewan-hewan
malang ini. Tapi, inilah Tomohon dan tradisi setempat. Mereka pemakan segala!
Haha.
Sore harinya, kami kembali ke
Manado karena kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju Gorontalo dan
Kotamubago pada malam hari. Kami menggunakan Private-Shared Taxi (Sejenis mobil
Avanza/Innova) untuk ke Gorontalo. Manado-Gorontalo ditempuh dalam waktu 10 Jam
dan dari Gorontalo ke Kotamubago ditempuh selama 6 Jam. Kami tiba di Kotamubago
pada keesokan malam harinya dengan kondisi pinggang yang hampir patah karena
terlalu lama duduk di dalam mobil, belum lagi jalan yang berliku membuat kepala
kami pusing tujuh keliling. Haha. Sesampainya di Kotamubago, kami tewas didalam
kamar hostel. Kami tidur hingga keesokan harinya dan dari Kotamubago kami
melanjutkan perjalanan menuju Toraut. Perjalanan ke Toraut kami lewati selama 2
jam didalam angkot biru bersama warga setempat, lalu kami melanjutkan
perjalanan dengan ojek selama 30 menit untuk bisa tiba di Bogani Nani Wartabone
National Park. Melelahkan!
Bogani Nani Wartabone National Park
ini lebih sepi dibandingkan dengan Tangkoko National Park, salah satu faktornya
adalah lokasi yang sangat jauh. Tangkoko National Park hanya 2 jam dari Manado sedangkan
Bogani Nani? Jauh sekali! Silahkan dihitung saja berapa jam yang kami habiskan
dari Manado untuk bisa tiba disini. Tetapi, yang membuat kami senang adalah tempat
ini sepi bahkan boleh dibilang minim signal handphone! Haha. Tidak ada
guesthouse apalagi hotel, hanya ada rumah singgah milik Taman Nasional Bogani.
Tidak ada yang memasak untuk kami, maka kami harus memasak makanan kami sendiri
disini! Aku bertugas untuk memasak sedangkan Cas bertugas mencuci piring kotor
setelah kami selesai makan. Haha. Kami juga melakukan trekking kedalam taman
nasional dan melihat berbagai macam burung, serangga kecil dan menemukan air
terjun didalam sana!
Dari Bogani Nani Wartabone
National Park, kami melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Togian Island. Kami
menempuh perjalanan selama 13 jam dari Gorontalo dengan menggunakan Ferry.
Ferry berangkat pada pukul 8.00 PM dan tiba di Wakai pada 09.00 AM keesokan
harinya. Dari Wakai, kami sudah ditunggu oleh Mas Ajo! Mas Ajo adalah salah
satu pekerja di penginapan yang bernama Harmony Bay. Kami menginap selama tiga
malam di Harmony Bay, untuk bisa tiba disini kami harus menempuh perjalanan 30
menit lagi dengan boat kayu. Harga menginap disini tidak begitu murah dibanding
penginapan lain. Dengan IDR300.000/malam/orang, kita sudah mendapat fasilitas
makan tiga kali, snack satu kali dan alat snorkeling. Kamarnya cukup luas untuk
dua orang dengan kamar mandi didalamnya. Pemandangan yang kami lihat setiap
hari adalah laut luas dengan bonus sunset setiap sore hari sambil
bermalas-malasan di hammock yang disediakan di balkon kamar kami. Harmony Bay
ini sangat nyaman, bukan hanya staff yang ramah, makanan yang enak, tetapi juga
kita bisa langsung snorkeling tanpa harus menyewa boat atau membayar lebih untuk
trip lainnya. Lokasinya disebuah pulau yang tidak berpenghuni, tidak ada signal
handphone dan arus listriknya pun hanya bisa digunakan setiap pukul 5.00 sore
hingga 11.00 malam saja. Benar-benar meninggalkan gadget dan menikmati
keindahan Togian Island. Pada hari ketiga, kami menyewa kapal boat dan mengunjungi
pulau lain di Togian Island, yaitu Una-Una. Kenapa Una-Una? Karena ada Gunung!
Haha. Cas itu penggemar Gunung. Kakinya akan gatal-gatal kalau dia tidak
mendaki gunung. Haha. Akhirnya, selama 3 jam kita masuk lagi kedalam hutan,
mendaki air terjun, melewati danau untuk bisa sampai di kawah Una-Una. Sebelum
kesana, saya sudah diperingatkan Mas Ajo bahwa biasanya wanita tidak akan
sanggup kesana karena medannya yang berat. Saat kembali ke Harmony Bay dan
mendengar bahwa aku menyelesaikan
perjalanan hingga kawah Una-Una, Mas Ajo ini mengatakan bahwa mungkin aku
adalah Wanita Indonesia pertama yang berhasil. Karena sepengetahuannya, selain
tidak begitu menarik, akses yang berat juga sering jadi kendala bagi perempuan.
I did it! Sedikit bangga dengan diri sendiri walau ketika kembali ke kapal, aku
merasa butuh kaki baru! Hahaha. You did it, Erica! 6 hours walking loh! Hahaha.
Timur Indonesia adalah rahasia surga - semuanya hijau, biru, tropis, eksotis.
itu seperti mimpi. Timur Indonesia, Truly Oceania! Langit malam dengan selimut
yang berkilauan bintang dan suara deru ombak adalah pemandangan paling
menakjubkan dan romantis yang pernah aku lihat. Aku pasti akan merindukan ini.
Dari Togian, perjalanan berlanjut
ke Makassar. Tapi, lagi-lagi tidak mudah! Tidak Percaya? Nih, aku kasih
ilustrasinya! Harmony Bay ke Wakai 30 menit dengan kapal kayu, Wakai ke Ampana
ditempuh 4 jam dengan ferry boat, lalu Ampana ke Palu selama 8 jam dengan bus
yang super sempit, non AC, dan berdesak-desakan dibagian belakang bus. Karena
kami trauma dengan perjalanan darat yang sudah kami lalui beberapa hari di
Sulawesi, akhirnya kami memilih terbang saja dari Palu ke Makassar untuk
menghemat waktu, tenaga dan emosi. Haha. Kami tiba di Makassar pada sore hari
pukul 4.00 dan segera pergi ke terminal bus untuk melanjutkan perjalanan ke
Rantepao / Tana Toraja. Bus kami kali ini sangat-sangat-sangat nyaman! We can
adjust the seat (Woo-Hoo!!!), AC-nya dingin, disediakan selimut dan aku tidur sepanjang
perjalanan ke Rantepao karena sangat lelah akibat perjalanan dari Togian ke
Makassar yang super panjang ini. Hahaha. Kami tiba di Rantepao keesokan pagi
hari pukul 5.30 AM dan langsung menuju Riana Guesthouse. Tanpa banyak
negosiasi, setelah ditunjukkan kamar kosong oleh pemilik guesthouse, aku dan
Cas langsung terkapar di ranjang. Kami tidur dari pukul 6.00 pagi hingga 11.00
siang. Kami benar—benar tidur! Benar-benar terlelap karena suasana di Rantepao
yang juga adem, dingin dan hujan pada kala itu. Setelah bangun dari tidur panjang dan dalam, kami mandi, lalu siap untuk mengisi perut! Hari pertama kami
di Rantepao juga sangat santai akibat lelah yang menggerogoti kami di hari
sebelumnya. Kami makan, ngopi, nonton pertandingan sepak bola lalu makan lagi,
tapi semua itu kami lakukan sambil menyusun rencana perjalanan untuk keesokan
harinya.
Di dataran tinggi di ujung utara
semenanjung tersebut adalah, wilayah daratan pegunungan yang orang
mempertahankan cara-cara kuno dan bangga dalam rumah sabit beratap mereka.
Toraja, karena itu akrab dipanggil, tentu Shangri-La dari Sulawesi Selatan.
Kami memutuskan untuk menjelajahi
sisi Utara dari Rantepao terlebih dulu, yaitu Batutumonga. Harus saya katakan bahwa…
Batutumonga sangat dingin!!! Tidak heran jika menyebutkan negeri diatas awan. Kami
menyewa sepeda motor dan saya sebagai supirnya saat perjalanan menuju
Batutumonga. Coba bayangkan betapa dinginnya ketika mengendarai sepeda motor!
Kami melihat landscape yang luar biasa dan senyum masyarakat lokal menghiasi
disepanjang perjalanan kami menuju Batutumonga. Melewati desa satu-jalan, kami
melihat pemandangan yang menakjubkan hanya dari sisi jalan, sawah yang bertingkat,
bersinar kuning terang dan hijau di bawah sinar matahari, dengan latar belakang
yang sempurna dari langit biru murni dengan beberapa awan putih besar. Kami
berhenti disebuah rumah kecil untuk beristirahat dan menikmati secangkir kopi
serta sepiring mie yang menghangatkan tubuh kami pagi itu. Benar-benar indah. Kami
juga mengunjungi Lokomata yang merupakan lubang cukup besar untuk memasukkan
peti mati ke dalam batu besar. Selanjutnya destinasi terakhir di Batutumonga adalah
Pana, dimana kami melihat pohon yang berisi kuburan bayi yang meninggal sebelum
mampu berjalan. Mereka kemudian dimakamkan di pohon, menurut tradisi, pohon
dianggap sebagai simbol utama dari kehidupan. Dengan mengubur bayi mereka
- hanya mereka yang tanpa gigi - dalam pohon, pohon akan bertindak sebagai ibu baru bagi bayi tersebut, dan getah sebagai susunya. Selama pohon hidup, bayi tersebut akan terus memiliki kehidupan
baru di dalam. Kuburan kecil ditutupi oleh penutup bambu. Lalu kami kembali ke
Rantepao dan mengunjungi Londa. Dalam gua Londa, banyak peti mati dimakamkan,
berfungsi sebagai kuburan unik bagi masyarakat Tana Toraja. Kamu akan melihat,
banyak kerangka yang berserakan di sekitar gua. Diperingatkan ada tulang di
mana-mana dan itu sedikit menakutkan, dibutuhkan cahaya untuk mengunjungi
gua-gua. Kamu dapat menyewa lentera gas jika mau, tetapi kamu juga dapat hanya
menggunakan cahaya pada ponselmu.
Hari selanjutnya, kami menjelajahi apa yang ada di bagian selatan dari Sulawesi dan kami
berkesempatan untuk melihat tradisi kuat yang ada di Tana Toraja, aku yakin
bahwa semua turis yang datang ke Tana Toraja memiliki tujuan yang sama, yaitu
melihat dan mengikuti pesta kematian orang Toraja! Orang-orang Toraja adalah
pemeluk agama Kristen yang taat, namun mereka masih mempertahankan tradisional,
ritual kematian animisme mereka. Di antaranya adalah keyakinan besar setelah
mati. Mayat dapat dipertahankan selama berbulan-bulan dan bahkan sampai satu
tahun sampai upacara pemakaman yang tepat diadakan. Almarhum dimakamkan dengan
barang yang mereka perlukan dan hewan dikurbankan sehingga jiwa mereka juga
dapat mengikuti jiwa seseorang kehidupan setelah mati. Dalam arti, itu
mengingatkanku pada keyakinan orang Mesir kuno. Puluhan babi dikurbankan,
terlihat ratusan orang menghadiri upacara pemakaman yang mereka sebut sebagai ‘pesta’
kematian ini. Dihadapan kami, dihidangkan berbagai cemilan, minuman bahkan
makan siang. Kami membawa buah tangan berupa rokok, gula, kopi, dan teh sebagai
bentuk hormat kami kepada keluarga yang mengalami kemalangan. Kami (Aku tidak
berani melihat, tetapi Cas melihatnya langsung proses sembelih babi itu >.<) mendengar
jumlah tak terbatas memekik. Lebih dari setengah lusin babi dalam proses
disembelih, mengerikan untuk menonton, Cas menontonnya! Aku hanya berdiri jauh
dari tempat sembelih sambil menutup telinga dan bernyanyi untuk mengalihkan
pendengaran dari suara babi yang sedang disembelih. Pria dengan pisau besar
membuat satu sayatan dan kemudian membiarkan babi mati kehabisan darah. Maka
perut dipotong terbuka lebar dan semua organ ditarik keluar dalam satu gerakan
dan meletakkan di atas tikar bambu. Kemudian, orang yang membawa penyembur api
pergi untuk bekerja pada babi, memanggang itu. Setelah hampir 2 jam disana,
inilah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh orang yang ada diacara 'pesta' kematian itu.. Yaitu acara kurban makhluk yang dianggap sebagai
binatang yang paling penting. Dalam ‘pesta’ kematian ini yaitu Kerbau!
Lagi-lagi aku tak berani melihat adegan sadis ini, Cas melihatnya! Haha. Kami
meninggalkan tempat tersebut setelah acara puncak ini selesai.
Lalu kami juga mengunjungi
Kambira yang letaknya 40 menit berkendara dari Rantepao. Kambira sama seperti
Pana yang kami kunjungi kemarin, Kambira adalah tempat pohon yang berisi
kuburan bayi yang meninggal sebelum mampu berjalan, bedanya di Kambira pohonnya
lebih besar dari yang ada di Pana. Dari Kambira, kami pergi ke Kete Kesu. Kete'
Kesu memang terbilang lengkap, disini terdapat gua, rumah tongkonan dan makam
tebing. Desa ini berusia lebih dari 300 tahun dan diklasifikasikan sebagai
Situs Warisan Dunia UNESCO. Desa ini memiliki 6 Tongkonan, yang merupakan
bangunan tradisional yang dimiliki oleh bangsawan Toraja di mana nenek moyang
mati disimpan. Bangunan-bangunan ini memiliki atap Saddleback tradisional, yang
seharusnya mewakili tanduk kerbau. Ada juga 12 lumbung tradisional di mana
beras disimpan. Semua bangunan di Ke'te Kesu yang indah dihiasi dengan gaya
tradisional Toraja dengan desain bergaya dan geometris dalam warna merah,
kuning, hitam dan putih yang dilukis di dinding. Di sisi belakang, kami melihat
kuburan gantung milik orang Toraja. Peti mati disusun berdasarkan kelas sosial
- orang kaya digantung lebih tinggi, yaitu lebih dekat ke surga, sedangkan
makam orang miskin sering beristirahat langsung di tanah.
Sulawesi memang unik! Tidak hanya
bentuk pulaunya yang unik menyerupai huruf ‘K’, tetapi juga keindahan alam,
tradisi dan budaya setempatnya! Semua yang ada di Sulawesi menjadi kenangan
indah dan pengetahuan baru bagi siapa saja yang menginjakkan kaki disana. Aku
berharap bisa kembali lagi kelak, karena masih banyak sisi yang tidak ku
kunjungi. Dataran tinggi Sulawesi
benar-benar adalah salah satu yang menarik dari Indonesia. Budaya yang unik dan
pedesaan yang indah membuat liburan di sini menjadi pengalaman yang tak
terlupakan. Aku berharap artikel ini telah memberikan beberapa ide tentang apa
yang dapat dilakukan di Sulawesi!
Sulawesi, I’m in love!
Untuk foto, silahkan klik :
https://www.facebook.com/EriCaYiNz/media_set?set=a.1214954968529029.100000436137749&type=3
Tidak ada komentar:
Posting Komentar