Jika liburan sekarang telah ada
dan kamu sudah melihat Bali, aku akan sangat menyarankan untuk mempertimbangkan
menuju ke Nusa Tenggara Timur (NTT). Setelah kami (Aku dan Cas) selesai menjelajahi
Sulawesi, kami memutuskan untuk merayap kearah lebih timur yaitu NTT alias
Flores. Bagi negara dengan populasi Islam terbesar di dunia seperti Indonesia, Pulau
Flores terasa seperti dunia yang terpisah. Flores adalah sebuah pulau yang
sangat Kristen, dan sepanjang perjalananku di sana aku bisa merasakan Kristen
di setiap mana sudut aku berada. Untuk menghemat waktu dan tenaga, kami memilih
menggunakan pesawat terbang dari Makassar ke Maumere (Transit Bali), memang
tidak murah, tetapi ini pilihan terbaik karena di penghujung liburan, kami
harus kembali ke Bali untuk catch our flight back to hometown. So, we decided
to flight from Makassar to Maumere lalu pelan-pelan merayap dari jalur darat
hingga Bali.
Penerbangan kami dari Makassar ke
Bali memakan waktu 1 jam 20 menit dan Bali ke Maumere ditempuh selama 2 jam
dengan pesawat ATR. Kami berangkat dari Makassar pada pukul 9.10 pagi dan
akhirnya tiba di Maumere pada hari yang sama pukul 1.35 siang. Akhirnya,
sampailah kami di Maumere!!! Hoorayyy! Hal pertama yang harus kami lakukan
adalah pergi ke kantor Imigrasi terdekat karena Cas harus memperpanjang
Visanya. Sialnya, kami menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menunggu bagasi
kami, sehingga sekitar pukul 2.00 siang kami baru bisa keluar dari bandara
Maumere ditambah harus jalan kaki ke kantor Imigrasi yang lokasinya tidak
begitu jauh dari bandara sekitar 10 menit. Tibalah kami didepan kantor Imigrasi
Maumere, sebelum masuk ada sebuah spanduk yang memperingatkan tata cara
berbusana bagi pengunjung kantor Imigrasi. Sial! Tidak boleh pakai sandal jepit
(wajib sepatu), celana pendek (Wajib celana panjang), untuk wanita tidak boleh
mengenakan baju tanpa lengan / sleeveless. Kami saling bertatapan dan saling
mengerti. Saat itu, aku mengenakan tshirt dan celana training dibawah lutut,
plus… sandal jepit! Sedangkan Cas? Sama! Cas juga mengenakan kaos dengan celana
dibawah lutut dan sandal jepit! Sebenarnya sih, Cas ini punya celana panjang
warna putih, tetapi celana itu berubah jadi coklat ketika masuk hutan di
Sumatra dan celana itu kita gunting saat di Kotamubago karena Cas kehabisan
stok celana saat disana. Haha. Gara-gara ideku untuk memotong celana
panjangnya, dia jadi tidak lagi memiliki celana panjang sekarang, mana aku tahu
kalau celana panjang itu akan dibutuhkan disaat-saat begini. Hahahaha.
Sedangkan aku juga sebenarnya membawa celana panjang, tapi repot sekali harus
bongkar-muat tas backpack ku. Jadi, dengan modal nekad dan percaya diri, kami masuk saja dengan wajah penuh senyum dan tak berdosa kedalam kantor Imigrasi. Hahaha.
Semua mata tertuju pada kami! Berhubung
petugas Imigrasi tidak fasih berbahasa Inggris dan Cas tidak fasih berbahasa
Indonesia, maka aku bertugas menjadi penerjemah bagi kedua pihak ini. Setelah
diskusi panjang lebar dan melelahkan, kita tidak punya pilihan lain selain
memperpanjang visa milik Cas di Maumere. Menurut petugas disana, seluruh kantor
Imigrasi akan libur panjang menyambut hari Idul Fitri mulai dari 2 Juli hingga
10 Juli, lalu selain kantor Imigrasi di Maumere hanya kantor Imigrasi di Labuan
Bajo yang bisa memfasilitasi untuk perpanjangan visa. Apa artinya? Artinya kami
tidak mungkin terkejar untuk tiba di Labuan Bajo sebelum 2 Juli karena Labuan
Bajo itu jauh sekali! Lalu, sialnya lagi, kami tiba di Maumere pada hari Jum’at
dan sudah mau tutup pula! Mereka hanya bisa memproses dokumen visa ini pada
hari senin karena sabtu-minggu kantor imigrasi itu tutup! Sungguh sial, bukan?
Masalahnya adalah dari Maumere, kami tidak bisa berlama-lama karena harus
segera meneruskan perjalanan ke Desa Moni untuk mengujungi danau Kelimutu yang
terkenal itu. Bukan hanya lelah menerjemahkan percakapan kedua pihak ini,
tetapi otakku juga mulai lelah karena harus menyusun ulang rencana perjalanan
kami. Tapi, apa boleh buat, visa harus diperpanjang dan kami tidak punya
pilihan selain taat pada peraturan, akhirnya Cas mengisi segala dokumen yang
diperlukan dan melengkapi berkas-berkas yang diminta, lalu keluar dari kantor
Imigrasi dengan harapan kami dapat mengambil visa itu pada hari senin sore.
Sebelum kami angkat kaki dari kantor imigrasi, kami diperingatkan untuk
mengenakan pakaian sopan jika datang lagi pada hari senin.
Keluar dari kantor imigrasi
Maumere, kami mencari penginapan untuk bermalam di Maumere ini, sebelum keluar
dari kantor imigrasi, petugas merekomendasikan sebuah penginapan murah yang
bernama Gardena Hostel, berbekal kepercayaan kepada petugas imigrasi, akhirnya
kami menuju kesana dengan menggunakan ojek. Setelah memilih kamar, kami
langsung meletakan barang-barang didalam kamar dan duduk-duduk santai di ruang
tamu hostel. Kami bertemu dengan seorang laki-laki berambut gondrong, kulitnya
coklat gelap dan gayanya agak nyentrik, Pak Jim namanya. Bagiku, bukanlah hal
sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang baru, aku sangat mudah
berkomunikasi dan blend dengan orang baru. Aku dan Pak Jim terlibat pembicaraan
yang cukup seru hingga akhirnya beliau bertanya
darimana asalku, “Saya dari Medan, Pak!”, beliau sontak mengatakan, “Saya
punya banyak teman asal Medan, apa marga kamu? Situmorang? Silaban?” Aku hanya
bisa menjawab, “Saya bukan suku batak. Saya suku Tionghoa.” Pak Jim benar-benar
tidak percaya bahwa aku adalah gadis bersuku Tionghoa. Selain cara berbicara
bahasa Indonesia yang fasih dan tidak memiliki aksen Tionghoa, kulitku yang
gelap menjadi salah satu penyebab aku tidak terlihat seperti kaum Tionghoa pada
umumnya. Setelah bercerita panjang lebar mengenai diriku, aku juga menceritakan
apa yang terjadi di Imigrasi kepada Pak Jim. Lalu beliau menyarankan kami untuk
berkunjung ke daerah timur terlebih dulu, lalu pelan-pelan merayap ke barat.
Pak Jim menyarankan kami pergi ke pulau Lembata yang letaknya disisi timur dari
Maumere. Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya kami setuju untuk mengunjungi
pulau Lembata pada keesokan harinya. Pukul 6.30 pagi, bus sudah menunggu di
depan hostel. Kami menempuh perjalanan 3,5 jam ke Larantuka lalu dilanjutkan
dengan menggunakan speedboat selama 1,5 jam ke pulau Lembata. Akhirnya kami
tiba di “Surga terakhir di Ujung Timur
NTT” ini pada pukul 2.00 siang. Keindahan dan keunikan budaya yang tersimpan di
timur Indonesia tentunya lebih banyak dari jumlah pulaunya yang tersebar bak
untaian intan belum terasah. Lembata memang masih jarang disinggahi wisatawan.
Namun cerita dari mulut ke mulut dan foto tentang perburuan paus tradisional di
tempat ini telah mencengangkan publik dan perlahan-lahan tempat ini mulai
dikenal wisatawan. Pastikan Desa Lamalera, masuk dalam agenda petualangan
karena di sinilah atraksi berburu paus secara tradisional masih tetap dipertahankan.
Sayangnya, ketika kami berkunjung ke Lembata, kami mendengar kabar bahwa bulan
Juni ini belum memasuki pemburuan paus,
akhirnya kami membatalkan kunjungan ke Desa Lamalera karena cukup jauh dari
Lembata dan tidak ada kesempatan bagi kami untuk melihat pemburuan paus. Kami
memutuskan untuk menyewa sepeda motor saja dan berkeliling ke Ile Ape keesokan
harinya. Ile Ape adalah salah satu gunung vulkanik yang masih akti, namun kami
memutuskan untuk tidak mendaki gunung tersebut, kami hanya berkeliling dengan
sepeda motor di Desa Ile Ape. Dari Lewoleba (Pusat Kota Lembata) memakan waktu
1,5 jam untuk ke desa Ile Ape. Kami melewati banyak desa, banyak babi liar,
petani berjalan kaki dihadapan kami, anak-anak yang memanggil kami, benar-benar
kami cinta dengan keramahan penduduk disini.
Dari Pulau Lembata, kami memutuskan
kembali ke Maumere untuk mengambil visa di kantor Imigrasi. Ketika kami tiba di
kantor imigrasi pada hari senin itu, visa masih belum selesai! Makin depresi
deh! Karena kami tidak punya banyak waktu, kami memutuskan untuk kembali esok
hari dan meneruskan perjalanan kami ke Desa Moni yang letaknya 2,5 jam dari Maumere.
Kami memilih menggunakan private-shared
taxi dan membayar IDR75.000 untuk ke Desa Moni. Pada dasarnya hanya ada
satu jalan utama di Flores yaitu Trans-Flores Highway dan itu membentang dari
timur ke barat. Ini berarti kemungkinan untuk tersesat sangatlah kecil bagi
pelancong di Flores.
Kami tiba di Desa Moni pada pukul
8.30 malam, begitu turun dari mobil, kami dihampiri oleh seorang pria pemilik
Watugana Guesthouse dan ia menawarkan kami untuk menginap ditempatnya. Karena
hari sudah gelap dan tidak ada salahnya untuk melihat terlebih dulu, maka kami
mengikuti pria tersebut ke guesthouse miliknya. Kami diperlihatkan sebuah kamar
sederhana lengkap dengan kamar mandi didalamnya, harganya juga tidak terlalu
mahal, IDR150.000/kamar/malam sudah termasuk sarapan pagi. Karena kami juga
sudah lelah dan hari sudah malam, maka kami memutuskan menginap di Watugana
Guesthouse. Moni adalah salah satu tempat terpencil yang kami kunjungi. Ini
adalah sebuah desa kecil kecil di Flores dan dikelilingi oleh sawah. Alasan utama kami datang ke Moni adalah untuk
mendaki Kelimutu dimana terdapat tiga danau di dalam kawah. Danau begitu
terkenal dan mengesankan karena semua danau memiliki warna yang berbeda,
mineral yang melarikan diri dari gunung berapi membuatnya secara bertahap
berubah warna setiap beberapa tahun. Keesokan harinya kami berencana mendaki
Kelimutu akan tetapi hujan turun sepanjang hari dan membuat pendakian ini tidak
memungkinkan. Kami juga tidak bisa kembali ke Maumere karena visa belum
selesai, akhirnya aku dan Cas hanya duduk-duduk, minum kopi dan bercerita
sepanjang hari untuk melewati hari yang penuh hujan ini. Keesokan harinya, kami
melihat matahari muncul dan memancarkan sinarnya, Yeay! Kami bisa mendaki Kelimutu!
Dengan motor sewaan, kami langsung menuju ke Kelimutu yang letaknya kurang
lebih 19 KM dari desa Moni dengan jalan menanjak dan berliku melewati desa dan
sawah. Setelah parker, kami harus berjalan mendaki sekitar 1 KM lagi keatas dan
tibalah kami di Kelimutu! Akhirnya kami melihat danau tiga warna di Kelimutu
dengan mata kami sendiri! Luar biasa indah! Sangat Indah!
Pukul 10.30 pagi, kami beranjak
dari Kelimutu dan kembali ke desa Moni, aku kembali menelepon petugas Imigrasi
dan bertanya mengenai Visa. Visa selesai! Fiuhhhh! Akhirnya pukul 12.000 siang kami
memutuskan kembali ke Maumere untuk mengambil visa dan pukul 3.00 sore dari
Maumere kami langsung menuju ke Ende! Lagi-lagi perjalanan panjang! Kami tiba
di Ende pada malam hari dan langsung beristirahat karena lelah kembali melanda.
Keesokan harinya, kami kembali menyewa motor dan berkeliling di seputar kota Ende
dan menyempatkan diri untuk mengunjungi kampung adat Wolotopo. Kami melihat dua
rumah adat di Wolotopo dan berkesempatan melihat proses tenun ikat yang sedang
dilakukan oleh dua warga. Sepanjang perjalanan menuju Wolotopo kami disuguhi
pemandangan indah yaitu laut biru yang membentang dan hutan-hutan disepanjang
jalan. Di kota Ende, kami juga pergi ke sebuah museum kecil yang bernama Rumah
Pengasingan Bung Karno. Setelah itu, kami kembali ke hostel dan melanjutkan
perjalanan ke Bajawa dengan private-shared taxi. Perjalanan ke Bajawa memakan
waktu empat jam dan kami tiba di Marcelino’s Guesthouse pada pukul 7.30 malam.
Bajawa itu dingin sekali, kawan-kawan! Bonus combo attack-nya adalah guesthouse
ini tidak memiliki fasilitas air panas! Selesai mandi, kami mengisi perut di
sekitar guesthouse dan segera kembali setelah selesai karena
tidak kuat berada diluar terlalu lama, dingin sekali. Keesokan harinya, aku dan
Cas menyewa sepeda motor dan ditemani dua penduduk lokal setempat untuk
berkeliling Bajawa. Kami berkesempatan melihat proses pengolahan biji kopi yang
dikelola oleh penduduk setempat. Bajawa memang terkenal akan kopi Arabikanya
yang premium. Kami juga pergi kesebuah bukit yang bernama Wolobobo Hill, disini
kami melihat kota Bajawa dari ketinggian, dari atas bukit langsung dapat
terlihat dua gunung yaitu Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Indah sekali. Lalu
setelah makan siang, kami pergi ke Mbalata Beach yang letaknya dua jam dari
Bajawa. Kali ini, Cas mengendarai motor di Trans Flores yang jalannya berliku
dan naik – turun, sedangkan aku hanya
bisa memegang bahunya kuat-kuat dari belakang, mengerikan sekali rasanya.
Sesampainya di Mbalata beach, kami duduk dipinggir pantai sambil makan cemilan,
lalu melanjutkan perjalanan ke Pomasule. Di Pomasule, kami menginap satu malam
di rumah warga setempat. Kami dijamu dengan makan malam khas warga lokal, hanya
sayur bayam dan telur dadar, tapi jangan Tanya rasanya, enak! Ditambah lagi
berbincang-bincang sampai larut malam dengan warga disana. Warga di desa ini
sangat ramah dan baik, aku bahkan diberitahu mengenai kehidupan mereka dan
diceritakan tentang adat-adat di kampung adat. Mereka menyambut kami berdua
bagai keluarga mereka sendiri. Keesokan paginya kami bersiap-siap ke kampung
adat untuk melihat kehidupan desa adat dan budayanya, kami pergi ke Kampung
Watu, Kampung Maghileja dan Kampung Jere. Setelah 30 menit melewati jalan
rusak, berbatu, menanjak dan menurun, akhirnya kami menginjakkan kaki di
kampung Watu. Penduduk kampung sudah menyambut kami dengan senyum dan menyalami
kami. Kami serasa pulang ke kampung sendiri! Sebenarnya, kampung adat yang
terkenal dan menjadi tempat wisata itu bernama Kampung Bena, letaknya hanya satu jam dari Bajawa, kalau kampung yang kami kunjungi ini tidak begitu terkenal dan
tidak ada turis lainnya, berbeda dengan Bena yang sangat ramai oleh turis.
Tapi, aku dan Cas memang menyukai tempat dimana kami tidak dapat menemukan
turis lain! Di ketiga kampung ini, kami melihat rumah-rumah adat, bebatuan yang
masih dipergunakan untuk sesajen dan upacara adat, anak-anak juga ramai
mengerumuni kami, yang tak ketinggalan adalah kami disuguhkan kopi dan
berbincang-bincang dengan penduduk adat. Ini sangat mengesankan sekali. Setelah puas, kami kembali ke Pomasule
untuk makan siang dan mengucapkan terima kasih kepada warga yang bersedia
menerima kami untuk menginap dirumah mereka. Sedih rasanya harus berpisah,
tetapi kami harus kembali ke Bajawa dan meneruskan perjalanan ke Ruteng.
Setelah dua jam dari Pomasule ke Bajawa, kami melanjutkan perjalanan ke Ruteng
selama empat jam. Fiuh!
Kami lagi-lagi tiba di Ruteng pada pukul 8.30 malam dan
menginap di sebuah asrama suster katolik. Di Ruteng, kami mengalami dilema. Aku
sudah membeli tiket pesawat untuk kembali ke Medan pada tanggal 8 Juli,
demikian juga Cas, dia harus berada di Thailand pada 8 Juli karena akan
mengikuti pelatihan meditasi. Waktu yang tersisa tinggal 6 hari, sedangkan kami
masih ingin mengunjungi Waerebo, Labuan Bajo, Komodo National Park dan Lombok. Akhirnya
setelah diskusi panjang, kami memutuskan untuk skip kampung Waerebo. Aku
sedikit kecewa dan kekecewaan ini aku sampaikan kepada Cas. Kami melewati
banyak tempat yang seharusnya bisa kami kunjungi, diantaranya Wakatobi di
Sulawesi Tenggara, lalu Riung di Flores dan sekarang Waerebo. Tetapi Cas
meyakinkanku bahwa kami sudah melihat dan berbaur dengan banyak kampung adat,
maka tidak menjadi masalah jika kami melewati Waerebo kali ini. Dalam waktu 6
hari kedepan kami diharuskan untuk bisa tiba di Bali agar kami tidak kehilangan
penerbangan yang sudah kami beli. Maka dari Ruteng, kami langsung pergi ke
Labuan Bajo, empat jam kemudian kami sampai di Labuan Bajo dan memutuskan mengikuti
sailing trip selama 4D3N untuk bisa sampai di Lombok, sebenarnya untuk ke
Lombok bisa ditempuh lewat jalur darat, tetapi karena perjalanan darat dari Labuan
Bajo ke Lombok memakan waktu lebih dari 26 jam, maka kami memilih sailing trip
saja. Selama sailing trip, pengalaman yang kami rasakan juga luar biasa. Mulai
dari melihat komodo di Rinca, Kegiatan di Rinca (Loh Buaya) adalah trekking
melihat Komodo (We did long trek!). Di Pulau ini, komodo akan lebih mudah untuk
dilihat karena rentang habitat lebih kecil daripada di Pulau Komodo (Loh
Liang), komodo di Loh Buaya juga lebih agresif. Selain komodo, di pulau ini juga
bisa melihat sapi, kerbau, monyet, ayam hutan, dll. Dari Rinca, kapal berlayar ke
Pink Beach, pantai ini adalah tempat terbaik untuk snorkeling. Terumbu karang,
ikan, dan pantainya benar-benar indah. Pantai ini disebut Pink Beach karena
pasir pantai ini berwarna Pink (merah muda). Warna pasir berasal dari abrasi
terumbu karang di pantai yang terlihat berwarna merah muda. Setelah snorkeling,
kita menuju Kalong Island dan bermalam di sana. Setelah matahari terbenam, kamu
bisa melihat banyak kelelawar mencari makanan. Keesokan harinya kami sudah tiba
di Manta point, disini banyak sekali Manta yang bisa dilihat tanpa harus diving
bahkan snorkeling. Karena tidak tahan, aku melakukan snorkeling dan melihat 3
ekor Manta yang ukurannya besar sekali! Aku pernah melihat Manta saat melakukan
scuba diving di Thailand, tapi ukurannya jauh lebih kecil dari yang aku lihat
disini. Luar biasa! Dari Manta Point, kapal berlayar ke Gili Laba. Aktifitas di
Pulau ini adalah Trekking ke puncak pulau untuk menikmati panorama landscape
Flores dan melihat pemandangan yang luar biasa. Aku sempat tidak kuat mendaki
bukit Gili Laba ini, karena cuaca yang sangat panas, matahari tepat berada
diatas kepalaku dan jalannya yang menanjak. Aku bukan tipe orang yang suka
menyerah, ketika Cas menawarkan untuk membawaku kembali ke kapal, aku
menolaknya mentah-mentah! Aku berhenti sekitar 20 menit untuk beradaptasi
dengan situasi, lalu meneruskan pendakian dan menikmati pemandangan dari Gili
Laba. I did it! Dari Gili Laba kami berlayar semalaman suntuk ditemani ombak
yang membuat perut kami mual, kami tiba di pulau Moyo pada keesokan harinya.
Senang sekali berada di pulau Moyo, kenapa? Akhirnya aku menemukan air tawar
untuk mandi setelah 3 hari tidak mandi! Hahaha. Kami melakukan trekking ke dalam hutan sekitar 20 menit untuk bisa tiba diair terjun dan ketika tiba disana, aku langsung duduk tenang dibawah air terjun menikmati air
tawar. Perjalanan dilanjutkan ke Lombok dan kami tiba di Lombok pada pukul 8.30
malam, seharusnya kami masih menginap satu malam di kapal, tetapi aku dan Cas memutuskan
untuk pergi ke pelabuhan Lembar di Lombok Barat pada malam itu juga untuk
langsung menyebrang ke Bali dengan ferry tengah malam. Akhirnya kami menyebrang
ke Bali dengan Ferry pukul 02.00 dini hari dan tiba di Denpasar pada pukul
06.00 pagi dan langsung mencari Hostel. Tidak ada hal yang special yang kami
lakukan di Bali, hanya beristirahat dan berkeliling sekitar hostel untuk
mengisi perut. Keesokan harinya Cas terbang ke Thailand dan aku terbang kembali
ke Medan, dengan demikian berakhirlah liburan kami. Liburan di Flores ini
membuat aku makin cinta alam dan budaya Indonesia. Destinasi Flores pun
komplit; mulai dari museum, desa adat, perkebunan kopi, hot spring, gunung,
sampai pantai yang keren juga ada! Benar-benar Flores itu extraordinary!
Aku pasti akan menyarankan orang-orang
yang bepergian ke Indonesia, terutama mereka pada perjalanan backpacking lagi,
untuk menyertakan Flores dalam jadwal mereka dan membagikan cukup banyak waktu
untuk itu. Sebagian besar tempat di pulau hanya membutuhkan satu atau dua malam
menginap, tapi ini adalah salah satu pulau dimana kamu bisa mendapatkan
sebagian besar berhubungan dengan alam dan orang-orang yang menjadikannya indah dan berwarna-warni dari tempat itu.
Aku akan mengatakan bahwa
beberapa kenangan terbaikku dari perjalanan ini adalah dari Flores, dan itu
adalah pertama kalinya semua perjalanan aku merasa seperti benar-benar
mendapatkan pelajaran dan berbaur lebih dalam dengan budaya dan masyarakat
lokal daripada melakukan hal-hal seperti duduk-duduk dan menyelam di Lombok
atau trekking di Gunung Rinjani yang biasa dilakukan oleh turis pada umumnya. Flores
juga merupakan titik melompat untuk melanjutkan ke Timor Barat, Sumba atau
untuk pergi ke Sumbawa, semua tiga pulau yang ada di jadwalku untuk
perjalananku ke Indonesia Timur ketika aku kembali, mudah-mudahan dalam tahun
depan.
Untuk foto-foto kami, silahkan klik :
Tidak ada komentar:
Posting Komentar