Senin, 02 Februari 2015

Ketika Manusia Kehilangan Rasa Kemanusiaan

Halo!
Penulis kembali menggerakkan jari-jari diatas keyboard laptop dengan sejuta kekesalan yang ada di hati. Penulis bukan ingin membagikan atau menularkan virus jengkel kepada para pembaca, namun penulis hanya ingin 'membangunkan'  pembaca melalui blog ini.

Kemarin sore, 1 Februari 2015, penulis dan beberapa kerabat diberitahu mengenai adanya tunawisma yang berada disalah satu komplek pertokoan kota Medan yang sudah 3 hari tidak makan dan ada dalam kondisi sakit serta satu tuna wisma lainnya yang juga ada di salah satu komplek perumahan kota Medan yang berada dalam kondisi tubuh sakit.

Tunawisma / Gelandangan  (GEPENG – Gelandangan Pengemis) adalah orang yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan pinggir sungai, stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi, tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium, lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada. Gelandangan dan Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang menggelandang dan mengemis karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemis pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan ke daerah asalnya.

Penulis dan kerabat memutuskan menghampiri tuna wisma yang berada disalah satu komplek pertokoan di kota Medan terlebih dulu, dengan harapan akan ada yang bisa kami lakukan bagi mereka. Sesampainya disana, kami bertanya pada petugas komplek tentang informasi yang kami dapat dan petugas membawa kami ke alamat yang kami maksud. Penulis terperangah dengan kondisi tuna wisma yang sudah sangat kotor disertai bengkaknya anggota tubuh. Penulis memperkirakan usia tuna wisma tersebut sekitar 60 tahun. Kami mengajaknya berkomunikasi dan cukup koorperatif saat berkomunikasi. Ia bicara sambil sesekali mengumpulkan bulir-bulir nasi yang sudah berjatuhan dilantai kotor. Baunya cukup menyengat, mungkin karena sudah berhari-hari tidak mandi. Petugas komplek memberitahu bahwa tuna wisma tersebut sudah sekitar dua minggu berada disana. Kami memberikannya sebungkus nasi dan air, kami bertanya nama dan alamatnya dan ia menjawab pertanyaan kami dengan baik. Namun sayangnya, ia bersikeras bahwa rumahnya adalah di komplek pertokoan tersebut namun tak ada penghuni komplek tersebut yang mengenalnya. Kami berasumsi bahwa dulu sebelum komplek ini dibangun, ia memang memiliki tempat tinggal di tanah tersebut hingga akhirnya komplek itu di bangun dan tempat tinggalnya dihancurkan.

Ditempat yang berbeda dengan kasus yang sama, ada tuna wisma lainnya di dalam komplek perumahan kota Medan yang dalam kondisi sakit. Ketika kami datang, ia terlihat sedang muntah, karena langit sudah gelap saat itu, penulis menyalakan senter melalui telepon genggam dan penulis melihat adanya darah di muntahan tuna wisma tersebut. Ketika kami ajak berkomunikasi, tuna wisma ini kurang koorperatif dan tidak menjawab apapun. Penulis dan kawan-kawan tidak mendapatkan informasi apapun. Kami berusaha mengajaknya bicara namun ia tetap diam. Kami menyerah!

Tak ada yang bisa kami lakukan malam itu untuk membantu kedua tuna wisma tersebut. Kami berusaha menghubungi pemerintah melalui dinas sosial provinsi sumatera utara, namun tidak ada jawaban karena pada hari minggu memang tidak ada petugas yang bekerja. Kecewa memang, tapi apa daya.

Hari ini, penulis menyambangi dinas sosial provinsi sumatera utara dan mencari seksi yang menangani gelandangan pengemis. Ya! Penulis bertemu dengan pak Siantar Ginting yang sudah penulis kenal cukup baik karena penulis pernah bekerjasama dengan beliau untuk memasukan orangtua terlantar yang penulis temukan beberapa lalu ke panti penampungan gelandangan pengemis. Beliau cukup koorperatif memberikan masukan dan informasi bahwa dinas sosial provinsi tidak bisa menangani tuna wisma yang ada dalam kondisi sakit karena itu adalah bagian pekerjaan dari dinas kesehatan. Pak Siantar Ginting cukup banyak memberikan informasi yang bermanfaat bagi penulis dan merekomendasikan agar penulis menyambangi dinas sosial kota Medan terlebih dahulu untuk meminta petunjuk lainnya karena hal itu merupakan wewenang dari dinas sosial kota Medan.

Berhubung hari sudah sore, penulis memutuskan untuk esok hari baru akan menyambangi dinas sosial kota Medan dan penulis meminta nomor telepon seksi yang menangani kepada pak Siantar Ginting agar bisa berkoordinasi dengan pihak dinas sosial kota Medan sebelum penulis datang. Ternyata, ketika penulis menelepon petugas yang berada di dinas sosial kota Medan, petugas-petugas tersebut kurang koorperatif dalam berbicara dan terkesan tidak mau peduli dengan apa yang disampaikan oleh penulis.

Jawaban yang penulis terima dari pihak dinas sosial kota Medan sebagai berikut :
"Kita nggak ngurus gelandangan sakit!"
"Kita nggak punya anggaran lagi untuk gelandangan sakit dan hasil rapat belum keluar!"
"Cari dinas kesehatan saja! Kami tidak bisa urus."
"Kami tidak tahu nomor telepon petugas dinas kesehatan."
"Kami tidak tahu alamat dinas kesehatan."

Mendengar jawaban-jawaban seperti itu, penulis sangat kesal. Apalagi ditambah nada berbicara para petugas dinas sosial kota Medan yang tidak koorperatif itu. Sebenarnya, Dinas Sosial Kota Medan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah dibidang sosial. Salah satunya permasalahan pengemis, gelandangan dan  anak jalanan. Oleh karena itu Dinas Sosial melakukan pembinaan terhadap pengemis, gelandangan dan  anak jalanan sebagai upaya nyata untuk menanggulangi pengemis, gelandangan dan  anak jalanan yang ada di Kota Medan. Dari pembinaan yang dilakukan Dinas Sosial diharapkan dapat mengurangi pengemis, gelandangan dan  anak jalanan dan dapat memperbaiki kehidupan mereka menjadi lebih baik.

Bicara tentang “Rasa kemanusiaan”, tentu akan berbincang perihal “Hati”, lantaran hati adalah tempat bersemayamnya rasa kemanusiaan itu sendiri, sekaligus pintu pelontarnya.
Apakah rasa kemanusiaan para petugas pemerintah ini telah tertutupi oleh rasa egoisme dan rasa tamak? Tidakkah mereka merasa berdosa karena ternyata mereka tidak melakukan tugas yang seharusnya mereka lakukan? Dimanakah hati nurani mereka? Mungkin para tuna wisma tersebut bukanlah keluarga, teman dan kerabat mereka, namun tidakkah bisa mereka melakukan tugasnya dengan dilandasi rasa kemanusiaan? Bukan-kah tuna wisma tersebut juga bukanlah keluarga, teman dan kerabat saya? Lalu mengapa saya peduli? Hanya satu penyebabnya, yaitu KEMANUSIAAN.
Seonggok kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab bila semua pihak menghindar?

“Berilah kekuatan sekuat baja, untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani dunia ini. Berilah kesabaran seluas angkasa, untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan derita ini. Berilah kemauan sekuat garuda, untuk melawan kekejaman ini, untuk menolak penindasan ini berilah perasaan selembut sutera, untuk menjaga peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini” ― Subagio Sastrowardoyo

Bukan hanya masalah rasa kemanusiaan yang sudah hampir punah saja, tetapi masalah birokrasi di Indonesia juga menjadi salah satu penyebabnya, Birokrasi di Indonesia memiliki posisi dan peran yang sangat strategis, terutama untuk proses pemberdayaan masyarakat. Sistem tersebut masih dinilai belum bekerja dengan efektif dalam mewujudkan pelayanan di berbagai aspek, seperti pendidikan, kesehatan, administrasi dasar, dan lainnya. Permasalahan terkait birokrasi tersebut ditunjukan secara gambling oleh tingginya korupsi, rendahnya pelayanan masyarakat, dan rendahnya akuntabilitas kinerja organisasi. Beberapa peraturan perundang-undangan masih terdapat tumpang tindih, dan ketidakjelasan di bidang aparatur negara. Di samping itu, banyak peraturan perudangan yang belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan pemerintah dan tuntutan masyarakat.  Hal lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi pemerintah di Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan hubungan yang bersifat pribadi.hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia, karena dengan adanya hubungan pribadi dengan para key person banyak persoalan yang  sulit menjadi mudah atau sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di Negara kita belum baik dan masih banyak yang perlu diperbaiki.  Dalam prakteknya, muncul kesan yang menunjukan seakan-akan para pejabat dibiarkan menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk kepentingan diri dan kelompok. Ini dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek birokrasi yang tidak efisien dan bertele-tele.

Kemanusiaan itu tak mengenal batas negara dan agama. Ia tumbuh dari keajaiban nuranimu tanpa sekat, tanpa musim! Saya tak membenci para petugas pemerintahan. Tapi saya membenci tindakan orang-orang itu bila mereka tak mengedepankan kemanusiaan dan kebenaran.


Ayo Bangkit Indonesiaku! Bangkit dan Bangun!








Tidak ada komentar: