Halo!
Penulis kembali menggerakkan jari-jari diatas keyboard laptop dengan sejuta kekesalan
yang ada di hati. Penulis bukan ingin membagikan atau menularkan virus jengkel kepada para pembaca, namun penulis hanya
ingin 'membangunkan' pembaca melalui blog ini.
Kemarin sore, 1 Februari 2015, penulis dan beberapa
kerabat diberitahu mengenai adanya tunawisma yang berada disalah satu komplek
pertokoan kota Medan yang sudah 3 hari tidak makan dan ada dalam kondisi sakit
serta satu tuna wisma lainnya yang juga ada di salah satu komplek perumahan
kota Medan yang berada dalam kondisi tubuh sakit.
Tunawisma / Gelandangan (GEPENG – Gelandangan Pengemis) adalah orang
yang tidak mempunyai tempat tinggal tetap dan berdasarkan berbagai alasan harus
tinggal di bawah kolong jembatan, taman umum, pinggir jalan pinggir sungai,
stasiun kereta api, atau berbagai fasilitas umum lain untuk tidur dan
menjalankan kehidupan sehari-hari. Sebagai pembatas wilayah dan milik pribadi,
tunawisma sering menggunakan lembaran kardus, lembaran seng atau aluminium,
lembaran plastik, selimut, kereta dorong pasar swalayan, atau tenda sesuai
dengan keadaan geografis dan negara tempat tunawisma berada. Gelandangan dan
Pengemis pada dasarnya dapat dibagi menjadi dua, yaitu mereka yang masuk dalam
kategori menggelandang dan mengemis untuk bertahan hidup, dan mereka yang
menggelandang dan mengemis karena malas dalam bekerja. Gelandangan dan pengemis
pada umumnya tidak memiliki kartu identitas karena takut atau malu dikembalikan
ke daerah asalnya.
Penulis dan kerabat memutuskan menghampiri tuna
wisma yang berada disalah satu komplek pertokoan di kota Medan terlebih dulu,
dengan harapan akan ada yang bisa kami lakukan bagi mereka. Sesampainya disana,
kami bertanya pada petugas komplek tentang informasi yang kami dapat dan
petugas membawa kami ke alamat yang kami maksud. Penulis terperangah dengan
kondisi tuna wisma yang sudah sangat kotor disertai bengkaknya anggota tubuh.
Penulis memperkirakan usia tuna wisma tersebut sekitar 60 tahun. Kami mengajaknya
berkomunikasi dan cukup koorperatif saat berkomunikasi. Ia bicara sambil
sesekali mengumpulkan bulir-bulir nasi yang sudah berjatuhan dilantai kotor.
Baunya cukup menyengat, mungkin karena sudah berhari-hari tidak mandi. Petugas
komplek memberitahu bahwa tuna wisma tersebut sudah sekitar dua minggu berada
disana. Kami memberikannya sebungkus nasi dan air, kami bertanya nama dan
alamatnya dan ia menjawab pertanyaan kami dengan baik. Namun sayangnya, ia
bersikeras bahwa rumahnya adalah di komplek pertokoan tersebut namun tak ada
penghuni komplek tersebut yang mengenalnya. Kami berasumsi bahwa dulu sebelum
komplek ini dibangun, ia memang memiliki tempat tinggal di tanah tersebut
hingga akhirnya komplek itu di bangun dan tempat tinggalnya dihancurkan.
Ditempat yang berbeda dengan kasus yang sama, ada
tuna wisma lainnya di dalam komplek perumahan kota Medan yang dalam kondisi
sakit. Ketika kami datang, ia terlihat sedang muntah, karena langit sudah gelap
saat itu, penulis menyalakan senter melalui telepon genggam dan penulis melihat
adanya darah di muntahan tuna wisma tersebut. Ketika kami ajak berkomunikasi,
tuna wisma ini kurang koorperatif dan tidak menjawab apapun. Penulis dan
kawan-kawan tidak mendapatkan informasi apapun. Kami berusaha mengajaknya bicara
namun ia tetap diam. Kami menyerah!
Tak ada yang bisa kami lakukan malam itu untuk
membantu kedua tuna wisma tersebut. Kami berusaha menghubungi pemerintah
melalui dinas sosial provinsi sumatera utara, namun tidak ada jawaban karena
pada hari minggu memang tidak ada petugas yang bekerja. Kecewa memang, tapi apa
daya.
Hari ini, penulis menyambangi dinas sosial provinsi
sumatera utara dan mencari seksi yang menangani gelandangan pengemis. Ya!
Penulis bertemu dengan pak Siantar Ginting yang sudah penulis kenal cukup baik
karena penulis pernah bekerjasama dengan beliau untuk memasukan orangtua
terlantar yang penulis temukan beberapa lalu ke panti penampungan gelandangan
pengemis. Beliau cukup koorperatif memberikan masukan dan informasi bahwa dinas
sosial provinsi tidak bisa menangani tuna wisma yang ada dalam kondisi sakit
karena itu adalah bagian pekerjaan dari dinas kesehatan. Pak Siantar Ginting
cukup banyak memberikan informasi yang bermanfaat bagi penulis dan merekomendasikan
agar penulis menyambangi dinas sosial kota Medan terlebih dahulu untuk meminta
petunjuk lainnya karena hal itu merupakan wewenang dari dinas sosial kota Medan.
Berhubung hari sudah sore, penulis memutuskan
untuk esok hari baru akan menyambangi dinas sosial kota Medan dan penulis meminta nomor
telepon seksi yang menangani kepada pak Siantar Ginting agar bisa berkoordinasi dengan pihak dinas sosial kota Medan sebelum penulis datang. Ternyata,
ketika penulis menelepon petugas yang berada di dinas sosial kota Medan,
petugas-petugas tersebut kurang koorperatif dalam berbicara dan terkesan tidak
mau peduli dengan apa yang disampaikan oleh penulis.
Jawaban yang penulis terima dari pihak dinas sosial
kota Medan sebagai berikut :
"Kita
nggak ngurus gelandangan sakit!"
"Kita
nggak punya anggaran lagi untuk gelandangan sakit dan hasil rapat belum
keluar!"
"Cari
dinas kesehatan saja! Kami tidak bisa urus."
"Kami
tidak tahu nomor telepon petugas dinas kesehatan."
"Kami
tidak tahu alamat dinas kesehatan."
Mendengar jawaban-jawaban seperti itu, penulis
sangat kesal. Apalagi ditambah nada berbicara para petugas dinas sosial kota Medan yang tidak koorperatif itu. Sebenarnya, Dinas Sosial Kota
Medan mempunyai tugas melaksanakan urusan pemerintah daerah dibidang sosial.
Salah satunya permasalahan pengemis, gelandangan dan anak jalanan. Oleh karena itu Dinas Sosial
melakukan pembinaan terhadap pengemis, gelandangan dan anak jalanan sebagai upaya nyata untuk
menanggulangi pengemis, gelandangan dan
anak jalanan yang ada di Kota Medan. Dari pembinaan yang dilakukan Dinas
Sosial diharapkan dapat mengurangi pengemis, gelandangan dan anak jalanan dan dapat memperbaiki kehidupan
mereka menjadi lebih baik.
Bicara tentang “Rasa kemanusiaan”, tentu akan
berbincang perihal “Hati”, lantaran hati adalah tempat bersemayamnya rasa
kemanusiaan itu sendiri, sekaligus pintu pelontarnya.
Apakah rasa kemanusiaan para petugas pemerintah ini
telah tertutupi oleh rasa egoisme dan rasa tamak? Tidakkah mereka merasa
berdosa karena ternyata mereka tidak melakukan tugas yang seharusnya mereka
lakukan? Dimanakah hati nurani mereka? Mungkin para tuna wisma tersebut
bukanlah keluarga, teman dan kerabat mereka, namun tidakkah bisa mereka
melakukan tugasnya dengan dilandasi rasa kemanusiaan? Bukan-kah tuna wisma
tersebut juga bukanlah keluarga, teman dan kerabat saya? Lalu mengapa saya
peduli? Hanya satu penyebabnya, yaitu KEMANUSIAAN.
Seonggok
kemanusiaan terkapar. Siapa yang mengaku bertanggung jawab bila semua pihak
menghindar?
“Berilah
kekuatan sekuat baja, untuk menghadapi dunia ini, untuk melayani dunia ini.
Berilah kesabaran seluas angkasa, untuk mengatasi siksaan ini, untuk melupakan
derita ini. Berilah kemauan sekuat garuda, untuk melawan kekejaman ini, untuk
menolak penindasan ini berilah perasaan selembut sutera, untuk menjaga
peradaban ini, untuk mempertahankan kemanusiaan ini” ― Subagio Sastrowardoyo
Bukan hanya masalah rasa kemanusiaan yang sudah
hampir punah saja, tetapi masalah birokrasi di Indonesia juga menjadi salah
satu penyebabnya, Birokrasi di Indonesia memiliki posisi dan peran yang sangat
strategis, terutama untuk proses pemberdayaan masyarakat. Sistem tersebut masih
dinilai belum bekerja dengan efektif dalam mewujudkan pelayanan di berbagai
aspek, seperti pendidikan, kesehatan, administrasi dasar, dan lainnya.
Permasalahan terkait birokrasi tersebut ditunjukan secara gambling oleh
tingginya korupsi, rendahnya pelayanan masyarakat, dan rendahnya akuntabilitas
kinerja organisasi. Beberapa peraturan perundang-undangan masih terdapat
tumpang tindih, dan ketidakjelasan di bidang aparatur negara. Di samping itu,
banyak peraturan perudangan yang belum disesuaikan dengan dinamika perubahan penyelenggaraan
pemerintah dan tuntutan masyarakat. Hal
lain yang cukup menarik dan dapat dijumpai dalam penampilan birokrasi
pemerintah di Indonesia adanya upacara-upacara yang bersifat formalitas dan
hubungan yang bersifat pribadi.hubungan yang bersifat pribadi sangat mendapat
tempat dalam budaya birokrasi di Indonesia, karena dengan adanya hubungan
pribadi dengan para key person banyak
persoalan yang sulit menjadi mudah atau
sebaliknya. Dapat dikatakan bahwa birokrasi di Negara kita belum baik dan masih
banyak yang perlu diperbaiki. Dalam
prakteknya, muncul kesan yang menunjukan seakan-akan para pejabat dibiarkan
menggunakan kedudukannya di birokrasi untuk kepentingan diri dan kelompok. Ini
dapat dibuktikan dengan hadirnya bentuk praktek birokrasi yang tidak efisien
dan bertele-tele.
Kemanusiaan
itu tak mengenal batas negara dan agama. Ia tumbuh dari keajaiban nuranimu
tanpa sekat, tanpa musim! Saya tak membenci para petugas pemerintahan. Tapi
saya membenci tindakan orang-orang itu bila mereka tak mengedepankan
kemanusiaan dan kebenaran.
Ayo Bangkit Indonesiaku! Bangkit dan Bangun!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar