Senin, 26 Desember 2016

Volunteering Stories in Myanmar.

Do your little bit of good where you are; it’s those little bits of good put together that overwhelm world. ~ Desmond Tutu

Sebelum memulai perjalanan keluar negeri, melayani sesama sudah bagian hidupku sehari-hari selama enam tahun belakangan. Aku memberikan hidupku secara teratur untuk melayani dan membantu sesama, Setiap saya memutuskan untuk travelling, menjadi relawan selalu menjadi salah satu hal yang wajib untuk kulakukan. Tahun lalu ketika melakukan perjalanan di Cambodia dan Thailand selama satu bulan, aku memberikan 2 hari dari perjalananku di Cambodia untuk kegiatan kemanusiaan. Satu hari di kampung terapung untuk mengajar Bahasa Inggris kepada anak-anak dan satu hari di Bank Darah untuk mendonorkan darah. Sedangkan di Thailand, aku memberikan 3 hari dari perjalananku untuk menjadi relawan di Dhammagiri Foundation – Mae Hong Son. Disana, aku membantu dalam bentuk tenaga dan membawa sejumlah uang donasi yang telah ku kumpulkan di Medan, Indonesia.

“You don’t have to be rich to travel well.” Kutipan ini nampaknya benar. bukan karena aku belum cukup kaya, tetapi aku percaya bahwa untuk memiliki perjalanan yang baik, uang bukan satu-satunya hal yang wajib, uang hanya salah satunya untuk menjadikan perjalanan wisata kita lebih baik. Sama seperti tahun lalu saat travelling di Cambodia dan Thailand, tahun ini rutinitas travelling kembali dijalankan dan pilihan jatuh pada Negara Myanmar.

Sebelum pergi ke Myanmar, aku menyampaikan kabar baik kepada teman-teman bahwa aku akan menerima donasi untuk disalurkan di Myanmar, ternyata hal ini disambut baik oleh seluruh teman-teman, mereka mulai mengirimkan donasi mereka untuk dititipkan kepadaku. Aku senang sekali dapat menjadi perpanjangan tangan untuk membantu mereka menyalurkan rezekinya. Aku pribadi, bukanlah orang yang kaya dan melimpah. Hidupku yang berkecukupan namun tak berlebih membuatku memutar akal, aku memilih berkontribusi dengan caraku. Pekerjaanku sebagai guru yang telah ku lakoni selama delapan tahun menjadi bekal utama, keahlian mengajarku akan ku pergunakan untuk berkontribusi. Aku mulai mencari ‘ladang’ dimana aku bisa menyalurkan ‘benih’ yang ku miliki dengan baik.

Aku selalu bersyukur, walau tidak berkelimpahan materi namun aku berkelimpahan talenta, kira-kira itulah yang sering dikatakan oleh teman-teman kepadaku. Selain mengajar, aku memiliki sedikit keahlian memasak, bermain alat musik, sedikit bela diri dan tubuh yang sehat, dengan kelebihan yang ku miliki inilah aku berusaha untuk terus berkontribusi.

Aku pergi ke sebuah rumah sakit khusus biarawan di Yangon. Disana aku menyalurkan donasi yang terkumpul dari teman-temanku sebesar USD1300. Jivitadana Sangha Hospital, memberikan pelayanan kesehatan gratis kepada biarawan dan orang-orang tidak mampu. Lalu, Aku juga menyalurkan donasi lainnya berupa jubah dan mangkuk sebanyak 40 set di Mahagandhayone Monastery di Amarapura, Mandalay. Jubah dan Mangkuk adalah kebutuhan mendasar bagi para biarawan yang berlatih. Aku juga membeli sedikit makanan untuk didonasikan disana. Mahagandhayone merupakan pusat pembelajaran terkenal di Myanmar, seluruh biarawan diberikan pendidikan monastik secara gratis disana dan diharapkan setelahnya dapat berkontribusi untuk perkembangan Agama Buddha. Jumlah biarawan yang belajar disana mencapai 1.100 orang dari berbagai kota di Myanmar dan usia para biarawan pun beragam, mulai dari 7 tahun hingga lanjut usia.

Lalu, aku juga mengunjungi sebuah sekolah khusus tuna netra yang ada di Pyin Oo Lwin. Kunjungan ini tidak ada dalam rencanaku, aku mencari informasi mengenai panti asuhan yang bisa ku kunjungi, aku berharap untuk bisa mengajar disebuah panti asuhan untuk melampiaskan rasa rinduku kepada siswaku di Medan. Lalu, aku diberitahu oleh orang lokal bahwa ada sebuah sekolah yang dikhususkan untuk tuna netra dan aku memutuskan untuk kesana. Setelah 30 menit perjalanan, aku tiba disana. Tidak ada seorangpun yang mampu berkomunikasi dalam bahasa inggris menjadi tantangan tersendiri bagiku ketika tiba disana, akhirnya mereka mencari seorang guru yang bisa berbahasa inggris dan beliau menjadi pemandu sekaligus penerjemahku ketika berkomunikasi dengan orang-orang disana. Aku menghabiskan dua jam disana dengan berkeliling melihat situasi dan bangunan sekolah. Pendiri sekolah tersebut adalah seorang biarawan Buddhis yang bernama Sayadaw U Nye Ya yang juga penyandang tuna netra. Disekolah tersebut selain diajarkan pelajaran umum seperti matematika, bahasa inggris, dan pelajaran umum lainnya, siswa juga diajarkan keahlian seperti memijat, mereparasi telepon genggam, dan lain sebagainya secara gratis. Tentu saja untuk pelajaran umum, mereka menggunakan braille. Mereka juga memperlihatkan bagaimana menulis dan membaca dengan huruf braille itu kepadaku. Di sisi belakang sekolah, aku bertemu dengan seorang anak perempuan berusia sekitar 10 tahun yang sedang menikmati makan malamnya. Dia mampu melihat seperti orang pada umumnya, namun yang menjadi perhatianku adalah ia terlahir tidak sempurna, ia tidak memiliki kedua tangan seperti orang pada umumnya dan harus makan dengan kaki. Tidak hanya makan, juga melakukan aktivitas lain dengan kakinya, salah satunya menulis. Aku sempat duduk cukup lama disampingnya dan ia menulis namanya di buku yang ku bawa. Sebuah pelukan ku berikan sebagai penguat dan penyemangat baginya walau ku tahu ia sudah cukup kuat dan semangat selama ini. Sebelum meninggalkan sekolah itu, aku memberikan sedikit donasi yang dikumpulkan dari teman-temanku sebesar USD200. Aku tahu itu bukan jumlah yang cukup besar, namun aku berharap itu dapat membantu sekolah tersebut karena mereka juga telah membantu memberikan harapan kepada para penyandang tuna netra. Aku belajar bersyukur disana, kedua mataku yang mampu melihat dunia adalah alasannya. Aku mampu melihat dunia yang indah ini  dengan kedua mataku.

Saat melakukan trekking dari Kalaw ke Inle Lake, aku bertemu dengan sekelompok orang lokal ditengah perjalanan kami. Mereka berbincang sejenak dengan pemandu kami dan aku bertanya kepada pemandu apa yang mereka katakan. Lalu pemandu kami mengatakan bahwa bapak tersebut bertanya kepadanya apakah memiliki obat karena beliau terluka di tengah perjalanannya. Sayangnya pemandu kami tidak membawa persediaan obat apapun. Aku bertanya apakah aku boleh melihat luka bapak tersebut. Saat itu, salah satu temanku memiliki plester dan aku menawarkan diri untuk mengobati luka tersebut. Tanpa banyak bicara, ku buka ranselku dan mengeluarkan botol air minumku dan tisu untuk membersihkan lukanya. Ku minta satu plester dari temanku. Setelah membersihkannya dengan air dan mengeringkannya dnegan tisu, aku membalutkan plester agar luka tersebut tidak terkontaminasi dengan bakteri. Bapak tersebut bertanya kepada pemandu kami darimana asal Negara kami, dan pemandu kami menjawab ‘Indonesia’. Bapak tersebut tersenyum lebar kepadaku dan mengucapkan terima kasih sebanyak yang ia bisa. Senang sekali berkesempatan menolong sesama walau sedang berada di hutan sekalipun. Hidup terasa jauh lebih bermakna dan bermanfaat ketika berkesempatan untuk membantu sesama.

Selanjutnya ketika mengunjungi The Ancient City of Bagan, aku memutuskan untuk menginap di sebuah wihara yang direkomendasikan oleh salah satu teman di Yangon. Wihara ini bukanlah wihara khusus yang menerima wisatawan asing untuk menginap. Ketika aku menginjakkan kaki disana, pertanyaan pertama yang ditanyakan oleh kepala wihara dan salah satu relawan yang mengurus wihara disana adalah ‘Mengapa kalian tidak menginap di hotel?’. Well, sebenarnya tujuannya bukan menghemat biaya akomodasi semata, melainkan ingin merasakan langsung dan mengamati langsung kehidupan monastik yang ada di Myanmar. Aku bercerita mengenai berapa lama aku menghabiskan waktu di Myanmar, apa yang akan ku lakukan dan yang sudah dilakukan. Yang tak kalah penting adalah meyakinkan mereka bahwa kami adalah ‘orang baik-baik’. Ku lihat kepala wihara sedikit bingung, namun akhirnya beliau mengizinkanku menginap. Saat ditanya, “Berapa lama kalian akan menginap?”, giliranku yang bingung! HAHAHA. Maklum, aku tak pernah membuat patokan seperti itu dan aku spontan menjawab ‘tidak tahu, mungkin maksimal 5 malam!’. Lalu, kepala wihara menugaskan Mr. Thay untuk menunjukkan ruangan dimana kami akan tidur. Kami diberikan ruangan yang menurutku ‘mewah’ untuk ukuran wihara. Sebuah ruangan lengkap dengan pendingin ruangan, bantal, tikar, penerangan yang baik juga bersih! Lalu kami juga dibawa melihat kamar mandi, aku sedikit kaget tapi juga senang karena kamar mandi ini adalah sebuah ruangan terbuka! Tidak ada penutup, tidak ada pembatas, benar-benar kamar mandi ala Myanmar! Sebuah bak mandi yang berukuran besar sekali, memungkinkan 15 orang untuk masuk kedalam bak dan berendam! HAHAHA. Aku sedikit bingung bagaimana mungkin aku bisa mandi dengan situasi seperti itu, dan Mr.Thay mengatakan bahwa biasanya wanita Myanmar akan mandi dengan mengenakan sarung! Baiklah, aku tidak mengerti dan memilih untuk mandi tengah malam setelah semua biarawan tidur. Setiap kali akan mandi, aku akan mematikan lampu, aku mandi dalam situasi gelap dan terburu-buru karena sedikit khawatir orang lain akan muncul tiba-tiba! HAHAHA. I had so much fun anyway!

Wihara tempat aku menginap memiliki sekitar 120 biarawan laki-laki dengan rentang usia 6 tahun hingga 30 tahun yang sedang mengenyam pendidikan monastik. Mereka semua disibukkan dengan aktivitas belajar sepanjang hari dibawah bimbingan kepala wihara dan guru-guru lainnya. Senang sekali berkesempatan melihat langsung kehidupan mereka di wihara, dan aku menghabiskan banyak waktu untuk berbincang-bincang dengan Mr. Thay. Beliau cukup fasih berbahasa Inggris karena pernah menghabiskan 12 tahun bekerja di Negara Singapura. Keberadaan beliau bagai dewa penolong bagiku karena ia banyak membantu menerjemahkan obrolanku ke kepala wihara yang sama sekali tidak bisa berbahasa Inggris. Mr. Thay juga banyak memberitahu mengenai tradisi dan kebudayaan di Myanmar. Bahkan ia merekomendasikan sebuah wihara yang membutuhkan bantuan. Di Bagan, aku menyalurkan bantuan ke sebuah wihara di Nyaung U yang bernama Shwe Gu Orphanage For Elementary Monastic Education. Bantuan yang disalurkan adalah kebutuhan yang berdasarkan info yang diberikan oleh kepala Wihara disana. Kepala wihara Shwe-Gu Orphanage mengatakan mereka membutuhkan 25 mangkuk alumunium untuk biarawan yang sedang mengenyam pendidikan disana. Jumlah biarawan disana adalah 80 orang dengan rentang usia 6 tahun hingga 15 tahun, kebanyakan dari biarawan yang ditampung adalah dari pedesaan dan tidak memiliki orangtua lagi. Maka, kami memutuskan untuk membeli keperluan tersebut dan mendonasikannya untuk Shwe-Gu Orphanage. Tidak hanya mangkuk alumunium, kami juga mendonasikan 70 jubah untuk biarawan disana karena aku melihat jubah yang dikenakan sudah sangat usang dan sebagian tak lagi layak pakai. Lalu, kami juga menyalurkan USD300 untuk Shwe-Gu Orphanage yang bisa mereka pergunakan untuk membeli bahan makanan sehari-hari atau kebutuhan lainnya. Aku sudah melihat banyak wihara sebelum mengunjungi Shwe-Gu Orphanage, dan menurutku ini adalah Wihara yang sangat membutuhkan bantuan. Aku sangat senang bisa menyalurkan donasi yang ku kumpulkan dari teman-teman ke tempat yang tepat sasaran.

Di akhir perjalananku, tepatnya saat berada di Yangon, aku kembali melanjutkan misi terakhir sebelum kembali ke tanah air. Misi yang sudah rutin ku lakukan di tanah airku sendiri dan ketika aku berkesempatan berkunjung ke Negara lain, aku juga akan melakukannya. Aku mengunjungi National Blood Centre di Yangon. Sehari sebelumnya, ku pastikan diriku cukup istirahat dan sehat. Ya! Aku akan mendonorkan darahku untuk ke-14 kalinya dan akan ku lakukan di Yangon! Tahun 2015, aku telah melakukan hal yang sama di Siem Reap, Kamboja. Aku ajak kedua temanku dan kami bertiga berjalan kaki ke National Blood Centre. Setelah tiba disana kami mengatakan bahwa kami ingin mendonorkan darah kami. Seorang wanita yang fasih berbahasa Inggris datang menghampiri kami dan menjadi penerjemah kami juga menuntun kami untuk mengikuti setiap prosedur disana. Setelah mengisi formulir, aku diarahkan ke meja pemeriksaan hemoglobin dan golongan darah. Aku sedikit khawatir karena seringkali aku gagal mendonorkan darahku hanya karena hemoglobinku yang rendah. Namun hari itu sepertinya adalah hari keberuntunganku, hemoglobinku dalam kondisi baik untuk melakukan donor darah. Setelah itu aku dibawa ke ruangan konsultasi pra-donor darah. Di ruangan itu aku berikan beberapa pertanyaan, berupa : apakah aku cukup tidur, apakah aku mengonsumsi obat tiga hari belakangan, apakah aku sedang menstruasi dan apakah aku dalam kondisi fit hari itu.

Setelah menjawab pertanyaan itu dengan jujur dan dianggap layak menjadi pendonor, ternyata ada satu langkah terakhir yang harus ku lewati, yaitu tensi tekanan darah. Aku tak begitu khawatir untuk step ini karena aku yakin aku memiliki tensi darah yang cukup baik selama ini. Tenyata benar! Aku dinyatakan layak menjadi pendonor dan dibawa keruangan dimana 350cc darah dari tubuhku akan diambil! Hooray!!! Aku berbaring ditempat yang sudah disediakan dan siap untuk mendonorkan darahku. Saat proses pengambilan darah berlangsung, aku ditanya oleh salah satu suster, ‘apakah ini pertama kalinya aku mendonorkan darah?’, aku berasumsi bahwa pertanyaan ini muncul karena aku berulang-ulang mengingatkannya untuk sedikit pelan dan lembut saat menancapkan jarum di lenganku, plus suara jeritanku yang cukup dahsyat saat jarum ditancapkan di lenganku. Ya, bukan dibuat-buat, aku memang takut setiap melihat jarum suntik. Ku jawab pertanyaan suster tersebut sambil menunjukkan kartu donor darah milikku, ku lihat ia cukup kaget bahwa ini adalah ke-14 kalinya aku mendonorkan darah. Ku katakan kepadanya bahwa aku tak perlu menjadi dokter untuk menyelamatkan nyawa orang lain karena setiap orang bisa menyelamatkan nyawa orang lain hanya dengan mendonorkan darah.

Aku tak punya banyak uang dan harta untuk ku sumbangkan, aku juga tak punya banyak keahlian untuk ku pergunakan membantu orang lain, aku juga tahu pasti bahwa aku tak bisa membantu banyak orang karena keterbatasan yang ku miliki, namun setiap kesempatan itu datang, aku akan berusaha memanfaatkannya dengan sebaik mungkin. Terima kasih kepada seluruh sahabat yang mempercayaiku sebagai perpanjangan tangan untuk membantu sesama. Kepercayaan sahabat adalah yang utama dan terpenting.

Aku selalu percaya dan yakin, kita hidup untuk membantu sesama karena we cannot live only for ourselves. Aku tidak mau melewatkan kesempatan yang ada dan selalu ingin mengajak sahabat-sahabat untuk ikut serta didalamnya. Kindness gives birth to another kindness, and I believe it.



Would I consider going back? Definitely YES! 

Kamis, 22 Desember 2016

24 DAYS BACKPACKING IN MYANMAR

Myanmar benar-benar salah satu negara di Asia Tenggara yang paling indah dan ku impikan untuk dikunjungi. Aku bermimpi menginjakkan kaki di negeri ini sejak 2 tahun yang lalu dan akhirnya aku berhasil! Setiap sudut begitu indah bahkan dengan kamera ponsel samsung, saya  dapat menangkap gambar yang benar-benar indah!

Myanmar adalah tempat yang terasa belum diselidiki di beberapa sisi namun juga benar-benar dibanjiri oleh wisatawan pada sisi lainnya. Saya selalu ingin menemukan diriku di tempat yang baru, suatu tempat yang jauh dari keramaian dan tempat yang terasa otentik. Untungnya, hanya dibutuhkan satu momen bagiku untuk menemukan diriku dalam budaya kuno yang menakjubkan ini. Dengan pagoda terbaik dan reruntuhan barat dari Angkor Wat, aku harus banyak mengeksplorasi! Sangat penting saat bepergian di seluruh dunia untuk menemukan tempat untuk diri sendiri. Sebuah tempat di mana buku panduan tidak selalu akurat menggambarkan permata tersembunyi .

Myanmar adalah salah satu dari sedikit tempat di dunia di mana cara hidup di pedesaan tetap sama, tampaknya tak tersentuh oleh perkembangan dunia barat. Sangat menakjubkan bahwa tempat dapat mempertahankan budaya yang kaya dan sakral ketika salah satu negara tetangganya menjadi yang paling banyak dikunjungi di dunia, Thailand - Myanmar adalah dalam keadaan perubahan namun, dan itu tidak akan tetap seperti ini selamanya!

Jadi, ini adalah rencanaku pada awal perjalanan dan seperti biasa itu mungkin berubah jika diperlukan! Medan - KL - Yangon - Kyaktiyo - Hpa An - Yangon - Mandalay - Amarapura - Inle Lake - Hsipaw - Pyin Oo Lwin - Bagan - Mrauk U - Naypyidaw - Pyay - Yangon - KL - Medan. 

Namun, akhirnya rencana itu berubah menjadi Medan – KL – Yangon – Kyaiktiyo – Hpa An – Mandalay – Amarapura – Sagaing – Mandalay – Pyin Oo Lwin – Mandalay – Kalaw – Nyaung Shwe (Inle Lake) – Bagan – Monywa – Yangon – Bago – Yangon – KL – Medan.


Selama 24 hari dengan biaya USD550 aku berhasil menjelajahi Negara Myanmar walau tidak secara keseluruhan. Aku menginap di hostel, menggunakan transportasi umum dan menginap di Wihara juga berinteraksi sebanyak mungkin dengan penduduk lokal! Orang-orang ramah Myanmar pasti menjadi sorortan dari perjalanan ini.

There are many blog posts floating around the web about travel in Myanmar, and nearly all of them are the same. I found Myanmar to be the most authentic, untouched and special of them all.  But don’t get too excited, because that is going to change VERY soon! Kamu tidak akan menemukan merk-merk barat seperti McDonald, Wifi does exist, but it’s terribly slow! I repeat, the wifi in Myanmar is the same speed as dial-up internet from the 1990s! HAHAHAHA!

Bahasa Burma benar-benar terlihat keren, tapi telingaku tidak bisa memahami apa-apa ketika aku mendengar itu diucapkan. Hurufnya terlihat seperti sekelompok "C" dan "O" dan berlekuk-lekuk yang digabungkan. Aku sarankan belajar kata-kata dasar seperti "Ming-la-ba" yang berarti "Halo/Hai," dan "Je-su-ba" yang berarti "Terima kasih."

Mode Barat sepertinya belum menggapai bagian dari dunia warga Myanmar, jadi jangan terkejut jika menemukan laki-laki memakai rok disebut longyi, rok panjang dari pinggang hingga pergelangan kaki mereka, berwarna-warni ini berasal dari agama Buddha, yang merupakan salah satu akar yang kuat di Myanmar.  Wanita memakai pasta kuning di wajah mereka yang dilukis dengan pola; ini disebut thanaka dan melindungi kulit mereka dari sinar matahari. Kamu juga akan melihat sejumlah biarawan berjalan di jalan-jalan dan di sekitar pagoda. Mereka sangat rendah hati dan ramah. Jika kamu menyapa mereka, mereka akan ramah dan tersenyum kembali padamu.

Kebanyakan pria Myanmar terus mengunyah campuran tembakau merah dan pinang di mulut mereka sehingga noda gigi mereka warna merah. Jangan panik ketika kamu melihatnya. Tapi aku bisa memperingatkanmu untuk menghindari tanda bercak merah di atas tanah yang merupakan hasil ludah dari mulut mereka. Ini benar-benar di mana-mana dan itu menjijikkan!

Kesan pertamaku terhadap kota Yangon adalah kacau, kotor, dan miskin. Aku sempat kewalahan untuk mendeskripsikannya. Infrastruktur sangat miskin, lubang besar terdapat di hampir setiap trotoar. Ada anjing-anjing liar dan kucing berjalan di jalan-jalan. Hampir setiap jalan dipenuhi dengan kemacetan lalu lintas dan klakson dibunyikan oleh supir-supir yang tidak sabar.

Dalam hampir setiap arah aku memandang, akan ada pagoda emas berkilau dan yang paling terkenal adalah Pagoda Shwedagon. Sebuah pagoda dengan emas asli yang ditaburkan dengan batu-batu mulia bahkan permata mewah menjadi sebuah pagoda yang sangat indah untuk dikunjungi. Pada saat matahari terbenam, aku melihat warna emas yang memukau yang dibiaskan oleh Shwedagon Pagoda ini. Sunset is an excellent time to go as the dome will be gleaming beautifully in the orange sun!

Lalu Di Kyaiktiyo – sisi timur dari Yangon, aku  mengunjungi situs ziarah Buddhis yang terkenal memiliki Golden Rock besar bertengger di tepi tebing. Dengan mendaki gunung (45 menit) menggunakan transportasi truk lokal, aku melihat Golden Rock Pagoda!

Hpa An - disini banyak yang harus dilakukan dan menjadi tempat favoritku di seluruh Myanmar. Mengunjungi beberapa gua dan gunung Zwegabin adalah sebuah hal yang harus dilakukan! Aku menyaksikan sunset terbaik disini selama perjalananku di Myanmar, dimana hanya ada aku dan matahari terbenam diiringi suara air dan burung yang berkicau merdu. It was amazing!

Kota kedua terbesar di Myanmar adalah Mandalay. Aku melakukan perjalanan singkat (daytrips) ke berbagai tempat wisata di daerah ini seperti Amarapura, Sagaing, Inwa dan lainnya dengan naik taksi atau kamu juga bisa menyewa skuter untuk pergi ke Jembatan U Bien yang sangat terkenal. Jembatan kayu jati iconic sepanjang 2,5 km yang melintasi danau ini benar-benar indah! Pemandangan lain yang populer adalah Mandalay Hill, yang memiliki beberapa sudut pandang yang besar di mana saya  melihat seluruh kota melalui Mandalay Hill.

Anisakan Waterfall di Pyin Oo Lwin. Benar-benar airnya menakjubkan karena terasa dingin seperti es!!! Yang menakjubkan adalah setelah berjalan curam selama lebih dari 40 menit lalu aku disuguhi pemandangan indah! Jangan heran jika penduduk setempat yang melihatmu akan  tertawa kepadamu karena mereka melihat keringat di wajahmu! Ini begitu indah juga merupakan keputusan terbaik yang ku buat. Berjalan kembali ke atas bukit itu jauh lebih sulit! Aku butuh 1 jam untuk berjalan naik, tapi ini layak untuk dikunjungi!

Sama seperti orang pada umumnya, aku pergi ke Kalaw untuk melakukan hiking. Aku memutuskan pergi ke Inle Lake dengan berjalan kaki dari Kalaw selama dua hari. Berdasarkan informasi dari pemandu, kami akan berjalan hampir 40 km dengan waktu tempuh hampir 12 jam selama dua hari karena Kalaw berada 70 km disebelah barat Inle Lake. WHATTTTTTT???!!!
Taking on the two day, one night trek from Kalaw to Inle Lake was next up on my ideal unplanned itinerary for Myanmar, and I was going to make sure I didn't miss out! The trek was the best travel experience of my life! 

Perjalanan ini memang mengharuskanku untuk cukup fit, atau aku harus berjuang keras. Perjalanan ini meliputi berjalan naik bukit, turun lembah, di rel kereta api, kebun, di tengah ladang dan gua. Sepanjang jalan, ada puluhan desa kecil yang akan dilewati dan melihat banyak wajah tersenyum dan melambaikan tangan kepadaku.

Setiap desa memiliki 10-100 keluarga yang tinggal di dalam, dan mereka masing-masing berbicara dialek mereka sendiri yang unik. Aku berjalan melalui sekolah-sekolah di mana anak-anak datang berlari, berteriak dan melompat-lompat kearahku untuk menyapa. Melihat kembali dan mengenang saat-saat itu, membuat mataku berkaca-kaca karena itu sungguh special and humbling.

Lokasi lain tidak boleh dilewatkan di Myanmar adalah Inle Lake. Bersantai di perahu di danau besar ini dengan air biru dikelilingi oleh pegunungan dan menikmati melihat kehidupan lokal, menonton nelayan mendayung dengan satu kaki, tangan mereka digunakan untuk menyesuaikan keranjang yang mereka gunakan untuk menangkap ikan, cara memancing yang unik untuk danau ini. Ini adalah perasaan yang indah untuk terlepas dari dunia barat dan dikelilingi oleh suara alam.
Aku sangat merekomendasikan untuk mengambil satu hari untuk berkeliling danau dengan perahu. Aku melihat pasar terapung, sutra tangan-tenun, wanita dengan leher panjang, kuil Buddha, lingkungan rumah panggung di atas air, dan nelayan berkaki satu di danau. Ini adalah setengah hari yang bagus untuk dihabiskan di Danau! Aku juga memilih untuk menjelajahi sekeliling dengan menyewa sepeda dan bebas mengayuh sepanjang jalan danau.

I loved Bagan so hard! The most spectacular place I’ve been. I found it more incredible than Angkor Wat! Aku menyewa sepeda listrik dan itu menyenangkan, sepeda listrik juga memudahkanku menjauh dari para wisatawan. Salah satu kenangan terindah dari Bagan yaitu mengemudi dalam satu arah selama beberapa jam, berhenti di samping pagoda, dan bermeditasi didalamnya tanpa harus diganggu oleh hiruk-pikuk turis lainnya. Beberapa dari mereka menakjubkan, populer tetapi tak seorang pun tampaknya akan mengunjungi mereka. You cannot visit Myanmar without a stop in Bagan!

Aku kira postingan ini bisa diringkas sebagai: Myanmar is awesome! Jangan membentuk opini apapun sebelum kamu tiba disana. Aku cinta, cinta, mencintai waktuku selama 24 hari berada disana, dan tidak bisa menunggu untuk kembali. Lain kali, aku akan menuju ke Yangon, Bagan, dan kemudian ke beberapa tempat yang kurang dikenal disisi utara dan selatan. So, go to Myanmar. It’s wonderful!




Sabtu, 16 Juli 2016

Our Funniest Moments and Stories in East Part of Indonesia

Kadang-kadang dalam perjalanan banyak hal yang terjadi justru tidak berjalan sesuai yang direncanakan. Kami dihadapkan dengan gundukan di jalan, cuaca panas, cuaca dingin, hal-hal lucu maupun menyebalkan dan itu malah menjadi momen yang membuat perjalanan kami berkesan. Pada kesempatan lain, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali duduk kembali, tertawa dan mengikuti arus. Saya suka cerita ini, pertama-tama karena mereka menunjukkan bagian yang kalah glamor dari perjalanan dan karena mereka adalah bagian penting dari perjalanan itu sendiri. Mereka mewakili tantangan, petualangan, sensasi. Pada dasarnya, semua traveler yang sesungguhnya akan mencari hal yang berada diluar comfort zonenya.

Some stories are incredibly funny, other are creepy or  beautifully written, whilst some others are quite spicy (stay away if you are a prude). Tidak peduli betapa berbedanya mereka, mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu they made me laugh or chuckle a bit.

Here We Go!
Karena info yang diberikan teman-teman di Manado (yang kami kenal dari Couchsurfing), mereka bilang bahwa kalau kami mau menginap di penginapan yang ada di Tomohon, lebih baik yang reservasi hotel dilakukan oleh warga Negara Indonesia, kalau yang melakukan reservasi adalah bule  maka harga kamar akan berbeda. Nah, karena kita tidak mau rugi, akhirnya kita berpura-pura deh! Kita melakukan reservasi dengan nama saya, karena Cas adalah warga Negara Belanda, jadi Cas harus rela menunggu di parkiran. Kebetulan saat itu kami pergi ke Tomohon ditemani oleh dua teman dari Manado, akhirnya kami berpura-pura seolah-olah kamar itu akan ditinggali oleh saya dan kedua teman dari Manado tersebut. Pengurus guesthouse terlihat cukup kaget saat malam hari melihat Cas didalam kamar. Tapi mereka tidak bisa berkata dan tidak bisa berbuat apa-apa. Wah, sedikit tricky yah! Hahaha.

Hal yang paling menyebalkan tapi lucu adalah, hampir 80% orang yang kami temui menganggap saya adalah tour guide yang di hire oleh Cas. Kami hanya bisa tertawa terbahak-bahak setiap mendengar pertanyaan, “Kamu itu tour guide dia?” atau sering juga orang yang ada di Bus umum mengatakan “Cewek itu juru bicara cowok bule itu.” Kami hanya bisa tertawa, namun terkadang juga mengklarifikasi bahwa saya bukan tour guide  atau juru bicaranya Cas. Mungkin karena dalam perjalanan ini saya sering bertanya kepada penduduk dan menerjemahkannya kepada Cas, maka dianggaplah saya sebagai tour guide  atau juru bicara. Cas jadi mirip presiden, ya? Cas punya juru bicara alias jubir! Hahaha.

Malu bertanya, sesat dijalan. Yes!!! Benar sekali! Karena kepoover-confident dan sok tahu, kami menghabiskan waktu dan biaya yang seharusnya tidak perlu dihabiskan. Dari Tomohon, kami kembali ke Manado lalu ke Gorontalo karena kami harus ke Kotamubago untuk bisa sampai di Bogani Nani National Park. Saat perjalanan dari Manado ke Gorontalo, mobil yang kami tumpangi sempat berhenti disebuah restoran kecil untuk makan. Keesokan harinya saat perjalanan dari Gorontalo ke Kotamubago, mobil yang kami tumpangi juga berhenti di restoran yang sama. Ketika diselidiki, ternyata memang restorannya sama! Yang membuat saya makin kaget adalah, ternyata ada Bus dari Manado yang langsung ke Kotamubago tanpa harus ke Gorontalo dan jarak tempuhnya lebih cepat dibanding harus ke Gorontalo terlebih dulu. Busetttttt! Bukan Cuma badan yang sakit, hati juga sakit nih sodara-sodara! Hahaha. Si pemilik restoran itu juga pasti bingung dan dalam hatinya berkata, “Ini kan dua orang yang kemarin malam makan disini, kok hari ini kesini lagi? Bajunya juga belum ganti.” Pas tahu ada bus yang direct dari Manado ke Kotamubago, saya rasanya ingin ngamuk, karena capek dan habis waktu gara-gara ke Gorontalo. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, tetapi untungnya walau sudah menjadi bubur, bubur itu masih bisa dinikmati. Makanya, jangan malu bertanya! Jalan-jalan kan loe! 

Nyamuk! Yes! Makhluk kecil ini selalu berurusan dengan Cas dalam perjalanan kami. Cas mengatakan bahwa nyamuk adalah musuh sejatinya dan mereka tidak akan pernah bisa menjalin persahabatan sampai kapanpun!!! Biasanya, nyamuk-nyamuk malang ini tidak akan bertahan lebih dari lima menit setelah Cas menyadari keberadaan mereka. Cas tak segan untuk mengambil pose jongkok dan menunggu nyamuk-nyamuk malang itu keluar dari sarangnya, dengan sekali tepuk 'Plokkkkk!!!', maka berakhirlah kehidupan nyamuk itu. Walau saya sering sekali melarang Cas membunuh nyamuk-nyamuk malang itu, namun usaha saya juga sering tidak berhasil bahkan boleh dikatakan tidak pernah berhasil. Cas selalu sukses mengakhiri hidup mereka! Nyamuk yang malang! 

Di Kotamubago, penderitaan belum selesai. Kami menitipkan baju kotor kami ke Laundry sebelum pergi ke Bogani Nani National Park, dan pihak laundry mengatakan bajunya bisa diambil 2 hari kemudian, tepat dengan kepulangan kami dari Bogani ke Kotamubago. Dan tahukah anda… Saat kami kembali, baju kami baru saja dicuci dan masih basah! Sedangkan keesokkan harinya, tepatnya besok subuh pukul 5.30 pagi, kami harus kembali ke Gorontalo dan melanjutkan perjalanan selama 13 jam didalam kapal ferry. Saya langsung marah dan ngomel-ngomel. Kami mondar-mandir mencari laundry yang bisa mengeringkan pakaian kami hari itu juga dan malam itu juga. Beruntung kami menemukan sebuah laundry yang bisa mengeringkan pakaian kami yang masih basah total itu dan kami harus membayar Rp.50.000 lagi untuk tambahannya. Mahal! Tapi, itu lebih baik daripada kami harus membawa baju basah itu selama seharian. Tapi, penderitaan belum berakhir walau laundry sudah ditemukan. Cas kehabisan stok celana! Dia sama sekali sudah tidak punya celana bersih yang bisa dipakai hari itu. Tas ranselnya yang berukuran 60L itu hanya berisi sekitar 5 kaos, 3 celana, beberapa boxer dan 1 celana panjang yang sudah sangat kotor bagian bawahnya karena trekking kedalam hutan beberapa waktu lalu. Aha! Saya ada ide! Akhirnya kami sulap celana panjang itu menjadi celana pendek selutut dengan pisau kecil, kami buang bagian bawah yang sangat kotor tersebut dan akhirnya… Tadaaa! Jadilah celana keren dengan model tidak rata dibagian lututnya. Hahaha. Guys, ternyata penderitaan lain muncul setelah kami tiba di kantor imigrasi di Maumere. Cas butuh celana panjang karena celana pendek tidak diperbolehkan untuk masuk kedalam kantor imigrasi. Hahahahahaha. Kami saling berpandangan lalu tertawa karena celana panjang satu-satunya sudah berubah jadi celana pendek yang keren. Akhirnya, dengan berat hati Cas harus membeli celana panjang baru untuk bisa masuk kedalam kantor imigrasi. Poor Cas! 

Udara sejuk dan dingin di Desa Moni membuat kami overslept! Sebelum tidur, kami sudah membahas dengan pasti bahwa kami akan bangun pukul 4.00 pagi untuk mengejar sunrise di Danau Kelimutu. Walau kami sudah set alarm, tapi keesokan harinya kami tetap bangun kesiangan. Kami berdua tidak mendengar bunyi alarm sama sekali! Akhirnya, kami ketinggalan sunrise dan naik ke Danau Kelimutu pada pukul 8.00 pagi. What a day! Parahnya, hari itu juga kami harus kembali ke Maumere untuk mengambil visa dan langsung menuju ke Ende setelah selesai mengambil visa di Maumere. Ini adalah hari terpanjang, kami menghabiskan 7 jam didalam mobil.

Walau jalan Trans-Flores itu bagus, alias tidak berlubang, tetapi jangan mengira bahwa anda akan menyukai perjalanannya. Kepala anda akan cukup pusing karena jalan yang berkelok-kelok curam itu. Beberapa orang asli Flores yang kami temui didalam bus atau mobil bahkan masih muntah-muntah dan mabuk perjalanan, padahal mereka setiap hari menghadapi jalanan yang berkelok aduhai itu. Bagaimana dengan kami? Kami aman! Perut kami sangat kuat dan kepala kami juga tahan banting. Kami tidak pernah mabuk selama perjalanan darat, laut maupun udara. Yang bikin capek itu adalah jika supir merokok didalam mobil. Fiuh~

Kadang saya berharap saya bisa sedikit tumbuh lebih tinggi, tapi jika melihat kondisi Cas, saya bersyukur menjadi orang yang tingginya dibawah rata-rata. Dengan tinggi badan saya yang cuma 157cm, saya tidak menderita ketika harus duduk di bagian paling belakang sebuah bus atau mobil, sedangkan Cas? Ini adalah penderitaan! Kakinya yang super panjang itu tidak bisa digerakkan sama sekali, dan yang paling menyebalkan adalah dia selalu menaruh kakinya diatas kaki saya -.-  Setiap Cas menatap dengan pandangan tak berdosa, saya sudah tahu bahwa ia meminta pertolongan untuk kaki panjangnya yang sedang menderita itu, karena hanya dengan meletakkan kakinya diatas kaki saya, dia baru bisa merasa nyaman dan bisa bergerak.

Sebagai seorang vegetarian yang melakukan perjalanan wisata dengan orang yang non vegetarian, saya tidak pernah berdebat soal makanan dengan Cas. Saya cukup senang dengan sifatnya yang kooperatif. Dia tetap bisa makan makanan kesukaannya yaitu AYAM dan saya tetap bisa makan makanan saya. Cas juga orang yang peduli, ia selalu bertanya kepada saya apakah makanan saya tersedia di restoran yang kami datangi, karena jika tidak, ia tidak akan ragu mengajak saya ke restoran yang lain. Jika orang-orang mengatakan bahwa seorang vegetarian akan kesulitan dalam mencari makanan vegetarian di Sulawesi dan Flores, harus saya katakan bahwa saya sama sekali tidak merasa sulit. Saya selalu memiliki pilihan makanan yang lezat setiap hari. Tahu, tempe, telur, sayuran hijau, buah, cookies, pancake, dan masih banyak lagi. Pokoknya, berat badan saya naik 3 kg sepulang dari perjalanan ini!

Di setiap kota yang kami kunjungi, kami selalu punya misi yang sama yang tidak boleh dilewatkan yaitu mencari Martabak, Bakwan dan Perkedel Jagung favorit kami. Kami tak akan bisa menahan godaan ketiga makanan itu. Es krim juga menjadi salah satu hal yang penting dalam perjalanan ini. Bisa dibayangkan, ketika kami lelah, kami selalu mengatakan “Aku ingin martabak dan bakwan yang enak sekarang.” Saya suka sekali Martabak coklat-kacang, sedangkan Cas menyukai Martabak dengan double coklat. Tak jarang kami berdua harus saling mempertahankan keinginan kami dan selalu berakhir dengan “double coklat”. Tak hanya itu, maps di telepon genggam saya sering digunakan untuk mencari keberadaan penjual martabak, seringkali kami tertipu – kedai martabaknya tutup alias tidak buka – tidak ada martabak! Padahal kadang kami rela datang walaupun jauh hanya demi martabak yang enak! Jauh-jauh kesana, ehh.. tutup! Sedih, kan?! >.<

Di Gili Laba, anda harus melakukan trekking jika ingin melihat keindahan Komodo National Park secara keseluruhan. Saat trekking, saya mengalami pusing dan mual yang cukup parah hingga kami harus berhenti sekitar 20 menit. Saya tidak pernah merasakan hal ini selama hidup saya. Kepala yang berat, badan yang dingin secara tiba-tiba dan pandangan yang tiba-tiba buram membuat saya sedikit takut kala itu. Perlu diketahui bahwa ketika kami melakukan trekking, posisi matahari saat itu berada tepat diatas kepala kami dan pendakian yang menanjak serta jalur yang berpasir menjadi tantangan berat. Kami melepaskan sandal agar tidak jatuh terpeleset dan berjalan sangat pelan sekali. Untuk pemandangan, jangan diragukan! Pemandangan yang bisa dilihat dari Gili Laba sangatlah indah dan mungkin itu adalah pemandangan terindah yang pernah saya lihat. Untung saja saya tidak menerima tawaran dari Cas untuk turun dan tidak melanjutkan perjalanan, tentu itu bukan Erica! Erica senang menantang dirinya hingga limit yang paling maksimal. Jika orang lain bisa melakukannya, kenapa saya harus menyerah? Keras kepala ya!

Diakhir perjalanan sailing trip, Cas kehilangan sandalnya! Saat itu hari sudah malam dan toko di Lombok rata-rata sudah tutup. Akhirnya, Cas baru membeli sandal ketika kami tiba di Bali. Sandal baru pertama dibeli pukul 11.00 siang, dan pukul 4.00 sore sandal itu robek, akhirnya ia membeli lagi sandal lainnya. Dalam sehari, Cas harus dua kali sandal jepit! Dasar Bule kaya!

Overall, yang paling berkesan diperjalanan ini yang kalau diingat bakal bikin saya tertawa adalah ekspresi Cas yang manyun ketika dijahili oleh saya. Saya senang mengulang kalimat yang dia ucapkan (Cas sangat kesal jika saya melakukan ini), saya juga senang memberikan dia ekspresi konyol tanpa alasan, saya juga senang mengusili dia (entah itu mendorong dia tanpa alasan, mencubit jika ia menyebalkan, ataupun pura-pura tidak tahu padahal saya tahu), itu semua menjadi kelucuan sendiri bagi perjalanan ini. Saya selalu mengatakan kepadanya kalau saya tidak akan menerjemahkan apa yang saya bicarakan dengan orang lokal setempat, padahal ia sedang menunggu saya untuk menerjemahkannya. Saya juga selalu menolak memberikan cemilan yang ada didalam kotak makan yang tersimpan didalam tas saya, sehingga terkadang adegan tarik-menarik tas harus terjadi. Kami sering tertawa hingga tak bisa berhenti, ketika kami mencoba untuk berhenti tertawa, kami akan saling berpandangan dan lalu mulai tertawa lagi. Yeah, we had a good laugh and a lot of fun for this trip, for sure, no doubt! Confirmed! Hahaha.

Our happiest moments as tourists always seem to come when we stumble upon one thing while in pursuit of something else! 

Read more stories? Click on :

Rabu, 13 Juli 2016

BACKPACKING IN EAST PART OF INDONESIA (Part II)

Jika liburan sekarang telah ada dan kamu sudah melihat Bali, aku akan sangat menyarankan untuk mempertimbangkan menuju  ke Nusa Tenggara Timur (NTT).  Setelah kami (Aku dan Cas) selesai menjelajahi Sulawesi, kami memutuskan untuk merayap kearah lebih timur yaitu NTT alias Flores. Bagi negara dengan populasi Islam terbesar di dunia seperti Indonesia, Pulau Flores terasa seperti dunia yang terpisah. Flores adalah sebuah pulau yang sangat Kristen, dan sepanjang perjalananku di sana aku bisa merasakan Kristen di setiap mana sudut aku berada. Untuk menghemat waktu dan tenaga, kami memilih menggunakan pesawat terbang dari Makassar ke Maumere (Transit Bali), memang tidak murah, tetapi ini pilihan terbaik karena di penghujung liburan, kami harus kembali ke Bali untuk catch our flight back to hometown. So, we decided to flight from Makassar to Maumere lalu pelan-pelan merayap dari jalur darat hingga Bali.

Penerbangan kami dari Makassar ke Bali memakan waktu 1 jam 20 menit dan Bali ke Maumere ditempuh selama 2 jam dengan pesawat ATR. Kami berangkat dari Makassar pada pukul 9.10 pagi dan akhirnya tiba di Maumere pada hari yang sama pukul 1.35 siang. Akhirnya, sampailah kami di Maumere!!! Hoorayyy! Hal pertama yang harus kami lakukan adalah pergi ke kantor Imigrasi terdekat karena Cas harus memperpanjang Visanya. Sialnya, kami menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menunggu bagasi kami, sehingga sekitar pukul 2.00 siang kami baru bisa keluar dari bandara Maumere ditambah harus jalan kaki ke kantor Imigrasi yang lokasinya tidak begitu jauh dari bandara sekitar 10 menit. Tibalah kami didepan kantor Imigrasi Maumere, sebelum masuk ada sebuah spanduk yang memperingatkan tata cara berbusana bagi pengunjung kantor Imigrasi. Sial! Tidak boleh pakai sandal jepit (wajib sepatu), celana pendek (Wajib celana panjang), untuk wanita tidak boleh mengenakan baju tanpa lengan / sleeveless. Kami saling bertatapan dan saling mengerti. Saat itu, aku mengenakan tshirt dan celana training dibawah lutut, plus… sandal jepit! Sedangkan Cas? Sama! Cas juga mengenakan kaos dengan celana dibawah lutut dan sandal jepit! Sebenarnya sih, Cas ini punya celana panjang warna putih, tetapi celana itu berubah jadi coklat ketika masuk hutan di Sumatra dan celana itu kita gunting saat di Kotamubago karena Cas kehabisan stok celana saat disana. Haha. Gara-gara ideku untuk memotong celana panjangnya, dia jadi tidak lagi memiliki celana panjang sekarang, mana aku tahu kalau celana panjang itu akan dibutuhkan disaat-saat begini. Hahahaha. Sedangkan aku juga sebenarnya membawa celana panjang, tapi repot sekali harus bongkar-muat tas backpack ku. Jadi, dengan modal nekad dan percaya diri, kami masuk saja dengan wajah penuh senyum dan tak berdosa kedalam kantor Imigrasi. Hahaha.

Semua mata tertuju pada kami! Berhubung petugas Imigrasi tidak fasih berbahasa Inggris dan Cas tidak fasih berbahasa Indonesia, maka aku bertugas menjadi penerjemah bagi kedua pihak ini. Setelah diskusi panjang lebar dan melelahkan, kita tidak punya pilihan lain selain memperpanjang visa milik Cas di Maumere. Menurut petugas disana, seluruh kantor Imigrasi akan libur panjang menyambut hari Idul Fitri mulai dari 2 Juli hingga 10 Juli, lalu selain kantor Imigrasi di Maumere hanya kantor Imigrasi di Labuan Bajo yang bisa memfasilitasi untuk perpanjangan visa. Apa artinya? Artinya kami tidak mungkin terkejar untuk tiba di Labuan Bajo sebelum 2 Juli karena Labuan Bajo itu jauh sekali! Lalu, sialnya lagi, kami tiba di Maumere pada hari Jum’at dan sudah mau tutup pula! Mereka hanya bisa memproses dokumen visa ini pada hari senin karena sabtu-minggu kantor imigrasi itu tutup! Sungguh sial, bukan? Masalahnya adalah dari Maumere, kami tidak bisa berlama-lama karena harus segera meneruskan perjalanan ke Desa Moni untuk mengujungi danau Kelimutu yang terkenal itu. Bukan hanya lelah menerjemahkan percakapan kedua pihak ini, tetapi otakku juga mulai lelah karena harus menyusun ulang rencana perjalanan kami. Tapi, apa boleh buat, visa harus diperpanjang dan kami tidak punya pilihan selain taat pada peraturan, akhirnya Cas mengisi segala dokumen yang diperlukan dan melengkapi berkas-berkas yang diminta, lalu keluar dari kantor Imigrasi dengan harapan kami dapat mengambil visa itu pada hari senin sore. Sebelum kami angkat kaki dari kantor imigrasi, kami diperingatkan untuk mengenakan pakaian sopan jika datang lagi pada hari senin.

Keluar dari kantor imigrasi Maumere, kami mencari penginapan untuk bermalam di Maumere ini, sebelum keluar dari kantor imigrasi, petugas merekomendasikan sebuah penginapan murah yang bernama Gardena Hostel, berbekal kepercayaan kepada petugas imigrasi, akhirnya kami menuju kesana dengan menggunakan ojek. Setelah memilih kamar, kami langsung meletakan barang-barang didalam kamar dan duduk-duduk santai di ruang tamu hostel. Kami bertemu dengan seorang laki-laki berambut gondrong, kulitnya coklat gelap dan gayanya agak nyentrik, Pak Jim namanya. Bagiku, bukanlah hal sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang baru, aku sangat mudah berkomunikasi dan blend dengan orang baru. Aku dan Pak Jim terlibat pembicaraan yang cukup seru hingga akhirnya beliau bertanya  darimana asalku, “Saya dari Medan, Pak!”, beliau sontak mengatakan, “Saya punya banyak teman asal Medan, apa marga kamu? Situmorang? Silaban?” Aku hanya bisa menjawab, “Saya bukan suku batak. Saya suku Tionghoa.” Pak Jim benar-benar tidak percaya bahwa aku adalah gadis bersuku Tionghoa. Selain cara berbicara bahasa Indonesia yang fasih dan tidak memiliki aksen Tionghoa, kulitku yang gelap menjadi salah satu penyebab aku tidak terlihat seperti kaum Tionghoa pada umumnya. Setelah bercerita panjang lebar mengenai diriku, aku juga menceritakan apa yang terjadi di Imigrasi kepada Pak Jim. Lalu beliau menyarankan kami untuk berkunjung ke daerah timur terlebih dulu, lalu pelan-pelan merayap ke barat. Pak Jim menyarankan kami pergi ke pulau Lembata yang letaknya disisi timur dari Maumere. Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya kami setuju untuk mengunjungi pulau Lembata pada keesokan harinya. Pukul 6.30 pagi, bus sudah menunggu di depan hostel. Kami menempuh perjalanan 3,5 jam ke Larantuka lalu dilanjutkan dengan menggunakan speedboat selama 1,5 jam ke pulau Lembata. Akhirnya kami tiba di  “Surga terakhir di Ujung Timur NTT” ini pada pukul 2.00 siang. Keindahan dan keunikan budaya yang tersimpan di timur Indonesia tentunya lebih banyak dari jumlah pulaunya yang tersebar bak untaian intan belum terasah. Lembata memang masih jarang disinggahi wisatawan. Namun cerita dari mulut ke mulut dan foto tentang perburuan paus tradisional di tempat ini telah mencengangkan publik dan perlahan-lahan tempat ini mulai dikenal wisatawan. Pastikan Desa Lamalera, masuk dalam agenda petualangan karena di sinilah atraksi berburu paus secara tradisional masih tetap dipertahankan. Sayangnya, ketika kami berkunjung ke Lembata, kami mendengar kabar bahwa bulan Juni ini belum memasuki  pemburuan paus, akhirnya kami membatalkan kunjungan ke Desa Lamalera karena cukup jauh dari Lembata dan tidak ada kesempatan bagi kami untuk melihat pemburuan paus. Kami memutuskan untuk menyewa sepeda motor saja dan berkeliling ke Ile Ape keesokan harinya. Ile Ape adalah salah satu gunung vulkanik yang masih akti, namun kami memutuskan untuk tidak mendaki gunung tersebut, kami hanya berkeliling dengan sepeda motor di Desa Ile Ape. Dari Lewoleba (Pusat Kota Lembata) memakan waktu 1,5 jam untuk ke desa Ile Ape. Kami melewati banyak desa, banyak babi liar, petani berjalan kaki dihadapan kami, anak-anak yang memanggil kami, benar-benar kami cinta dengan keramahan penduduk disini.

Dari Pulau Lembata, kami memutuskan kembali ke Maumere untuk mengambil visa di kantor Imigrasi. Ketika kami tiba di kantor imigrasi pada hari senin itu, visa masih belum selesai! Makin depresi deh! Karena kami tidak punya banyak waktu, kami memutuskan untuk kembali esok hari dan meneruskan perjalanan kami ke Desa Moni yang letaknya 2,5 jam dari Maumere. Kami memilih menggunakan private-shared taxi dan membayar IDR75.000 untuk ke Desa Moni. Pada dasarnya hanya ada satu jalan utama di Flores yaitu Trans-Flores Highway dan itu membentang dari timur ke barat. Ini berarti kemungkinan untuk tersesat sangatlah kecil bagi pelancong di Flores.

Kami tiba di Desa Moni pada pukul 8.30 malam, begitu turun dari mobil, kami dihampiri oleh seorang pria pemilik Watugana Guesthouse dan ia menawarkan kami untuk menginap ditempatnya. Karena hari sudah gelap dan tidak ada salahnya untuk melihat terlebih dulu, maka kami mengikuti pria tersebut ke guesthouse miliknya. Kami diperlihatkan sebuah kamar sederhana lengkap dengan kamar mandi didalamnya, harganya juga tidak terlalu mahal, IDR150.000/kamar/malam sudah termasuk sarapan pagi. Karena kami juga sudah lelah dan hari sudah malam, maka kami memutuskan menginap di Watugana Guesthouse. Moni adalah salah satu tempat terpencil yang kami kunjungi. Ini adalah sebuah desa kecil kecil di Flores dan dikelilingi oleh sawah.  Alasan utama kami datang ke Moni adalah untuk mendaki Kelimutu dimana terdapat tiga danau di dalam kawah. Danau begitu terkenal dan mengesankan karena semua danau memiliki warna yang berbeda, mineral yang melarikan diri dari gunung berapi membuatnya secara bertahap berubah warna setiap beberapa tahun. Keesokan harinya kami berencana mendaki Kelimutu akan tetapi hujan turun sepanjang hari dan membuat pendakian ini tidak memungkinkan. Kami juga tidak bisa kembali ke Maumere karena visa belum selesai, akhirnya aku dan Cas hanya duduk-duduk, minum kopi dan bercerita sepanjang hari untuk melewati hari yang penuh hujan ini. Keesokan harinya, kami melihat matahari muncul dan memancarkan sinarnya, Yeay! Kami bisa mendaki Kelimutu! Dengan motor sewaan, kami langsung menuju ke Kelimutu yang letaknya kurang lebih 19 KM dari desa Moni dengan jalan menanjak dan berliku melewati desa dan sawah. Setelah parker, kami harus berjalan mendaki sekitar 1 KM lagi keatas dan tibalah kami di Kelimutu! Akhirnya kami melihat danau tiga warna di Kelimutu dengan mata kami sendiri! Luar biasa indah! Sangat Indah!

Pukul 10.30 pagi, kami beranjak dari Kelimutu dan kembali ke desa Moni, aku kembali menelepon petugas Imigrasi dan bertanya mengenai Visa. Visa selesai! Fiuhhhh! Akhirnya pukul 12.000 siang kami memutuskan kembali ke Maumere untuk mengambil visa dan pukul 3.00 sore dari Maumere kami langsung menuju ke Ende! Lagi-lagi perjalanan panjang! Kami tiba di Ende pada malam hari dan langsung beristirahat karena lelah kembali melanda. Keesokan harinya, kami kembali menyewa motor dan berkeliling di seputar kota Ende dan menyempatkan diri untuk mengunjungi kampung adat Wolotopo. Kami melihat dua rumah adat di Wolotopo dan berkesempatan melihat proses tenun ikat yang sedang dilakukan oleh dua warga. Sepanjang perjalanan menuju Wolotopo kami disuguhi pemandangan indah yaitu laut biru yang membentang dan hutan-hutan disepanjang jalan. Di kota Ende, kami juga pergi ke sebuah museum kecil yang bernama Rumah Pengasingan Bung Karno. Setelah itu, kami kembali ke hostel dan melanjutkan perjalanan ke Bajawa dengan private-shared taxi. Perjalanan ke Bajawa memakan waktu empat jam dan kami tiba di Marcelino’s Guesthouse pada pukul 7.30 malam. Bajawa itu dingin sekali, kawan-kawan! Bonus combo attack-nya adalah guesthouse ini tidak memiliki fasilitas air panas! Selesai mandi, kami mengisi perut di sekitar guesthouse dan segera kembali setelah selesai karena tidak kuat berada diluar terlalu lama, dingin sekali. Keesokan harinya, aku dan Cas menyewa sepeda motor dan ditemani dua penduduk lokal setempat untuk berkeliling Bajawa. Kami berkesempatan melihat proses pengolahan biji kopi yang dikelola oleh penduduk setempat. Bajawa memang terkenal akan kopi Arabikanya yang premium. Kami juga pergi kesebuah bukit yang bernama Wolobobo Hill, disini kami melihat kota Bajawa dari ketinggian, dari atas bukit langsung dapat terlihat dua gunung yaitu Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Indah sekali. Lalu setelah makan siang, kami pergi ke Mbalata Beach yang letaknya dua jam dari Bajawa. Kali ini, Cas mengendarai motor di Trans Flores yang jalannya berliku dan naik – turun, sedangkan  aku hanya bisa memegang bahunya kuat-kuat dari belakang, mengerikan sekali rasanya. Sesampainya di Mbalata beach, kami duduk dipinggir pantai sambil makan cemilan, lalu melanjutkan perjalanan ke Pomasule. Di Pomasule, kami menginap satu malam di rumah warga setempat. Kami dijamu dengan makan malam khas warga lokal, hanya sayur bayam dan telur dadar, tapi jangan Tanya rasanya, enak! Ditambah lagi berbincang-bincang sampai larut malam dengan warga disana. Warga di desa ini sangat ramah dan baik, aku bahkan diberitahu mengenai kehidupan mereka dan diceritakan tentang adat-adat di kampung adat. Mereka menyambut kami berdua bagai keluarga mereka sendiri. Keesokan paginya kami bersiap-siap ke kampung adat untuk melihat kehidupan desa adat dan budayanya, kami pergi ke Kampung Watu, Kampung Maghileja dan Kampung Jere. Setelah 30 menit melewati jalan rusak, berbatu, menanjak dan menurun, akhirnya kami menginjakkan kaki di kampung Watu. Penduduk kampung sudah menyambut kami dengan senyum dan menyalami kami. Kami serasa pulang ke kampung sendiri! Sebenarnya, kampung adat yang terkenal dan menjadi tempat wisata itu bernama Kampung Bena, letaknya hanya satu jam dari Bajawa, kalau kampung yang kami kunjungi ini tidak begitu terkenal dan tidak ada turis lainnya, berbeda dengan Bena yang sangat ramai oleh turis. Tapi, aku dan Cas memang menyukai tempat dimana kami tidak dapat menemukan turis lain! Di ketiga kampung ini, kami melihat rumah-rumah adat, bebatuan yang masih dipergunakan untuk sesajen dan upacara adat, anak-anak juga ramai mengerumuni kami, yang tak ketinggalan adalah kami disuguhkan kopi dan berbincang-bincang dengan penduduk adat. Ini sangat mengesankan sekali. Setelah puas, kami kembali ke Pomasule untuk makan siang dan mengucapkan terima kasih kepada warga yang bersedia menerima kami untuk menginap dirumah mereka. Sedih rasanya harus berpisah, tetapi kami harus kembali ke Bajawa dan meneruskan perjalanan ke Ruteng. Setelah dua jam dari Pomasule ke Bajawa, kami melanjutkan perjalanan ke Ruteng selama empat jam. Fiuh! 

Kami lagi-lagi tiba di Ruteng pada pukul 8.30 malam dan menginap di sebuah asrama suster katolik. Di Ruteng, kami mengalami dilema. Aku sudah membeli tiket pesawat untuk kembali ke Medan pada tanggal 8 Juli, demikian juga Cas, dia harus berada di Thailand pada 8 Juli karena akan mengikuti pelatihan meditasi. Waktu yang tersisa tinggal 6 hari, sedangkan kami masih ingin mengunjungi Waerebo, Labuan Bajo, Komodo National Park dan Lombok. Akhirnya setelah diskusi panjang, kami memutuskan untuk skip kampung Waerebo. Aku sedikit kecewa dan kekecewaan ini aku sampaikan kepada Cas. Kami melewati banyak tempat yang seharusnya bisa kami kunjungi, diantaranya Wakatobi di Sulawesi Tenggara, lalu Riung di Flores dan sekarang Waerebo. Tetapi Cas meyakinkanku bahwa kami sudah melihat dan berbaur dengan banyak kampung adat, maka tidak menjadi masalah jika kami melewati Waerebo kali ini. Dalam waktu 6 hari kedepan kami diharuskan untuk bisa tiba di Bali agar kami tidak kehilangan penerbangan yang sudah kami beli. Maka dari Ruteng, kami langsung pergi ke Labuan Bajo, empat jam kemudian kami sampai di Labuan Bajo dan memutuskan mengikuti sailing trip selama 4D3N untuk bisa sampai di Lombok, sebenarnya untuk ke Lombok bisa ditempuh lewat jalur darat, tetapi karena perjalanan darat dari Labuan Bajo ke Lombok memakan waktu lebih dari 26 jam, maka kami memilih sailing trip saja. Selama sailing trip, pengalaman yang kami rasakan juga luar biasa. Mulai dari melihat komodo di Rinca, Kegiatan di Rinca (Loh Buaya) adalah trekking melihat Komodo (We did long trek!). Di Pulau ini, komodo akan lebih mudah untuk dilihat karena rentang habitat lebih kecil daripada di Pulau Komodo (Loh Liang), komodo di Loh Buaya juga lebih agresif. Selain komodo, di pulau ini juga bisa melihat sapi, kerbau, monyet, ayam hutan, dll. Dari Rinca, kapal berlayar ke Pink Beach, pantai ini adalah tempat terbaik untuk snorkeling. Terumbu karang, ikan, dan pantainya benar-benar indah. Pantai ini disebut Pink Beach karena pasir pantai ini berwarna Pink (merah muda). Warna pasir berasal dari abrasi terumbu karang di pantai yang terlihat berwarna merah muda. Setelah snorkeling, kita menuju Kalong Island dan bermalam di sana. Setelah matahari terbenam, kamu bisa melihat banyak kelelawar mencari makanan. Keesokan harinya kami sudah tiba di Manta point, disini banyak sekali Manta yang bisa dilihat tanpa harus diving bahkan snorkeling. Karena tidak tahan, aku melakukan snorkeling dan melihat 3 ekor Manta yang ukurannya besar sekali! Aku pernah melihat Manta saat melakukan scuba diving di Thailand, tapi ukurannya jauh lebih kecil dari yang aku lihat disini. Luar biasa! Dari Manta Point, kapal berlayar ke Gili Laba. Aktifitas di Pulau ini adalah Trekking ke puncak pulau untuk menikmati panorama landscape Flores dan melihat pemandangan yang luar biasa. Aku sempat tidak kuat mendaki bukit Gili Laba ini, karena cuaca yang sangat panas, matahari tepat berada diatas kepalaku dan jalannya yang menanjak. Aku bukan tipe orang yang suka menyerah, ketika Cas menawarkan untuk membawaku kembali ke kapal, aku menolaknya mentah-mentah! Aku berhenti sekitar 20 menit untuk beradaptasi dengan situasi, lalu meneruskan pendakian dan menikmati pemandangan dari Gili Laba. I did it! Dari Gili Laba kami berlayar semalaman suntuk ditemani ombak yang membuat perut kami mual, kami tiba di pulau Moyo pada keesokan harinya. Senang sekali berada di pulau Moyo, kenapa? Akhirnya aku menemukan air tawar untuk mandi setelah 3 hari tidak mandi! Hahaha. Kami melakukan trekking ke dalam hutan sekitar 20 menit untuk bisa tiba diair terjun dan ketika tiba disana, aku langsung duduk tenang dibawah air terjun menikmati air tawar. Perjalanan dilanjutkan ke Lombok dan kami tiba di Lombok pada pukul 8.30 malam, seharusnya kami masih menginap satu malam di kapal, tetapi aku dan Cas memutuskan untuk pergi ke pelabuhan Lembar di Lombok Barat pada malam itu juga untuk langsung menyebrang ke Bali dengan ferry tengah malam. Akhirnya kami menyebrang ke Bali dengan Ferry pukul 02.00 dini hari dan tiba di Denpasar pada pukul 06.00 pagi dan langsung mencari Hostel. Tidak ada hal yang special yang kami lakukan di Bali, hanya beristirahat dan berkeliling sekitar hostel untuk mengisi perut. Keesokan harinya Cas terbang ke Thailand dan aku terbang kembali ke Medan, dengan demikian berakhirlah liburan kami. Liburan di Flores ini membuat aku makin cinta alam dan budaya Indonesia. Destinasi Flores pun komplit; mulai dari museum, desa adat, perkebunan kopi, hot spring, gunung, sampai pantai yang keren juga ada! Benar-benar Flores itu extraordinary!

Aku pasti akan menyarankan orang-orang yang bepergian ke Indonesia, terutama mereka pada perjalanan backpacking lagi, untuk menyertakan Flores dalam jadwal mereka dan membagikan cukup banyak waktu untuk itu. Sebagian besar tempat di pulau hanya membutuhkan satu atau dua malam menginap, tapi ini adalah salah satu pulau dimana kamu bisa mendapatkan sebagian besar berhubungan dengan alam dan orang-orang yang menjadikannya  indah dan berwarna-warni dari tempat itu.

Aku akan mengatakan bahwa beberapa kenangan terbaikku dari perjalanan ini adalah dari Flores, dan itu adalah pertama kalinya semua perjalanan aku merasa seperti benar-benar mendapatkan pelajaran dan berbaur lebih dalam dengan budaya dan masyarakat lokal daripada melakukan hal-hal seperti duduk-duduk dan menyelam di Lombok atau trekking di Gunung Rinjani yang biasa dilakukan oleh turis pada umumnya. Flores juga merupakan titik melompat untuk melanjutkan ke Timor Barat, Sumba atau untuk pergi ke Sumbawa, semua tiga pulau yang ada di jadwalku untuk perjalananku ke Indonesia Timur ketika aku kembali, mudah-mudahan dalam tahun depan.

Untuk foto-foto kami, silahkan klik : 

Selasa, 12 Juli 2016

BACKPACKING IN EAST PART OF INDONESIA (Part I)

Jika kamu berpikir geografi Sulawesi terlihat fantastis di peta, tunggu sampai kamu melihat dengan nyata. Interior pulau ini dinaungi oleh pegunungan ditembus hutan yang kental dengan satwa liar, seperti tarsius langka yang aktif di malam hari  dan burung maleo flamboyan berwarna-warni. Budaya telah mampu berevolusi, terputus dari seluruh dunia dengan topografi yang dramatis. Memenuhi dataran tinggi Toraja, dengan upacara pemakaman mereka yang rumit  dimana kerbau dan babi hutan  dikorbankan juga ada palm wine (gula aren anggur) mengalir secara bebas.  Sulawesi berbaring di tengah kepulauan Indonesia, garis berliku-liku menyerupai huruf seribu kilometer "K", dan salah satu daerah yang paling menarik di negara ini. Tempat di Sulawesi jauh lebih dari 100 km dari laut. Sulawesi adalah salah satu pulau yang masuk kedalam daftar pribadiku untuk dijelajahi sejak 2 tahun lalu.

Cerita perjalananku kali ini berbeda dari biasanya karena perjalanan ini ditemani oleh Cas Boerkamp. Pria asal Belanda ini sudah ku kenal sejak April 2016 karena ia sempat tinggal dirumahku selama dua malam saat menjelajahi pulau Sumatra, pulau dimana aku tinggal. Dua bulan lalu, aku dan Cas sempat menjelajahi pulau Banyak yang letaknya di Aceh Singkil. Saat penjelajahan itu, aku bercerita kepadanya tentang rencana liburanku di bulan Juni, dan ia menyatakan diri ingin ikut serta dalam perjalanan ini.

Untuk bisa menginjakkan kaki di Sulawesi, aku harus terbang dari Medan menuju Jakarta dan Jakarta menuju Manado. Kenapa Manado? Karena pulau selanjutnya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) alias Flores, maka akan lebih mudah jika kami lebih dulu menjelajahi Sulawesi Utara lalu merayap perlahan hingga Sulawesi Selatan dan terbang lagi menuju NTT. Selain hemat waktu, juga hemat biaya! Hehehe!

Berbeda denganku, Cas harus sedikit lebih repot untuk bisa tiba di Sulawesi karena visanya yang sudah hampir habis. Setelah dua bulan di Indonesia (Sumatra dan Jawa), ia terbang ke negeri Jiran Malaysia, tepatnya Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur, Cas terbang menuju Makassar dan kembali mengajukan Visa disana. Pada hari yang sama, ia terbang ke Manado. Ya, bukan hal mudah alias perlu pengorbanan untuk bisa menginjakkan kaki di Sulawesi. 

Sebelum kami tiba di Sulawesi, aku telah menyusun sedikit rencana perjalanan bagi kami berdua. Maklum, aku orang yang well-organized dan butuh kepastian kemana aku akan pergi, berbeda dengan Cas yang go with the flow.  Maka sebelum aku tiba di Sulawesi, aku telah melakukan beberapa research dan menyusun rute perjalanan kami. Namun kami berdua bukan tipe orang yang kaku, jadi semua rencana kami bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung mood dan situasi ditempat tersebut.

Bagi yang penasaran mengenai rute perjalanan kami, berikut rute perjalanan kami :
11.  Sulawesi Utara hingga Selatan :
Manado > Tomohon >  Gorontalo > Kotamubago > Bogani Nani Wartabone National Park > Togian Island > Ampana > Palu > Makassar > Rantepao (Tana Toraja) > Makassar.

22.  Nusa Tenggara Timur (NTT) Alias Flores :
Maumere > Larantuka > Lembata Island > Moni Village > Ende > Bajawa > Ruteng > Labuan Bajo > Lombok > Bali.

Okay, aku akan menjelaskan secara garis besar isi perjalanan kami di Sulawesi terlebih dulu.  
Here we go!

Kami sama-sama tiba di Manado pada 10.45 PM. Pesawat Cas tiba 20 menit lebih awal dari pesawatku, akhirnya dia harus menunggu aku tiba. Dari Sam Ratulangi Airport Manado, kami langsung menuju salah satu hotel di pusat kota Manado untuk beristirahat karena kami sudah terbang seharian, tenaga kami sudah habis pada hari itu. Hari pertama kami di Manado cukup santai, kami menuju salah satu museum di Manado yaitu Museum Negeri Propinsi Sulawesi Utara (Free Entrace – Donation Only) lalu sore harinya kami bertemu dengan dua orang masyarakat lokal yang aku kenal dari situs Couchsurfing. Dari bincang-bincang seru ini, mereka menawarkan kami untuk berkunjung ke Tomohon dengan mereka. Tentu saja, aku dan Cas setuju! Tidak ada alasan bagi kami untuk menolak kebaikan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa spot di Tomohon, bahkan meminjamkan sepeda motor kepada kami. Keesokan harinya kami berempat berangkat ke Tomohon dengan sepeda motor dan perjalanan ditempuh selama 1,5 jam untuk bisa tiba di Danau Linow, salah satu danau cantik yang membuatku betah duduk berlama-lama. Kami juga mengunjungi dua buah air terjun di Tomohon, namun kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendaki gunung Lokon dan Mahawu. Kami menginap satu malam di Tomohon dan keesokan harinya sebelum kembali ke Manado, kami mengunjungi Extreme Market di Tomohon. Di Tomohon, dimana orang-orang Minahasa lokal mengatakan bahwa mereka makan hewan apapun yang berkaki empat kecuali meja dan kursi. Di pasar ini saya melihat monyet, kelelawar, kucing, anjing, babi, tikus, bajing dan bahkan ular raksasa diletakkan di atas meja dengan ekspresi menyakitkan masih terukir di wajah mereka. Beberapa anjing masih dalam kondisi hidup berada didalam kandang menunggu untuk diekskusi. Sedih sekali berada ditempat ini. Selama berkeliling pasar tradisional ini, aku tak bisa melepaskan genggamanku dari lengan Cas karena tidak tahan melihat penderitaan hewan-hewan malang ini. Tapi, inilah Tomohon dan tradisi setempat. Mereka pemakan segala! Haha.

Sore harinya, kami kembali ke Manado karena kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju Gorontalo dan Kotamubago pada malam hari. Kami menggunakan Private-Shared Taxi (Sejenis mobil Avanza/Innova) untuk ke Gorontalo. Manado-Gorontalo ditempuh dalam waktu 10 Jam dan dari Gorontalo ke Kotamubago ditempuh selama 6 Jam. Kami tiba di Kotamubago pada keesokan malam harinya dengan kondisi pinggang yang hampir patah karena terlalu lama duduk di dalam mobil, belum lagi jalan yang berliku membuat kepala kami pusing tujuh keliling. Haha. Sesampainya di Kotamubago, kami tewas didalam kamar hostel. Kami tidur hingga keesokan harinya dan dari Kotamubago kami melanjutkan perjalanan menuju Toraut. Perjalanan ke Toraut kami lewati selama 2 jam didalam angkot biru bersama warga setempat, lalu kami melanjutkan perjalanan dengan ojek selama 30 menit untuk bisa tiba di Bogani Nani Wartabone National Park. Melelahkan!

Bogani Nani Wartabone National Park ini lebih sepi dibandingkan dengan Tangkoko National Park, salah satu faktornya adalah lokasi yang sangat jauh. Tangkoko National Park hanya 2 jam dari Manado sedangkan Bogani Nani? Jauh sekali! Silahkan dihitung saja berapa jam yang kami habiskan dari Manado untuk bisa tiba disini. Tetapi, yang membuat kami senang adalah tempat ini sepi bahkan boleh dibilang minim signal handphone! Haha. Tidak ada guesthouse apalagi hotel, hanya ada rumah singgah milik Taman Nasional Bogani. Tidak ada yang memasak untuk kami, maka kami harus memasak makanan kami sendiri disini! Aku bertugas untuk memasak sedangkan Cas bertugas mencuci piring kotor setelah kami selesai makan. Haha. Kami juga melakukan trekking kedalam taman nasional dan melihat berbagai macam burung, serangga kecil dan menemukan air terjun didalam sana!

Dari Bogani Nani Wartabone National Park, kami melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Togian Island. Kami menempuh perjalanan selama 13 jam dari Gorontalo dengan menggunakan Ferry. Ferry berangkat pada pukul 8.00 PM dan tiba di Wakai pada 09.00 AM keesokan harinya. Dari Wakai, kami sudah ditunggu oleh Mas Ajo! Mas Ajo adalah salah satu pekerja di penginapan yang bernama Harmony Bay. Kami menginap selama tiga malam di Harmony Bay, untuk bisa tiba disini kami harus menempuh perjalanan 30 menit lagi dengan boat kayu. Harga menginap disini tidak begitu murah dibanding penginapan lain. Dengan IDR300.000/malam/orang, kita sudah mendapat fasilitas makan tiga kali, snack satu kali dan alat snorkeling. Kamarnya cukup luas untuk dua orang dengan kamar mandi didalamnya. Pemandangan yang kami lihat setiap hari adalah laut luas dengan bonus sunset setiap sore hari sambil bermalas-malasan di hammock yang disediakan di balkon kamar kami. Harmony Bay ini sangat nyaman, bukan hanya staff yang ramah, makanan yang enak, tetapi juga kita bisa langsung snorkeling tanpa harus menyewa boat atau membayar lebih untuk trip lainnya. Lokasinya disebuah pulau yang tidak berpenghuni, tidak ada signal handphone dan arus listriknya pun hanya bisa digunakan setiap pukul 5.00 sore hingga 11.00 malam saja. Benar-benar meninggalkan gadget dan menikmati keindahan Togian Island. Pada hari ketiga, kami menyewa kapal boat dan mengunjungi pulau lain di Togian Island, yaitu Una-Una. Kenapa Una-Una? Karena ada Gunung! Haha. Cas itu penggemar Gunung. Kakinya akan gatal-gatal kalau dia tidak mendaki gunung. Haha. Akhirnya, selama 3 jam kita masuk lagi kedalam hutan, mendaki air terjun, melewati danau untuk bisa sampai di kawah Una-Una. Sebelum kesana, saya sudah diperingatkan Mas Ajo bahwa biasanya wanita tidak akan sanggup kesana karena medannya yang berat. Saat kembali ke Harmony Bay dan mendengar bahwa  aku menyelesaikan perjalanan hingga kawah Una-Una, Mas Ajo ini mengatakan bahwa mungkin aku adalah Wanita Indonesia pertama yang berhasil. Karena sepengetahuannya, selain tidak begitu menarik, akses yang berat juga sering jadi kendala bagi perempuan. I did it! Sedikit bangga dengan diri sendiri walau ketika kembali ke kapal, aku merasa butuh kaki baru! Hahaha. You did it, Erica! 6 hours walking loh! Hahaha. Timur Indonesia adalah rahasia surga - semuanya hijau, biru, tropis, eksotis. itu seperti mimpi. Timur Indonesia, Truly Oceania! Langit malam dengan selimut yang berkilauan bintang dan suara deru ombak adalah pemandangan paling menakjubkan dan romantis yang pernah aku lihat. Aku pasti akan merindukan ini.

Dari Togian, perjalanan berlanjut ke Makassar. Tapi, lagi-lagi tidak mudah! Tidak Percaya? Nih, aku kasih ilustrasinya! Harmony Bay ke Wakai 30 menit dengan kapal kayu, Wakai ke Ampana ditempuh 4 jam dengan ferry boat, lalu Ampana ke Palu selama 8 jam dengan bus yang super sempit, non AC, dan berdesak-desakan dibagian belakang bus. Karena kami trauma dengan perjalanan darat yang sudah kami lalui beberapa hari di Sulawesi, akhirnya kami memilih terbang saja dari Palu ke Makassar untuk menghemat waktu, tenaga dan emosi. Haha. Kami tiba di Makassar pada sore hari pukul 4.00 dan segera pergi ke terminal bus untuk melanjutkan perjalanan ke Rantepao / Tana Toraja. Bus kami kali ini sangat-sangat-sangat nyaman! We can adjust the seat (Woo-Hoo!!!), AC-nya dingin, disediakan selimut dan aku tidur sepanjang perjalanan ke Rantepao karena sangat lelah akibat perjalanan dari Togian ke Makassar yang super panjang ini. Hahaha. Kami tiba di Rantepao keesokan pagi hari pukul 5.30 AM dan langsung menuju Riana Guesthouse. Tanpa banyak negosiasi, setelah ditunjukkan kamar kosong oleh pemilik guesthouse, aku dan Cas langsung terkapar di ranjang. Kami tidur dari pukul 6.00 pagi hingga 11.00 siang. Kami benar—benar tidur! Benar-benar terlelap karena suasana di Rantepao yang juga adem, dingin dan hujan pada kala itu. Setelah bangun dari tidur panjang dan dalam, kami mandi, lalu siap untuk mengisi perut! Hari pertama kami di Rantepao juga sangat santai akibat lelah yang menggerogoti kami di hari sebelumnya. Kami makan, ngopi, nonton pertandingan sepak bola lalu makan lagi, tapi semua itu kami lakukan sambil menyusun rencana perjalanan untuk keesokan harinya.

Di dataran tinggi di ujung utara semenanjung tersebut adalah, wilayah daratan pegunungan yang orang mempertahankan cara-cara kuno dan bangga dalam rumah sabit beratap mereka. Toraja, karena itu akrab dipanggil, tentu Shangri-La dari Sulawesi Selatan.

Kami memutuskan untuk menjelajahi sisi Utara dari Rantepao terlebih dulu, yaitu Batutumonga. Harus saya katakan bahwa… Batutumonga sangat dingin!!! Tidak heran jika menyebutkan negeri diatas awan. Kami menyewa sepeda motor dan saya sebagai supirnya saat perjalanan menuju Batutumonga. Coba bayangkan betapa dinginnya ketika mengendarai sepeda motor! Kami melihat landscape yang luar biasa dan senyum masyarakat lokal menghiasi disepanjang perjalanan kami menuju Batutumonga. Melewati desa satu-jalan, kami melihat pemandangan yang menakjubkan hanya dari sisi jalan, sawah yang bertingkat, bersinar kuning terang dan hijau di bawah sinar matahari, dengan latar belakang yang sempurna dari langit biru murni dengan beberapa awan putih besar. Kami berhenti disebuah rumah kecil untuk beristirahat dan menikmati secangkir kopi serta sepiring mie yang menghangatkan tubuh kami pagi itu. Benar-benar indah. Kami juga mengunjungi Lokomata yang merupakan lubang cukup besar untuk memasukkan peti mati ke dalam batu besar. Selanjutnya destinasi terakhir di Batutumonga adalah Pana, dimana kami melihat pohon yang berisi kuburan bayi yang meninggal sebelum mampu berjalan. Mereka kemudian dimakamkan di pohon, menurut tradisi, pohon dianggap sebagai simbol utama dari kehidupan. Dengan mengubur bayi mereka - hanya mereka yang tanpa gigi - dalam pohon, pohon akan bertindak sebagai ibu baru bagi bayi tersebut, dan getah sebagai susunya. Selama pohon hidup, bayi tersebut akan terus memiliki kehidupan baru di dalam. Kuburan kecil ditutupi oleh penutup bambu. Lalu kami kembali ke Rantepao dan mengunjungi Londa. Dalam gua Londa, banyak peti mati dimakamkan, berfungsi sebagai kuburan unik bagi masyarakat Tana Toraja. Kamu akan melihat, banyak kerangka yang berserakan di sekitar gua. Diperingatkan ada tulang di mana-mana dan itu sedikit menakutkan, dibutuhkan cahaya untuk mengunjungi gua-gua. Kamu dapat menyewa lentera gas jika mau, tetapi kamu juga dapat hanya menggunakan cahaya pada ponselmu.

Hari selanjutnya, kami menjelajahi apa yang ada di bagian selatan dari Sulawesi dan kami berkesempatan untuk melihat tradisi kuat yang ada di Tana Toraja, aku yakin bahwa semua turis yang datang ke Tana Toraja memiliki tujuan yang sama, yaitu melihat dan mengikuti pesta kematian orang Toraja! Orang-orang Toraja adalah pemeluk agama Kristen yang taat, namun mereka masih mempertahankan tradisional, ritual kematian animisme mereka. Di antaranya adalah keyakinan besar setelah mati. Mayat dapat dipertahankan selama berbulan-bulan dan bahkan sampai satu tahun sampai upacara pemakaman yang tepat diadakan. Almarhum dimakamkan dengan barang yang mereka perlukan dan hewan dikurbankan sehingga jiwa mereka juga dapat mengikuti jiwa seseorang kehidupan setelah mati. Dalam arti, itu mengingatkanku pada keyakinan orang Mesir kuno. Puluhan babi dikurbankan, terlihat ratusan orang menghadiri upacara pemakaman yang mereka sebut sebagai ‘pesta’ kematian ini. Dihadapan kami, dihidangkan berbagai cemilan, minuman bahkan makan siang. Kami membawa buah tangan berupa rokok, gula, kopi, dan teh sebagai bentuk hormat kami kepada keluarga yang mengalami kemalangan. Kami (Aku tidak berani melihat, tetapi Cas melihatnya langsung proses sembelih babi itu >.<) mendengar jumlah tak terbatas memekik. Lebih dari setengah lusin babi dalam proses disembelih, mengerikan untuk menonton, Cas menontonnya! Aku hanya berdiri jauh dari tempat sembelih sambil menutup telinga dan bernyanyi untuk mengalihkan pendengaran dari suara babi yang sedang disembelih. Pria dengan pisau besar membuat satu sayatan dan kemudian membiarkan babi mati kehabisan darah. Maka perut dipotong terbuka lebar dan semua organ ditarik keluar dalam satu gerakan dan meletakkan di atas tikar bambu. Kemudian, orang yang membawa penyembur api pergi untuk bekerja pada babi, memanggang itu. Setelah hampir 2 jam disana, inilah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh orang yang ada diacara 'pesta' kematian itu.. Yaitu acara kurban makhluk yang dianggap sebagai binatang yang paling penting. Dalam ‘pesta’ kematian ini yaitu Kerbau! Lagi-lagi aku tak berani melihat adegan sadis ini, Cas melihatnya! Haha. Kami meninggalkan tempat tersebut setelah acara puncak ini selesai.

Lalu kami juga mengunjungi Kambira yang letaknya 40 menit berkendara dari Rantepao. Kambira sama seperti Pana yang kami kunjungi kemarin, Kambira adalah tempat pohon yang berisi kuburan bayi yang meninggal sebelum mampu berjalan, bedanya di Kambira pohonnya lebih besar dari yang ada di Pana. Dari Kambira, kami pergi ke Kete Kesu. Kete' Kesu memang terbilang lengkap, disini terdapat gua, rumah tongkonan dan makam tebing. Desa ini berusia lebih dari 300 tahun dan diklasifikasikan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Desa ini memiliki 6 Tongkonan, yang merupakan bangunan tradisional yang dimiliki oleh bangsawan Toraja di mana nenek moyang mati disimpan. Bangunan-bangunan ini memiliki atap Saddleback tradisional, yang seharusnya mewakili tanduk kerbau. Ada juga 12 lumbung tradisional di mana beras disimpan. Semua bangunan di Ke'te Kesu yang indah dihiasi dengan gaya tradisional Toraja dengan desain bergaya dan geometris dalam warna merah, kuning, hitam dan putih yang dilukis di dinding. Di sisi belakang, kami melihat kuburan gantung milik orang Toraja. Peti mati disusun berdasarkan kelas sosial - orang kaya digantung lebih tinggi, yaitu lebih dekat ke surga, sedangkan makam orang miskin sering beristirahat langsung di tanah.

Sulawesi memang unik! Tidak hanya bentuk pulaunya yang unik menyerupai huruf ‘K’, tetapi juga keindahan alam, tradisi dan budaya setempatnya! Semua yang ada di Sulawesi menjadi kenangan indah dan pengetahuan baru bagi siapa saja yang menginjakkan kaki disana. Aku berharap bisa kembali lagi kelak, karena masih banyak sisi yang tidak ku kunjungi.  Dataran tinggi Sulawesi benar-benar adalah salah satu yang menarik dari Indonesia. Budaya yang unik dan pedesaan yang indah membuat liburan di sini menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Aku berharap artikel ini telah memberikan beberapa ide tentang apa yang dapat dilakukan di Sulawesi!

Sulawesi, I’m in love!

Untuk foto, silahkan klik :
https://www.facebook.com/EriCaYiNz/media_set?set=a.1214954968529029.100000436137749&type=3