Rabu, 27 Mei 2015

Berucap Dengan Bijak. Bijak Dalam Berucap.

"Bagaikan sekuntum bunga yang indah serta berbau harum; demikian pula sungguh bermanfaat kata-kata mutiara yang diucapkan oleh orang yang melaksanakannya.” (Dhp.52)

Hari ini saya menggunakan salah satu maskapai penerbangan nasional untuk kembali pulang ke kota tempat saya tinggal. Setelah tiga hari di Jakarta dan seluruh pekerjaan terselesaikan, saya kembali ke Medan dengan perasaan bahagia karena saya sudah sangat merindukan rutinitas pekerjaan saya di Medan.

Well, saya bukan orang yang suka ngaret. Saya sangat menghargai setiap detik yang saya miliki. Jadwal penerbangan ke Medan adalah pukul 16.20 WIB, dan saya tiba di Bandara Soekarno Hatta pukul 14.45 WIB. Saya melihat bahwa antrian check-in sudah lumayan panjang dan saya harus ikut berbaris menunggu giliran karena saya memiliki sebuah koper yang harus saya masukkan ke dalam bagasi. Saya berbaris seperti biasa hingga giliran check-in saya tiba.

Saat giliran saya, saya menyerahkan kartu identitas dan kode booking pesawat yang saya miliki. Yang membuat saya sedikit terkejut adalah saya mendapatkan nomor kursi paling depan, 1D. Saya tahu betul bahwa kursi paling depan adalah kursi yang dijual kepada penumpang, bukan diberikan secara gratis. Tetapi saya malah mendapatkan kursi tersebut tanpa harus membayar biaya tambahan apapun. Ini luar biasa, seandainya saya datang lebih lambat, mungkin kursi nomor 1D ini tak menjadi milik saya.

Saya menuju gerbang C4 sebagai ruang tunggu penerbangan saya. Tidak ada yang saya khawatirkan karena saya belum pernah dikecewakan oleh maskapai ini. Saya duduk sembari membalas chatting di ruang tunggu tersebut. Pukul 15.50 WIB para penumpang sudah diinstruksikan untuk masuk ke dalam pesawat. Saya sedikit gembira karena saya tahu saya akan tiba di Medan dengan tepat waktu. Namun, ternyata pesawat kami berada di gerbang C7. Artinya kami harus berjalan cukup jauh untuk masuk ke dalam pesawat. Namun, saya tidak merasa keberatan karena saya masih punya waktu 30 menit untuk masuk ke dalam pesawat.

Sesampainya di dalam, saya duduk sesuai nomor kursi yang tertera pada boarding pass saya, 1D. Tak berapa lama, seorang bapak berusia 50 atau 55 tahun masuk kedalam pesawat. Ia tampak ngos-ngosan dan raut wajahnya tidak bersahabat. Ia membawa barang yang cukup banyak dan saya yakin ia pasti lelah karena harus berjalan sejauh itu.

Ia datang kearah depan saya dan meletakkan barangnya dengan kasar hingga kaki saya sempat tertimpa tas yang ia bawa. Namun saya memakluminya karena saya tahu ia cukup lelah akibat berjalan yang jaraknya cukup jauh itu.

Ia berjalan kearah flight attendant dan memberikan boarding passnya. Olalala.. Boarding passnya ditulis manual tanpa nomor kursi. Rupanya itu yang membuat ia marah dan kesal. Namun pramugari tetap tersenyum dan menyuruhnya duduk terlebih dulu di kursi kosong yang tepat berada disamping saya. Ia meletakkan barang-barangnya di dalam kabin pesawat dan duduk disamping saya.

Ia duduk dan raut wajahnya masih nampak cemberut. Lalu ia bertanya kepada saya, "Mbak, tadi dari gerbang mana masuknya? Masa saya dari counter check-in disuruh ke gerbang 2 lalu dari gerbang dua malah disuruh ke gerbang 4, katanya saya sudah telat dan penumpang sudah masuk ke pesawat. Ketika saya sampai di gerbang 4 katanya disuruh ke gerbang 7. Saya sampai lari-lari, bawaan saya banyak pula". Ia berbicara begitu berapi-api dan kesal.

"Saya memang dari gerbang 4. Dan jalan juga ke gerbang 7. Tapi dipanggil 30 menit sebelum jam terbang, jadi tidak terlalu mepet dan buru-buru". Jawabku sambil tersenyum.

"Maskapai ini nggak berkualitas. Masa boarding pass pakai sistem manual, penumpang dibola-bola dari satu gerbang ke gerbang lain, kalau tadi saya ketinggalan pesawat bagaimana? Pasti mereka nggak mau bertanggung jawab atas kejadian ini. Memindahkan gerbang sesuka hati mereka, saya bayar lho naik pesawat ini. Malah dipermainkan begini. Saya nggak terima perlakuan ini. Saya nggak akan naik maskapai ini lagi". Nada bicara bapak ini terlihat makin berapi-api. Namun saya kira ini wajar. Dan saya hanya membalasnya dengan senyum dan memilih tidak berkomentar.

5 menit kemudian, salah seorang penumpang masuk dan tempat duduknya ternyata diduduki oleh bapak tadi. Bapak itu tidak mau pindah karena masih kesal, maka penumpang ini duduk ditempat lain yang kosong disamping bapak tersebut. Ketika penumpang itu duduk, bapak ini masih saja bercerita tentang kejadian yang dialaminya. Ia menjelek-jelekan maskapai yang kami tumpangi ini. Ia terlihat mencoba menghasut agar ada orang yang sependapat dengannya. Dan akhirnya si penumpang tadi terhasut dan ikut menjelekkan maskapai yang ia tumpangi saat ini. Sungguh ironis.

Ya, saya sangat mengerti kekecewaan bapak ini akibat perlakuan maskapai ini. Bahkan, ketika pramugari memberikan kembali boarding pass beserta nomor duduk yang benar, bapak ini tetap ngotot tidak mau pindah karena ia tidak salah dan tidak rela dipermalukan dengan dipindah-pindahkan. Saya rasa ini sungguh keterlaluan. Bukan hanya nada bicaranya yang ketus, tetapi ia tidak memiliki sikap tenggang rasa yang baik. Padahal, awak pesawat sudah menjelaskan bahwa ini bukan kesalahan awak pesawat, tetapi sistem bandara yang tiba-tiba down mengkondisikan kejadian ini. Namun si bapak tetap ngomel-ngomel kepada awak pesawat ini. Beruntunglah si awak pesawat tidak terpancing emosi dan tetap meminta maaf disertai senyum.

Ucapan kasar yang dilontarkan bapak itu sungguh tidaklah bijaksana. Jika kita terbiasa berucap dengan kasar, maka tanpa kita sadari benih-benih kekejaman telah tumbuh dalam diri kita. Kata-kata yang penuh cinta kasih tdak akan terwujud menjadi umpatan- umpatan yang kasar. Begitu pula, kata-kata yang penuh cinta kasih akan menyatukan dan menimbulkan keharmonisan.

Selain kasar, ucapan bapak itu juga terlihat ingin memecah belah dan menimbulkan kebencian. Ucapan yang memecah belah biasanya berakar dari kebencian, sakit hati terhadap kesuksesan orang lain atau saingan. Ucapan memecah belah adalah salah satu pelanggaran moral yang berat karena dilandasi kebencian dan biasanya Motif lain dari ucapan memecah belah bisa karena keinginan jahat untuk mendapatkan perhatian dari orang lain.

Itulah mengapa sebabnya saya memilih tidak ikut berkomentar atas cerita bapak tersebut kepada saya. Saya tidak mau ikut serta masuk kedalam lubang kebencian dan kemarahan beliau.

Ketika ada orang yang mengucapkan sesuatu, tentu kita bereaksi untuk mengomentarinya. Begitu pula ketka ada pertanyaan yang diajukan. Ketka menjawab, kita harus hat-hat dan Sang Buddha memberikan empat cara untuk menjawab suatu pertanyaan yang diberikan (PaƱha Suta, AN 4.42). Empat cara tersebut adalah: Pertanyaan tersebut dijawab dengan singkat dan langsung, biasa dengan “Ya” atau “Tidak”. Dalam hal ini, anggukan tanda setuju juga termasuk. Isyarat- isyarat yang bisa menimbulkan makna “Ya” atau “Tidak” juga berlaku. Pertanyaan tersebut dijawab dengan memberikan perincian sejelas mungkin. Sebelum menjawab, dianalisis kemudian disampaikan dengan sejelas- jelasnya. Jika tdak jelas, terkadang akan membuat salah persepsi atau pemahaman yang keliru. Pertanyaan tersebut dijawab dengan memberikan pertanyaan balik kepada orang yang bertanya. Seringkali untuk menyadarkan seseorang, kita dapat menggunakan cara ini. Pertanyaan tersebut dijawab dengan diam (tdak perlu dijawab). Terkadang diam lebih berharga dan memberikan suatu jawaban yang lebih jelas. Beberapa pertanyaan yang berhubungan dengan obrolan kosong atau gosip-gosip sebaiknya tidak ditanggapi. Juga termasuk pertanyaan yang masih kita ragukan kebenarannya. Hal tersebut agar tidak terjadi fitnah atau memecah belah orang.

Dari ke-4 cara tersebut, kita harus dapat memilih dengan bijak sesuai dengan kondisi (tepat waktu). Terkadang suatu pertanyaan harus kita jawab dengan jelas dan rinci, namun kadangkala diam lebih baik daripada membuat kebingungan orang lain.

Saya menulis artikel ini bukan untuk menjelekan bapak tersebut, melainkan ini adalah refleksi bagi diri kita. Saya hanya mengingatkan agar ini tidak terjadi kepada kita dan bagaimana menghadapi orang yang terkena situasi tersebut. Memang teori tak selalu semudah prakteknya, namun saya yakin bahwa dari cerita tadi kita pasti bisa mengambil makna dan mengerti dengan benar bagaimana berucap yang baik dan bijaksana itu.

Ucapan benar adalah ucapan yang benar, lembut, tidak merugikan orang lain, tepat waktu, tdak menambah kesombongan dalam diri, menyenangkan, bermanfaat bagi orang dan ucapan yang membuat keharmonisan. Setelah pembahasan yang ringkas mengenai ucapan benar atau perluasannya komunikasi benar, saya berharap kita semua semakin menyadari arti penting kata-kata, tulisan maupun isyarat yang kita lakukan. Ucapan yang dianggap kecil terkadang berpengaruh besar terhadap orang lain. Begitu pula, tulisan-tulisan yang kasar atau provokatif dapat menyebabkan pertikaian antar masyarakat.

Marilah kita berusaha lebih menyadari setap kata-kata yang terucap. Pikirkan dahulu kata-kata yang akan kita kemukakan, apakah merugikan orang lain atau tidak, apakah benar atau salah, dan apakah menambah keserakahan, kesombongan dan kebencian dalam diri. Marilah mengurangi umpatan-umpatan kasar— yang terkadang tanpa sengaja kita ucapkan karena kebiasaan—dengan semakin menyadari setap ucapan yang akan dikeluarkan.

Selasa, 19 Mei 2015

Setitik Cahaya Untuk Lisa

Aku tak tahu harus menulis apa tengah hari ini, tapi entah mengapa keinginan saraf otakku untuk menulis menggiring tangan serta jemariku untuk kembali menyapa dan menyentuh laptopku yang manis. Aku juga tak tahu mengapa semua memori dalam otakku kembali bangkit. Ntah mengapa sejak semalam aku teringat masa kecilku, ketika aku menangis dicubit ibuku tersayang karena baju seragam SD ku yang kotor akibat bermain dengan teman sepermainanku. Aku teringat ketika aku masih ingusan dan menangis ketika harus pergi kesekolah pada kondisi yang masih sangat mengantuk dipagi hari, dan masih banyak kisah lucu lainnya yang membuatku tersenyum kala mengingat masa-masa SD ku.

Namun masa SD ku tak seindah masa SMP dan SMA ku, dikala duduk dibangku sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, aku harus mengusahakan sendiri biaya sekolahku agar aku bisa tetap kembali bersekolah seperti teman-teman sebayaku yang lain. Saat itu, ayahku hanya seorang pebisnis yang bangkrut. Lalu ia juga menjadi seorang supir, penjual bawang goreng hingga akhirnya menjadi penjual aksesoris handphone. Ibuku sempat menjadi TKI di Singapura beberapa tahun demi membantu ayahku mencari nafkah. Lalu, ia kembali ke Indonesia. Namun tak berapa lama kemudian ayah dan ibuku bercerai.

Ketidaksanggupan ayah dan ibuku memberikan pendidikan yang layak untuk keempat buah hatinya kala itu adalah sebuah pelajaran yang tak terhingga bagiku. Hidup mewah yang kurasakan sejak kecil hilang ketika usiaku menginjak remaja. Kami pernah mengalami peristiwa kehabisan persediaan beras. Mau hutang pada tetangga sudah tidak mungkin lagi. Sudah banyak tetangga yang dimintai tolong untuk meminjami uang atau beras. Belum ada satupun yang kami bayar. Kami malu bila harus datang lagi ke salah satu dari mereka untuk meminjam uang atau beras. Begitupula dengan uang sekolah, aku sudah dua kali memohon keringanan dari kepala sekolah, sekarang aku tinggal membayar separuh dari uang sekolah semula. Namun ini masih sangat terasa berat sekali. Aku pernah meminta bantuan pada seseorang ternyata tidak diberi, melainkan mendapatkan jawaban yang sangat menyakitkan hati.

Dengan angkuh dia mengatakan : “Kalau memang tidak mempunyai uang mengapa sekolah disana? Daripada ngerepotin orang lain, mendingan kerja aja. Jangan sok mau sekolah deh, makan aja keluarga lu sering ngutang!”.

Aku dan adik-adikku tidak pernah menuntut. Makan hanya dengan nasi dan garam pun kami diam saja, meski banyak teman kami makan nasi dengan lauk dan sayur. Kami juga jarang sekali meminta uang jajan. Kesulitan dan penghinaan bertubi-tubi dari teman-teman sekelas membuatku bangkit, awalnya aku sering bolos karena takut ditagih uang sekolah oleh wali kelasku, aku diminta berdiri dikantor guru jika aku terlambat membayar uang sekolah membuatku malu. Aku harus sekolah, aku harus menjadi juara kelas, aku harus menjadi orang sukses. Aku harus membuat mereka berhenti mengolok-olokku dan keluargaku. Inilah menjadi pemicu bagiku untuk sekolah sambil bekerja. 

Aku tumbuh menjadi gadis yang ambisius, aku selalu berusaha keras untuk apa yang ku inginkan, aku berusaha sekeras mungkin mencari uang dengan cara yang benar ketika aku masih duduk dibangku sekolah, ku sabet  semua penghargaan dikelas, dan sekolah. Juara kelas, juara olimpiade, juara lomba ini dan itu ku raih, itu semua karena aku sudah tidak tahan diolok-olok teman sekelasku sebagai anak pemalas yang suka membolos. Namun aku tidak mungkin dan tidak dapat menerangkan pada merekaa tentang kesulitan hidup yang ku jalani.

Kemarin malam, ketika salah satu teman memberitakan seorang anak terancam tak dapat mengikuti ujian karena masih menunggak biaya sekolah, hatiku tiba-tiba terasa sakit. Seolah-olah aku melihat diriku sendiri. Dulu, setiap hendak ujian, aku harus dipenuhi ketakutan karena ketidaksanggupan orangtuaku melunasi uang sekolahku. Miris rasanya jika harus ada anak yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi yang dialami oleh keluarganya. Seandainya setiap orang mau membantu satu anak saja, maka tidak akan ada lagi anak Indonesia yang berhenti sekolah karena masalah ekonomi.
Pemerintah sudah saatnya memberikan anggaran biaya pendidikan yang lebih besar dari sebelumnya. Banyak anak-anak yang kecerdasannya diatas rata-rata namun tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak hanya karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Disisi lain, banyak anak-anak yang berasal dari keluarga mampu namun menyia-nyiakan dan melupakan pendidikannya. Miris sekali pemandangan seperti ini.

Saya memutuskan memberikan bantuan bagi Lisa, memberikan kebahagiaan pada gadis kecil ini agar dapat mengikuti ujian seperti teman-temannya yang lain. Memberikan sebungkus nasi hanya menghilangkan penderitaan akibat lapar. Namun memberikan kesempatan bersekolah kepada satu orang, akan membantunya seumur hidup! Aku punya janji yang harus kutepati dalam hidup ini, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa” dan aku harus menepatinya. Gadis kecil ini tak perlu tahu siapa yang menolongnya, karena tugasnya hanya belajar dengan baik dan berbakti kepada orangtuanya.
Dunia ini akan lebih indah jika kita saling membantu sesama, tak peduli apa sukunya, apa warna kulitnya dan apa agamanya, karena kebaikan tak terbatas pada suku, warna kulit dan agama. 

Majulah! Majulah! Majulah! Berikan yang terbaik bagi kehidupan..

Semoga aku menjadi makanan bagi yang lapar, 
Semoga aku menjadi obat bagi yang sakit,
Semoga aku menjadi jembatan bagi yang menyebrang,
Semoga aku menjadi pelita bagi yang dalam kegelapan,
Semoga aku menjadi pelindung bagi yang takut..
TADAAAAAA! Sudah LUNAS!

Sepucuk Surat Untuk Lisa

Untuk Lisa..