Sabtu, 09 Januari 2016

2 DAYS FOR CAMBODIAN KIDS

“You don’t have to be rich to travel well.” ~Eugene Fodor

Benar! Tidak perlu menjadi kaya untuk perjalanan yang baik. Saya setuju sekali dengan kutipan diatas, bukan karena saya belum cukup kaya, tetapi saya percaya bahwa untuk memiliki perjalanan yang baik, uang bukan satu-satunya hal yang wajib, uang hanya salah satunya untuk menjadikan perjalanan wisata kita lebih baik.

Desember 2015 lalu, saya memilih destinasi perjalanan akhir tahun yang menarik yaitu Siem Reap dan Thailand. Namun, pada kesempatan ini saya tidak ingin menceritakan apa yang saya lakukan di Siem Reap selama 6 hari. Perjalanan saya tidak jauh berbeda dengan pelancong lainnya, tujuan kami sama.. Angkor Wat.

Tidak hanya Angkor Wat yang menjadi highlight saya untuk perjalanan ini, jauh hari sebelum perjalanan ini saya lakukan, saya sudah mencari informasi mengenai aksi sosial yang bisa saya lakukan ditempat saya berpijak nanti. Siem Reap hanyalah sebuah kota kecil yang terletak di Negara Kamboja. Tak banyak yang bisa dilakukan selain mengunjungi tempat wisata, berbelanja dan berpesta. Tapi, saya menemukan sebuah kontribusi yang bisa saya berikan untuk masyarakat sekitar. Siem Reap memang ramai dan dipadati oleh wisatawan asing, namun bukan berarti kota ini bebas dari masalah. Ada banyak masalah yang ada di kota ini, diantaranya kurangnya kemampuan berbahasa Inggris, pendidikan yang rendah dan kurangnya kesadaran mendonorkan darah.

Pada hari kedua saya di Siem Reap, saya mengunjungi sebuah floating village atau desa terapung yang merupakan salah satu objek wisata. Bagi saya, tempat wisata itu biasa saja. Saya hanya membayar tiket dan dibawa oleh sebuah kapal boat untuk melihat-lihat desa terapung tersebut. Tak banyak yang dapat dilakukan selain duduk dan mengambil foto sebanyak-banyaknya. Durasi perjalanan yang singkat membuat saya sedikit kecewa karena biaya yang saya habiskan sama sekali tidak sebanding dengan apa yang saya dapat. Saya membayar USD25 untuk kapal dan biaya masuk desa terapung, namun kunjungan tersebut hanya sekitar 45 menit saja.







Travel buddy - Mathilde from France.



Kekecewaan itu membuat saya harus protes kepada pengemudi kapal hingga akhirnya ia memberhentikan saya di sebuah desa yang sepi. Saya meminta pengemudi kapal menunggu saya di dermaga karena saya ingin berjalan-jalan menghabiskan waktu di desa tersebut. Beruntung, pengemudi kapal bersedia menunggu. 


Bangunan sekolah


Menginjakkan kaki di sebuah desa yang sepi, sedikit menyeramkan menurut saya. Namun, begitu melewati sebuah tempat beribadatan umat Buddha, saya melihat kehidupan desa itu yang sesungguhnya. Anak-anak berusia 7-15 tahun, berpakaian putih dan bawahan biru sedang sibuk sekali dengan kegiatan mereka. Ada yang bermain permainan tradisional, ada yang bermain olahraga bola voli, ada juga yang hanya duduk melihat saja.






Ya, itu adalah sebuah sekolah. Menurut saya, secara fisik bangunan, sekolah itu memang layak. Namun, tidak secara sistem pendidikan. Jumlah siswa lebih banyak dari ruang kelas yang tersedia, hilangnya sosok yang seharusnya berdiri didepan kelas untuk mengajar dan anak-anak yang datang sebagian hadir dengan tangan kosong.

Saya berjalan terus semakin jauh kedalam desa itu. Saya lihat rumah-rumah kayu yang dibangun setinggi mungkin untuk menghindari luapan air yang mungkin bisa menerjang tempat tinggal mereka ketika musim penghujan. Sebagian rumah itu terlihat baik, sebagian lagi terlihat lebih mirip kandang. Saya berjalan terus semakin dalam. Banyak penduduk yang menyapa saya, banyak pula anak-anak yang menyentuh saya. Saya terlihat 'baru' bagi mereka.









Langkah saya terhenti ketika melihat sebuah kelas kecil yang terletak di kolong sebuah rumah, terdengar sayup-sayup ungkapan bahasa Inggris yang diucapkan oleh anak-anak. Saya berhenti, saya memandangi mereka begitu lama dari kejauhan hingga akhirnya saya beranikan diri bertanya kepada sesosok pria yang sedari tadi berdiri didepan anak-anak.





Kami terlibat perbincangan panjang hingga akhirnya saya tahu bahwa sebuah ruangan terbuka dibawah kolong rumah itu adalah pusat pembelajaran bahasa Inggris gratis untuk anak-anak maupun orang dewasa di desa tersebut. Kelas tersebut terbuka dari pagi hingga sore dengan jumlah siswa yang tidak sedikit. Ada kurang lebih 70 siswa setiap harinya. Pria yang berbicara dengan saya adalah relawan yang mengajar disana, ia tidak digaji dengan uang. Ia hanya diberi fasilitas tempat tidur dan makanan oleh warga desa, jika panen maka warga akan memberikan sedikit hasil panennya sebagai ungkapan terima kasih kepada beliau. Rahang saya sontak menjadi kaku mendengarkan ceritanya.





Saya menawarkan diri mengajar kelas itu kepada pria tersebut. Ia nampak heran namun juga senang. Ia mempersilahkan saya mengajar. Saya sedikit kaku karena bahasa nasional Kamboja/Khmer yang saya kuasai juga tidaklah banyak. Agar kebingungan tidak terjadi, maka saya mengajar bahasa Inggris tentang anggota tubuh kepada anak-anak. Saya juga mengajarkan cara memberi salam dalam bahasa Inggris dan perkenalan diri sederhana kepada mereka. Tak terasa 1 jam berlalu dan kelas itu selesai. Cukup melelahkan namun menyenangkan. Saya tidak menyangka kesempatan ini hadir. Sebelum saya pulang, saya diberikan banyak sekali cemilan ala desa terapung untuk dibawa pulang. Saya menemukan keluarga baru di Kamboja, di desa terapung.

Berat bagi saya untuk pulang, tapi hari sudah semakin sore. Saya harus kembali sebelum gelap. Sesaat sebelum saya meninggalkan desa itu, anak-anak mengajak saya bermain bola voli. Permainan bola voli adalah olahraga yang paling sering saya lakukan ketika saya duduk di bangku sekolah dasar dan sekolah menengah pertama, tak heran saya berani menerima ajakan itu. Saya seakan-akan kembali ke masa kecil saya. 1 babak berlalu dan saya harus pulang. Anak-anak dan warga desa melambaikan tangannya pertanda kami akan berpisah. Sedih memang, tapi.. saya gembira karena mampu berkontribusi untuk mereka.




Masalah lainnya yang sudah saya ketahui sebelum menginjakkan kaki di Kamboja adalah kekurangan darah yang melanda negara tersebut. Hal ini mendorong saya untuk mendonorkan darah saya disana. Tepat di malam sebelum hari Natal, saya mendatangi Blood Bank yang letaknya lumayan jauh dari penginapan saya. Lagi-lagi tidak ada satupun yang bisa berbahasa Inggris. Saya mencoba melakukan gerakan tubuh agar mereka mengerti maksud saya, tapi saya malah dibawa ke laboratorium pengecekan HIV & AIDS. Huh! Mereka kira saya ingin mengecek HIV dan AIDS. Hahaha. Saya menyerah, akhirnya saya menggunakan google translate untuk membantu saya. Setelah diterjemahkan oleh google translate, barulah mereka mengatakan 'CLOSE' dan 'TOMORROW' sembari menunjuk jam diangka 9 yang artinya hari ini mereka tutup dan saya diminta kembali keesokan harinya pukul 9 pagi.

Karena pesta natal hingga dini hari, akhirnya saya bangun kesiangan. Jam tangan menunjukkan pukul 10.30 pagi. Saya kaget dan bergegas mandi lalu sarapan sebelum berangkat kerumah sakit. Saya tiba di ANGKOR HOSPITAL FOR CHILDREN (AHC) pukul 11.30 dan lagi-lagi mereka mengatakan 'CLOSE' dan menunjukan jarum jam diangka 2. Artinya kembali lagi pukul 2 siang. Karena memang terjadi karena kelalaian saya, maka saya berjalan kaki kembali ke penginapan.

Pukul 13.15, saya berangkat kembali ke rumah sakit dan tiba pukul 13.45. Saya diminta duduk terlebih dulu. Dan.. saya bertemu dengan pria yang merupakan salah satu staf di unit transfusi darah yang bisa berbahasa Inggris. Dia bertanya darimana saya berasal dan mengapa mau mendonorkan darah disana. Pria tersebut 3 tahun lebih tua dari saya. Ia baru saja lulus dari universitas ternama di ibukota Kamboja, yaitu Pnohm Penh. Dia juga menceritakan betapa lemahnya kesadaran mendonorkan darah yang dimiliki oleh warga kamboja.

Ia mengatakan, ada sistem tukar darah disini. Maksudnya, jika ada pasien darurat yang membutuhkan darah, maka mereka akan memberikan darah yang ada, namun anggota keluarga diminta kembali datang keesokan harinya untuk mendonorkan darah sebagai pengganti darah yang diambil sebelumnya. Di Kamboja, darah diberikan secara cuma-cuma oleh rumah sakit, alias gratis. Pemerintah menyediakan segala keperluan pengambilan, pengecekan dan penyimpanan darah. Penerima tidak bayar sepeser pun, namun hanya diminta mendonorkan darahnya sebagai pengganti untuk pasien lain yang nantinya membutuhkan.

Bahkan pria itu mengatakan bahwa tak jarang, orangtua menyuruh anaknya yang masih berusia 6-10 tahun untuk datang kesana mengambil darah, orangtua tidak mau datang mengambil secara langsung karena mereka takut diminta mendonorkan darah oleh pihak rumah sakit. Sungguh ironis. Saya berbicara banyak hal dengan pria tersebut. Saya memang bukan orang pertama yang melakukan donor darah dirumah sakit itu, tetapi ada juga wisatawan yang melakukan hal yang sama. Namun, menurutnya saya adalah wanita muda berkebangsaan Indonesia pertama yang mendonorkan darah saya disana. Saya juga wanita Indonesia pertama yang ia lihat berjalan-jalan sendirian. Hahaha.






Seusai mendonorkan darah, saya tidak langsung pergi. Saya bertukar cerita dengan pria tersebut mengenai budaya dan memberikan ide bagaimana meningkatkan kesadaran berdonor darah untuk warga Kamboja. Ide saya adalah berikan edukasi dan sertakan hadiah menarik seperti HP, televisi, sepeda,  Radio, dan DVD Player sebagai hadiah yang akan diundi untuk para pendonor darah. Semoga ide ini dapat dipraktekan sehingga membawa manfaat bagi warga dan Negara Kamboja kedepannya.

Sebelum pulang, saya diberikan kartu tanda mendonorkan darah dan sebuah kaos cantik sebagai ungkapan terima kasih. Saya tersenyum karena sebuah tekad bajik telah terealisasi.

Mungkin, perjalanan saya berbeda dengan wisatawan lain. Saya tahu, liburan itu artinya menyegarkan pikiran setelah rutinitas yang padat. Tapi bagi saya, dimanapun berada dan kapanpun kesempatan itu muncul, berkontribusilah. Dengan cara seperti inilah saya menyegarkan pikiran. Senyum-senyum bahagia yang saya lihat sudah cukup menyegarkan pikiran saya. Bepergian - ini memberikan kita rumah di seribu tempat yang aneh. Saya berpikir bahwa di mana pun perjalanan saya membawa saya, selalu ada kebajikan yang menunggu untuk dilakukan. Saya tidak memerlukan uang untuk membantu anak-anak di Kamboja, namun saya bisa memberikan waktu dan tenaga saya. Memang tidak banyak, tetapi ini baik daripada tidak ada sama sekali.

Lakukan apa yang anda bisa untuk menunjukkan anda peduli tentang orang lain, dan anda akan membuat dunia kita menjadi tempat yang lebih baik. Kita harus melakukan apa yang kita bisa untuk membantu dimanapun dan kapanpun adalah mungkin bagi kita untuk membantu sesama.

Semoga kisah ini membuat kita bergerak maju, membuat kita lebih semangat dalam berkontribusi bagi sesama, tak peduli dimanapun mereka berada, tak peduli apa agama, suku dan warna kulit mereka. 

Jika saya diminta memilih : Lipat tangan atau turun tangan, maka saya dengan pasti akan memilih untuk TURUN TANGAN!