Sabtu, 16 Juli 2016

Our Funniest Moments and Stories in East Part of Indonesia

Kadang-kadang dalam perjalanan banyak hal yang terjadi justru tidak berjalan sesuai yang direncanakan. Kami dihadapkan dengan gundukan di jalan, cuaca panas, cuaca dingin, hal-hal lucu maupun menyebalkan dan itu malah menjadi momen yang membuat perjalanan kami berkesan. Pada kesempatan lain, tidak ada yang dapat dilakukan kecuali duduk kembali, tertawa dan mengikuti arus. Saya suka cerita ini, pertama-tama karena mereka menunjukkan bagian yang kalah glamor dari perjalanan dan karena mereka adalah bagian penting dari perjalanan itu sendiri. Mereka mewakili tantangan, petualangan, sensasi. Pada dasarnya, semua traveler yang sesungguhnya akan mencari hal yang berada diluar comfort zonenya.

Some stories are incredibly funny, other are creepy or  beautifully written, whilst some others are quite spicy (stay away if you are a prude). Tidak peduli betapa berbedanya mereka, mereka semua memiliki satu kesamaan, yaitu they made me laugh or chuckle a bit.

Here We Go!
Karena info yang diberikan teman-teman di Manado (yang kami kenal dari Couchsurfing), mereka bilang bahwa kalau kami mau menginap di penginapan yang ada di Tomohon, lebih baik yang reservasi hotel dilakukan oleh warga Negara Indonesia, kalau yang melakukan reservasi adalah bule  maka harga kamar akan berbeda. Nah, karena kita tidak mau rugi, akhirnya kita berpura-pura deh! Kita melakukan reservasi dengan nama saya, karena Cas adalah warga Negara Belanda, jadi Cas harus rela menunggu di parkiran. Kebetulan saat itu kami pergi ke Tomohon ditemani oleh dua teman dari Manado, akhirnya kami berpura-pura seolah-olah kamar itu akan ditinggali oleh saya dan kedua teman dari Manado tersebut. Pengurus guesthouse terlihat cukup kaget saat malam hari melihat Cas didalam kamar. Tapi mereka tidak bisa berkata dan tidak bisa berbuat apa-apa. Wah, sedikit tricky yah! Hahaha.

Hal yang paling menyebalkan tapi lucu adalah, hampir 80% orang yang kami temui menganggap saya adalah tour guide yang di hire oleh Cas. Kami hanya bisa tertawa terbahak-bahak setiap mendengar pertanyaan, “Kamu itu tour guide dia?” atau sering juga orang yang ada di Bus umum mengatakan “Cewek itu juru bicara cowok bule itu.” Kami hanya bisa tertawa, namun terkadang juga mengklarifikasi bahwa saya bukan tour guide  atau juru bicaranya Cas. Mungkin karena dalam perjalanan ini saya sering bertanya kepada penduduk dan menerjemahkannya kepada Cas, maka dianggaplah saya sebagai tour guide  atau juru bicara. Cas jadi mirip presiden, ya? Cas punya juru bicara alias jubir! Hahaha.

Malu bertanya, sesat dijalan. Yes!!! Benar sekali! Karena kepoover-confident dan sok tahu, kami menghabiskan waktu dan biaya yang seharusnya tidak perlu dihabiskan. Dari Tomohon, kami kembali ke Manado lalu ke Gorontalo karena kami harus ke Kotamubago untuk bisa sampai di Bogani Nani National Park. Saat perjalanan dari Manado ke Gorontalo, mobil yang kami tumpangi sempat berhenti disebuah restoran kecil untuk makan. Keesokan harinya saat perjalanan dari Gorontalo ke Kotamubago, mobil yang kami tumpangi juga berhenti di restoran yang sama. Ketika diselidiki, ternyata memang restorannya sama! Yang membuat saya makin kaget adalah, ternyata ada Bus dari Manado yang langsung ke Kotamubago tanpa harus ke Gorontalo dan jarak tempuhnya lebih cepat dibanding harus ke Gorontalo terlebih dulu. Busetttttt! Bukan Cuma badan yang sakit, hati juga sakit nih sodara-sodara! Hahaha. Si pemilik restoran itu juga pasti bingung dan dalam hatinya berkata, “Ini kan dua orang yang kemarin malam makan disini, kok hari ini kesini lagi? Bajunya juga belum ganti.” Pas tahu ada bus yang direct dari Manado ke Kotamubago, saya rasanya ingin ngamuk, karena capek dan habis waktu gara-gara ke Gorontalo. Tapi, nasi sudah menjadi bubur, tetapi untungnya walau sudah menjadi bubur, bubur itu masih bisa dinikmati. Makanya, jangan malu bertanya! Jalan-jalan kan loe! 

Nyamuk! Yes! Makhluk kecil ini selalu berurusan dengan Cas dalam perjalanan kami. Cas mengatakan bahwa nyamuk adalah musuh sejatinya dan mereka tidak akan pernah bisa menjalin persahabatan sampai kapanpun!!! Biasanya, nyamuk-nyamuk malang ini tidak akan bertahan lebih dari lima menit setelah Cas menyadari keberadaan mereka. Cas tak segan untuk mengambil pose jongkok dan menunggu nyamuk-nyamuk malang itu keluar dari sarangnya, dengan sekali tepuk 'Plokkkkk!!!', maka berakhirlah kehidupan nyamuk itu. Walau saya sering sekali melarang Cas membunuh nyamuk-nyamuk malang itu, namun usaha saya juga sering tidak berhasil bahkan boleh dikatakan tidak pernah berhasil. Cas selalu sukses mengakhiri hidup mereka! Nyamuk yang malang! 

Di Kotamubago, penderitaan belum selesai. Kami menitipkan baju kotor kami ke Laundry sebelum pergi ke Bogani Nani National Park, dan pihak laundry mengatakan bajunya bisa diambil 2 hari kemudian, tepat dengan kepulangan kami dari Bogani ke Kotamubago. Dan tahukah anda… Saat kami kembali, baju kami baru saja dicuci dan masih basah! Sedangkan keesokkan harinya, tepatnya besok subuh pukul 5.30 pagi, kami harus kembali ke Gorontalo dan melanjutkan perjalanan selama 13 jam didalam kapal ferry. Saya langsung marah dan ngomel-ngomel. Kami mondar-mandir mencari laundry yang bisa mengeringkan pakaian kami hari itu juga dan malam itu juga. Beruntung kami menemukan sebuah laundry yang bisa mengeringkan pakaian kami yang masih basah total itu dan kami harus membayar Rp.50.000 lagi untuk tambahannya. Mahal! Tapi, itu lebih baik daripada kami harus membawa baju basah itu selama seharian. Tapi, penderitaan belum berakhir walau laundry sudah ditemukan. Cas kehabisan stok celana! Dia sama sekali sudah tidak punya celana bersih yang bisa dipakai hari itu. Tas ranselnya yang berukuran 60L itu hanya berisi sekitar 5 kaos, 3 celana, beberapa boxer dan 1 celana panjang yang sudah sangat kotor bagian bawahnya karena trekking kedalam hutan beberapa waktu lalu. Aha! Saya ada ide! Akhirnya kami sulap celana panjang itu menjadi celana pendek selutut dengan pisau kecil, kami buang bagian bawah yang sangat kotor tersebut dan akhirnya… Tadaaa! Jadilah celana keren dengan model tidak rata dibagian lututnya. Hahaha. Guys, ternyata penderitaan lain muncul setelah kami tiba di kantor imigrasi di Maumere. Cas butuh celana panjang karena celana pendek tidak diperbolehkan untuk masuk kedalam kantor imigrasi. Hahahahahaha. Kami saling berpandangan lalu tertawa karena celana panjang satu-satunya sudah berubah jadi celana pendek yang keren. Akhirnya, dengan berat hati Cas harus membeli celana panjang baru untuk bisa masuk kedalam kantor imigrasi. Poor Cas! 

Udara sejuk dan dingin di Desa Moni membuat kami overslept! Sebelum tidur, kami sudah membahas dengan pasti bahwa kami akan bangun pukul 4.00 pagi untuk mengejar sunrise di Danau Kelimutu. Walau kami sudah set alarm, tapi keesokan harinya kami tetap bangun kesiangan. Kami berdua tidak mendengar bunyi alarm sama sekali! Akhirnya, kami ketinggalan sunrise dan naik ke Danau Kelimutu pada pukul 8.00 pagi. What a day! Parahnya, hari itu juga kami harus kembali ke Maumere untuk mengambil visa dan langsung menuju ke Ende setelah selesai mengambil visa di Maumere. Ini adalah hari terpanjang, kami menghabiskan 7 jam didalam mobil.

Walau jalan Trans-Flores itu bagus, alias tidak berlubang, tetapi jangan mengira bahwa anda akan menyukai perjalanannya. Kepala anda akan cukup pusing karena jalan yang berkelok-kelok curam itu. Beberapa orang asli Flores yang kami temui didalam bus atau mobil bahkan masih muntah-muntah dan mabuk perjalanan, padahal mereka setiap hari menghadapi jalanan yang berkelok aduhai itu. Bagaimana dengan kami? Kami aman! Perut kami sangat kuat dan kepala kami juga tahan banting. Kami tidak pernah mabuk selama perjalanan darat, laut maupun udara. Yang bikin capek itu adalah jika supir merokok didalam mobil. Fiuh~

Kadang saya berharap saya bisa sedikit tumbuh lebih tinggi, tapi jika melihat kondisi Cas, saya bersyukur menjadi orang yang tingginya dibawah rata-rata. Dengan tinggi badan saya yang cuma 157cm, saya tidak menderita ketika harus duduk di bagian paling belakang sebuah bus atau mobil, sedangkan Cas? Ini adalah penderitaan! Kakinya yang super panjang itu tidak bisa digerakkan sama sekali, dan yang paling menyebalkan adalah dia selalu menaruh kakinya diatas kaki saya -.-  Setiap Cas menatap dengan pandangan tak berdosa, saya sudah tahu bahwa ia meminta pertolongan untuk kaki panjangnya yang sedang menderita itu, karena hanya dengan meletakkan kakinya diatas kaki saya, dia baru bisa merasa nyaman dan bisa bergerak.

Sebagai seorang vegetarian yang melakukan perjalanan wisata dengan orang yang non vegetarian, saya tidak pernah berdebat soal makanan dengan Cas. Saya cukup senang dengan sifatnya yang kooperatif. Dia tetap bisa makan makanan kesukaannya yaitu AYAM dan saya tetap bisa makan makanan saya. Cas juga orang yang peduli, ia selalu bertanya kepada saya apakah makanan saya tersedia di restoran yang kami datangi, karena jika tidak, ia tidak akan ragu mengajak saya ke restoran yang lain. Jika orang-orang mengatakan bahwa seorang vegetarian akan kesulitan dalam mencari makanan vegetarian di Sulawesi dan Flores, harus saya katakan bahwa saya sama sekali tidak merasa sulit. Saya selalu memiliki pilihan makanan yang lezat setiap hari. Tahu, tempe, telur, sayuran hijau, buah, cookies, pancake, dan masih banyak lagi. Pokoknya, berat badan saya naik 3 kg sepulang dari perjalanan ini!

Di setiap kota yang kami kunjungi, kami selalu punya misi yang sama yang tidak boleh dilewatkan yaitu mencari Martabak, Bakwan dan Perkedel Jagung favorit kami. Kami tak akan bisa menahan godaan ketiga makanan itu. Es krim juga menjadi salah satu hal yang penting dalam perjalanan ini. Bisa dibayangkan, ketika kami lelah, kami selalu mengatakan “Aku ingin martabak dan bakwan yang enak sekarang.” Saya suka sekali Martabak coklat-kacang, sedangkan Cas menyukai Martabak dengan double coklat. Tak jarang kami berdua harus saling mempertahankan keinginan kami dan selalu berakhir dengan “double coklat”. Tak hanya itu, maps di telepon genggam saya sering digunakan untuk mencari keberadaan penjual martabak, seringkali kami tertipu – kedai martabaknya tutup alias tidak buka – tidak ada martabak! Padahal kadang kami rela datang walaupun jauh hanya demi martabak yang enak! Jauh-jauh kesana, ehh.. tutup! Sedih, kan?! >.<

Di Gili Laba, anda harus melakukan trekking jika ingin melihat keindahan Komodo National Park secara keseluruhan. Saat trekking, saya mengalami pusing dan mual yang cukup parah hingga kami harus berhenti sekitar 20 menit. Saya tidak pernah merasakan hal ini selama hidup saya. Kepala yang berat, badan yang dingin secara tiba-tiba dan pandangan yang tiba-tiba buram membuat saya sedikit takut kala itu. Perlu diketahui bahwa ketika kami melakukan trekking, posisi matahari saat itu berada tepat diatas kepala kami dan pendakian yang menanjak serta jalur yang berpasir menjadi tantangan berat. Kami melepaskan sandal agar tidak jatuh terpeleset dan berjalan sangat pelan sekali. Untuk pemandangan, jangan diragukan! Pemandangan yang bisa dilihat dari Gili Laba sangatlah indah dan mungkin itu adalah pemandangan terindah yang pernah saya lihat. Untung saja saya tidak menerima tawaran dari Cas untuk turun dan tidak melanjutkan perjalanan, tentu itu bukan Erica! Erica senang menantang dirinya hingga limit yang paling maksimal. Jika orang lain bisa melakukannya, kenapa saya harus menyerah? Keras kepala ya!

Diakhir perjalanan sailing trip, Cas kehilangan sandalnya! Saat itu hari sudah malam dan toko di Lombok rata-rata sudah tutup. Akhirnya, Cas baru membeli sandal ketika kami tiba di Bali. Sandal baru pertama dibeli pukul 11.00 siang, dan pukul 4.00 sore sandal itu robek, akhirnya ia membeli lagi sandal lainnya. Dalam sehari, Cas harus dua kali sandal jepit! Dasar Bule kaya!

Overall, yang paling berkesan diperjalanan ini yang kalau diingat bakal bikin saya tertawa adalah ekspresi Cas yang manyun ketika dijahili oleh saya. Saya senang mengulang kalimat yang dia ucapkan (Cas sangat kesal jika saya melakukan ini), saya juga senang memberikan dia ekspresi konyol tanpa alasan, saya juga senang mengusili dia (entah itu mendorong dia tanpa alasan, mencubit jika ia menyebalkan, ataupun pura-pura tidak tahu padahal saya tahu), itu semua menjadi kelucuan sendiri bagi perjalanan ini. Saya selalu mengatakan kepadanya kalau saya tidak akan menerjemahkan apa yang saya bicarakan dengan orang lokal setempat, padahal ia sedang menunggu saya untuk menerjemahkannya. Saya juga selalu menolak memberikan cemilan yang ada didalam kotak makan yang tersimpan didalam tas saya, sehingga terkadang adegan tarik-menarik tas harus terjadi. Kami sering tertawa hingga tak bisa berhenti, ketika kami mencoba untuk berhenti tertawa, kami akan saling berpandangan dan lalu mulai tertawa lagi. Yeah, we had a good laugh and a lot of fun for this trip, for sure, no doubt! Confirmed! Hahaha.

Our happiest moments as tourists always seem to come when we stumble upon one thing while in pursuit of something else! 

Read more stories? Click on :

Rabu, 13 Juli 2016

BACKPACKING IN EAST PART OF INDONESIA (Part II)

Jika liburan sekarang telah ada dan kamu sudah melihat Bali, aku akan sangat menyarankan untuk mempertimbangkan menuju  ke Nusa Tenggara Timur (NTT).  Setelah kami (Aku dan Cas) selesai menjelajahi Sulawesi, kami memutuskan untuk merayap kearah lebih timur yaitu NTT alias Flores. Bagi negara dengan populasi Islam terbesar di dunia seperti Indonesia, Pulau Flores terasa seperti dunia yang terpisah. Flores adalah sebuah pulau yang sangat Kristen, dan sepanjang perjalananku di sana aku bisa merasakan Kristen di setiap mana sudut aku berada. Untuk menghemat waktu dan tenaga, kami memilih menggunakan pesawat terbang dari Makassar ke Maumere (Transit Bali), memang tidak murah, tetapi ini pilihan terbaik karena di penghujung liburan, kami harus kembali ke Bali untuk catch our flight back to hometown. So, we decided to flight from Makassar to Maumere lalu pelan-pelan merayap dari jalur darat hingga Bali.

Penerbangan kami dari Makassar ke Bali memakan waktu 1 jam 20 menit dan Bali ke Maumere ditempuh selama 2 jam dengan pesawat ATR. Kami berangkat dari Makassar pada pukul 9.10 pagi dan akhirnya tiba di Maumere pada hari yang sama pukul 1.35 siang. Akhirnya, sampailah kami di Maumere!!! Hoorayyy! Hal pertama yang harus kami lakukan adalah pergi ke kantor Imigrasi terdekat karena Cas harus memperpanjang Visanya. Sialnya, kami menghabiskan waktu terlalu banyak untuk menunggu bagasi kami, sehingga sekitar pukul 2.00 siang kami baru bisa keluar dari bandara Maumere ditambah harus jalan kaki ke kantor Imigrasi yang lokasinya tidak begitu jauh dari bandara sekitar 10 menit. Tibalah kami didepan kantor Imigrasi Maumere, sebelum masuk ada sebuah spanduk yang memperingatkan tata cara berbusana bagi pengunjung kantor Imigrasi. Sial! Tidak boleh pakai sandal jepit (wajib sepatu), celana pendek (Wajib celana panjang), untuk wanita tidak boleh mengenakan baju tanpa lengan / sleeveless. Kami saling bertatapan dan saling mengerti. Saat itu, aku mengenakan tshirt dan celana training dibawah lutut, plus… sandal jepit! Sedangkan Cas? Sama! Cas juga mengenakan kaos dengan celana dibawah lutut dan sandal jepit! Sebenarnya sih, Cas ini punya celana panjang warna putih, tetapi celana itu berubah jadi coklat ketika masuk hutan di Sumatra dan celana itu kita gunting saat di Kotamubago karena Cas kehabisan stok celana saat disana. Haha. Gara-gara ideku untuk memotong celana panjangnya, dia jadi tidak lagi memiliki celana panjang sekarang, mana aku tahu kalau celana panjang itu akan dibutuhkan disaat-saat begini. Hahahaha. Sedangkan aku juga sebenarnya membawa celana panjang, tapi repot sekali harus bongkar-muat tas backpack ku. Jadi, dengan modal nekad dan percaya diri, kami masuk saja dengan wajah penuh senyum dan tak berdosa kedalam kantor Imigrasi. Hahaha.

Semua mata tertuju pada kami! Berhubung petugas Imigrasi tidak fasih berbahasa Inggris dan Cas tidak fasih berbahasa Indonesia, maka aku bertugas menjadi penerjemah bagi kedua pihak ini. Setelah diskusi panjang lebar dan melelahkan, kita tidak punya pilihan lain selain memperpanjang visa milik Cas di Maumere. Menurut petugas disana, seluruh kantor Imigrasi akan libur panjang menyambut hari Idul Fitri mulai dari 2 Juli hingga 10 Juli, lalu selain kantor Imigrasi di Maumere hanya kantor Imigrasi di Labuan Bajo yang bisa memfasilitasi untuk perpanjangan visa. Apa artinya? Artinya kami tidak mungkin terkejar untuk tiba di Labuan Bajo sebelum 2 Juli karena Labuan Bajo itu jauh sekali! Lalu, sialnya lagi, kami tiba di Maumere pada hari Jum’at dan sudah mau tutup pula! Mereka hanya bisa memproses dokumen visa ini pada hari senin karena sabtu-minggu kantor imigrasi itu tutup! Sungguh sial, bukan? Masalahnya adalah dari Maumere, kami tidak bisa berlama-lama karena harus segera meneruskan perjalanan ke Desa Moni untuk mengujungi danau Kelimutu yang terkenal itu. Bukan hanya lelah menerjemahkan percakapan kedua pihak ini, tetapi otakku juga mulai lelah karena harus menyusun ulang rencana perjalanan kami. Tapi, apa boleh buat, visa harus diperpanjang dan kami tidak punya pilihan selain taat pada peraturan, akhirnya Cas mengisi segala dokumen yang diperlukan dan melengkapi berkas-berkas yang diminta, lalu keluar dari kantor Imigrasi dengan harapan kami dapat mengambil visa itu pada hari senin sore. Sebelum kami angkat kaki dari kantor imigrasi, kami diperingatkan untuk mengenakan pakaian sopan jika datang lagi pada hari senin.

Keluar dari kantor imigrasi Maumere, kami mencari penginapan untuk bermalam di Maumere ini, sebelum keluar dari kantor imigrasi, petugas merekomendasikan sebuah penginapan murah yang bernama Gardena Hostel, berbekal kepercayaan kepada petugas imigrasi, akhirnya kami menuju kesana dengan menggunakan ojek. Setelah memilih kamar, kami langsung meletakan barang-barang didalam kamar dan duduk-duduk santai di ruang tamu hostel. Kami bertemu dengan seorang laki-laki berambut gondrong, kulitnya coklat gelap dan gayanya agak nyentrik, Pak Jim namanya. Bagiku, bukanlah hal sulit untuk bisa berkomunikasi dengan orang baru, aku sangat mudah berkomunikasi dan blend dengan orang baru. Aku dan Pak Jim terlibat pembicaraan yang cukup seru hingga akhirnya beliau bertanya  darimana asalku, “Saya dari Medan, Pak!”, beliau sontak mengatakan, “Saya punya banyak teman asal Medan, apa marga kamu? Situmorang? Silaban?” Aku hanya bisa menjawab, “Saya bukan suku batak. Saya suku Tionghoa.” Pak Jim benar-benar tidak percaya bahwa aku adalah gadis bersuku Tionghoa. Selain cara berbicara bahasa Indonesia yang fasih dan tidak memiliki aksen Tionghoa, kulitku yang gelap menjadi salah satu penyebab aku tidak terlihat seperti kaum Tionghoa pada umumnya. Setelah bercerita panjang lebar mengenai diriku, aku juga menceritakan apa yang terjadi di Imigrasi kepada Pak Jim. Lalu beliau menyarankan kami untuk berkunjung ke daerah timur terlebih dulu, lalu pelan-pelan merayap ke barat. Pak Jim menyarankan kami pergi ke pulau Lembata yang letaknya disisi timur dari Maumere. Tanpa banyak pertimbangan, akhirnya kami setuju untuk mengunjungi pulau Lembata pada keesokan harinya. Pukul 6.30 pagi, bus sudah menunggu di depan hostel. Kami menempuh perjalanan 3,5 jam ke Larantuka lalu dilanjutkan dengan menggunakan speedboat selama 1,5 jam ke pulau Lembata. Akhirnya kami tiba di  “Surga terakhir di Ujung Timur NTT” ini pada pukul 2.00 siang. Keindahan dan keunikan budaya yang tersimpan di timur Indonesia tentunya lebih banyak dari jumlah pulaunya yang tersebar bak untaian intan belum terasah. Lembata memang masih jarang disinggahi wisatawan. Namun cerita dari mulut ke mulut dan foto tentang perburuan paus tradisional di tempat ini telah mencengangkan publik dan perlahan-lahan tempat ini mulai dikenal wisatawan. Pastikan Desa Lamalera, masuk dalam agenda petualangan karena di sinilah atraksi berburu paus secara tradisional masih tetap dipertahankan. Sayangnya, ketika kami berkunjung ke Lembata, kami mendengar kabar bahwa bulan Juni ini belum memasuki  pemburuan paus, akhirnya kami membatalkan kunjungan ke Desa Lamalera karena cukup jauh dari Lembata dan tidak ada kesempatan bagi kami untuk melihat pemburuan paus. Kami memutuskan untuk menyewa sepeda motor saja dan berkeliling ke Ile Ape keesokan harinya. Ile Ape adalah salah satu gunung vulkanik yang masih akti, namun kami memutuskan untuk tidak mendaki gunung tersebut, kami hanya berkeliling dengan sepeda motor di Desa Ile Ape. Dari Lewoleba (Pusat Kota Lembata) memakan waktu 1,5 jam untuk ke desa Ile Ape. Kami melewati banyak desa, banyak babi liar, petani berjalan kaki dihadapan kami, anak-anak yang memanggil kami, benar-benar kami cinta dengan keramahan penduduk disini.

Dari Pulau Lembata, kami memutuskan kembali ke Maumere untuk mengambil visa di kantor Imigrasi. Ketika kami tiba di kantor imigrasi pada hari senin itu, visa masih belum selesai! Makin depresi deh! Karena kami tidak punya banyak waktu, kami memutuskan untuk kembali esok hari dan meneruskan perjalanan kami ke Desa Moni yang letaknya 2,5 jam dari Maumere. Kami memilih menggunakan private-shared taxi dan membayar IDR75.000 untuk ke Desa Moni. Pada dasarnya hanya ada satu jalan utama di Flores yaitu Trans-Flores Highway dan itu membentang dari timur ke barat. Ini berarti kemungkinan untuk tersesat sangatlah kecil bagi pelancong di Flores.

Kami tiba di Desa Moni pada pukul 8.30 malam, begitu turun dari mobil, kami dihampiri oleh seorang pria pemilik Watugana Guesthouse dan ia menawarkan kami untuk menginap ditempatnya. Karena hari sudah gelap dan tidak ada salahnya untuk melihat terlebih dulu, maka kami mengikuti pria tersebut ke guesthouse miliknya. Kami diperlihatkan sebuah kamar sederhana lengkap dengan kamar mandi didalamnya, harganya juga tidak terlalu mahal, IDR150.000/kamar/malam sudah termasuk sarapan pagi. Karena kami juga sudah lelah dan hari sudah malam, maka kami memutuskan menginap di Watugana Guesthouse. Moni adalah salah satu tempat terpencil yang kami kunjungi. Ini adalah sebuah desa kecil kecil di Flores dan dikelilingi oleh sawah.  Alasan utama kami datang ke Moni adalah untuk mendaki Kelimutu dimana terdapat tiga danau di dalam kawah. Danau begitu terkenal dan mengesankan karena semua danau memiliki warna yang berbeda, mineral yang melarikan diri dari gunung berapi membuatnya secara bertahap berubah warna setiap beberapa tahun. Keesokan harinya kami berencana mendaki Kelimutu akan tetapi hujan turun sepanjang hari dan membuat pendakian ini tidak memungkinkan. Kami juga tidak bisa kembali ke Maumere karena visa belum selesai, akhirnya aku dan Cas hanya duduk-duduk, minum kopi dan bercerita sepanjang hari untuk melewati hari yang penuh hujan ini. Keesokan harinya, kami melihat matahari muncul dan memancarkan sinarnya, Yeay! Kami bisa mendaki Kelimutu! Dengan motor sewaan, kami langsung menuju ke Kelimutu yang letaknya kurang lebih 19 KM dari desa Moni dengan jalan menanjak dan berliku melewati desa dan sawah. Setelah parker, kami harus berjalan mendaki sekitar 1 KM lagi keatas dan tibalah kami di Kelimutu! Akhirnya kami melihat danau tiga warna di Kelimutu dengan mata kami sendiri! Luar biasa indah! Sangat Indah!

Pukul 10.30 pagi, kami beranjak dari Kelimutu dan kembali ke desa Moni, aku kembali menelepon petugas Imigrasi dan bertanya mengenai Visa. Visa selesai! Fiuhhhh! Akhirnya pukul 12.000 siang kami memutuskan kembali ke Maumere untuk mengambil visa dan pukul 3.00 sore dari Maumere kami langsung menuju ke Ende! Lagi-lagi perjalanan panjang! Kami tiba di Ende pada malam hari dan langsung beristirahat karena lelah kembali melanda. Keesokan harinya, kami kembali menyewa motor dan berkeliling di seputar kota Ende dan menyempatkan diri untuk mengunjungi kampung adat Wolotopo. Kami melihat dua rumah adat di Wolotopo dan berkesempatan melihat proses tenun ikat yang sedang dilakukan oleh dua warga. Sepanjang perjalanan menuju Wolotopo kami disuguhi pemandangan indah yaitu laut biru yang membentang dan hutan-hutan disepanjang jalan. Di kota Ende, kami juga pergi ke sebuah museum kecil yang bernama Rumah Pengasingan Bung Karno. Setelah itu, kami kembali ke hostel dan melanjutkan perjalanan ke Bajawa dengan private-shared taxi. Perjalanan ke Bajawa memakan waktu empat jam dan kami tiba di Marcelino’s Guesthouse pada pukul 7.30 malam. Bajawa itu dingin sekali, kawan-kawan! Bonus combo attack-nya adalah guesthouse ini tidak memiliki fasilitas air panas! Selesai mandi, kami mengisi perut di sekitar guesthouse dan segera kembali setelah selesai karena tidak kuat berada diluar terlalu lama, dingin sekali. Keesokan harinya, aku dan Cas menyewa sepeda motor dan ditemani dua penduduk lokal setempat untuk berkeliling Bajawa. Kami berkesempatan melihat proses pengolahan biji kopi yang dikelola oleh penduduk setempat. Bajawa memang terkenal akan kopi Arabikanya yang premium. Kami juga pergi kesebuah bukit yang bernama Wolobobo Hill, disini kami melihat kota Bajawa dari ketinggian, dari atas bukit langsung dapat terlihat dua gunung yaitu Gunung Inerie dan Gunung Ebulobo. Indah sekali. Lalu setelah makan siang, kami pergi ke Mbalata Beach yang letaknya dua jam dari Bajawa. Kali ini, Cas mengendarai motor di Trans Flores yang jalannya berliku dan naik – turun, sedangkan  aku hanya bisa memegang bahunya kuat-kuat dari belakang, mengerikan sekali rasanya. Sesampainya di Mbalata beach, kami duduk dipinggir pantai sambil makan cemilan, lalu melanjutkan perjalanan ke Pomasule. Di Pomasule, kami menginap satu malam di rumah warga setempat. Kami dijamu dengan makan malam khas warga lokal, hanya sayur bayam dan telur dadar, tapi jangan Tanya rasanya, enak! Ditambah lagi berbincang-bincang sampai larut malam dengan warga disana. Warga di desa ini sangat ramah dan baik, aku bahkan diberitahu mengenai kehidupan mereka dan diceritakan tentang adat-adat di kampung adat. Mereka menyambut kami berdua bagai keluarga mereka sendiri. Keesokan paginya kami bersiap-siap ke kampung adat untuk melihat kehidupan desa adat dan budayanya, kami pergi ke Kampung Watu, Kampung Maghileja dan Kampung Jere. Setelah 30 menit melewati jalan rusak, berbatu, menanjak dan menurun, akhirnya kami menginjakkan kaki di kampung Watu. Penduduk kampung sudah menyambut kami dengan senyum dan menyalami kami. Kami serasa pulang ke kampung sendiri! Sebenarnya, kampung adat yang terkenal dan menjadi tempat wisata itu bernama Kampung Bena, letaknya hanya satu jam dari Bajawa, kalau kampung yang kami kunjungi ini tidak begitu terkenal dan tidak ada turis lainnya, berbeda dengan Bena yang sangat ramai oleh turis. Tapi, aku dan Cas memang menyukai tempat dimana kami tidak dapat menemukan turis lain! Di ketiga kampung ini, kami melihat rumah-rumah adat, bebatuan yang masih dipergunakan untuk sesajen dan upacara adat, anak-anak juga ramai mengerumuni kami, yang tak ketinggalan adalah kami disuguhkan kopi dan berbincang-bincang dengan penduduk adat. Ini sangat mengesankan sekali. Setelah puas, kami kembali ke Pomasule untuk makan siang dan mengucapkan terima kasih kepada warga yang bersedia menerima kami untuk menginap dirumah mereka. Sedih rasanya harus berpisah, tetapi kami harus kembali ke Bajawa dan meneruskan perjalanan ke Ruteng. Setelah dua jam dari Pomasule ke Bajawa, kami melanjutkan perjalanan ke Ruteng selama empat jam. Fiuh! 

Kami lagi-lagi tiba di Ruteng pada pukul 8.30 malam dan menginap di sebuah asrama suster katolik. Di Ruteng, kami mengalami dilema. Aku sudah membeli tiket pesawat untuk kembali ke Medan pada tanggal 8 Juli, demikian juga Cas, dia harus berada di Thailand pada 8 Juli karena akan mengikuti pelatihan meditasi. Waktu yang tersisa tinggal 6 hari, sedangkan kami masih ingin mengunjungi Waerebo, Labuan Bajo, Komodo National Park dan Lombok. Akhirnya setelah diskusi panjang, kami memutuskan untuk skip kampung Waerebo. Aku sedikit kecewa dan kekecewaan ini aku sampaikan kepada Cas. Kami melewati banyak tempat yang seharusnya bisa kami kunjungi, diantaranya Wakatobi di Sulawesi Tenggara, lalu Riung di Flores dan sekarang Waerebo. Tetapi Cas meyakinkanku bahwa kami sudah melihat dan berbaur dengan banyak kampung adat, maka tidak menjadi masalah jika kami melewati Waerebo kali ini. Dalam waktu 6 hari kedepan kami diharuskan untuk bisa tiba di Bali agar kami tidak kehilangan penerbangan yang sudah kami beli. Maka dari Ruteng, kami langsung pergi ke Labuan Bajo, empat jam kemudian kami sampai di Labuan Bajo dan memutuskan mengikuti sailing trip selama 4D3N untuk bisa sampai di Lombok, sebenarnya untuk ke Lombok bisa ditempuh lewat jalur darat, tetapi karena perjalanan darat dari Labuan Bajo ke Lombok memakan waktu lebih dari 26 jam, maka kami memilih sailing trip saja. Selama sailing trip, pengalaman yang kami rasakan juga luar biasa. Mulai dari melihat komodo di Rinca, Kegiatan di Rinca (Loh Buaya) adalah trekking melihat Komodo (We did long trek!). Di Pulau ini, komodo akan lebih mudah untuk dilihat karena rentang habitat lebih kecil daripada di Pulau Komodo (Loh Liang), komodo di Loh Buaya juga lebih agresif. Selain komodo, di pulau ini juga bisa melihat sapi, kerbau, monyet, ayam hutan, dll. Dari Rinca, kapal berlayar ke Pink Beach, pantai ini adalah tempat terbaik untuk snorkeling. Terumbu karang, ikan, dan pantainya benar-benar indah. Pantai ini disebut Pink Beach karena pasir pantai ini berwarna Pink (merah muda). Warna pasir berasal dari abrasi terumbu karang di pantai yang terlihat berwarna merah muda. Setelah snorkeling, kita menuju Kalong Island dan bermalam di sana. Setelah matahari terbenam, kamu bisa melihat banyak kelelawar mencari makanan. Keesokan harinya kami sudah tiba di Manta point, disini banyak sekali Manta yang bisa dilihat tanpa harus diving bahkan snorkeling. Karena tidak tahan, aku melakukan snorkeling dan melihat 3 ekor Manta yang ukurannya besar sekali! Aku pernah melihat Manta saat melakukan scuba diving di Thailand, tapi ukurannya jauh lebih kecil dari yang aku lihat disini. Luar biasa! Dari Manta Point, kapal berlayar ke Gili Laba. Aktifitas di Pulau ini adalah Trekking ke puncak pulau untuk menikmati panorama landscape Flores dan melihat pemandangan yang luar biasa. Aku sempat tidak kuat mendaki bukit Gili Laba ini, karena cuaca yang sangat panas, matahari tepat berada diatas kepalaku dan jalannya yang menanjak. Aku bukan tipe orang yang suka menyerah, ketika Cas menawarkan untuk membawaku kembali ke kapal, aku menolaknya mentah-mentah! Aku berhenti sekitar 20 menit untuk beradaptasi dengan situasi, lalu meneruskan pendakian dan menikmati pemandangan dari Gili Laba. I did it! Dari Gili Laba kami berlayar semalaman suntuk ditemani ombak yang membuat perut kami mual, kami tiba di pulau Moyo pada keesokan harinya. Senang sekali berada di pulau Moyo, kenapa? Akhirnya aku menemukan air tawar untuk mandi setelah 3 hari tidak mandi! Hahaha. Kami melakukan trekking ke dalam hutan sekitar 20 menit untuk bisa tiba diair terjun dan ketika tiba disana, aku langsung duduk tenang dibawah air terjun menikmati air tawar. Perjalanan dilanjutkan ke Lombok dan kami tiba di Lombok pada pukul 8.30 malam, seharusnya kami masih menginap satu malam di kapal, tetapi aku dan Cas memutuskan untuk pergi ke pelabuhan Lembar di Lombok Barat pada malam itu juga untuk langsung menyebrang ke Bali dengan ferry tengah malam. Akhirnya kami menyebrang ke Bali dengan Ferry pukul 02.00 dini hari dan tiba di Denpasar pada pukul 06.00 pagi dan langsung mencari Hostel. Tidak ada hal yang special yang kami lakukan di Bali, hanya beristirahat dan berkeliling sekitar hostel untuk mengisi perut. Keesokan harinya Cas terbang ke Thailand dan aku terbang kembali ke Medan, dengan demikian berakhirlah liburan kami. Liburan di Flores ini membuat aku makin cinta alam dan budaya Indonesia. Destinasi Flores pun komplit; mulai dari museum, desa adat, perkebunan kopi, hot spring, gunung, sampai pantai yang keren juga ada! Benar-benar Flores itu extraordinary!

Aku pasti akan menyarankan orang-orang yang bepergian ke Indonesia, terutama mereka pada perjalanan backpacking lagi, untuk menyertakan Flores dalam jadwal mereka dan membagikan cukup banyak waktu untuk itu. Sebagian besar tempat di pulau hanya membutuhkan satu atau dua malam menginap, tapi ini adalah salah satu pulau dimana kamu bisa mendapatkan sebagian besar berhubungan dengan alam dan orang-orang yang menjadikannya  indah dan berwarna-warni dari tempat itu.

Aku akan mengatakan bahwa beberapa kenangan terbaikku dari perjalanan ini adalah dari Flores, dan itu adalah pertama kalinya semua perjalanan aku merasa seperti benar-benar mendapatkan pelajaran dan berbaur lebih dalam dengan budaya dan masyarakat lokal daripada melakukan hal-hal seperti duduk-duduk dan menyelam di Lombok atau trekking di Gunung Rinjani yang biasa dilakukan oleh turis pada umumnya. Flores juga merupakan titik melompat untuk melanjutkan ke Timor Barat, Sumba atau untuk pergi ke Sumbawa, semua tiga pulau yang ada di jadwalku untuk perjalananku ke Indonesia Timur ketika aku kembali, mudah-mudahan dalam tahun depan.

Untuk foto-foto kami, silahkan klik : 

Selasa, 12 Juli 2016

BACKPACKING IN EAST PART OF INDONESIA (Part I)

Jika kamu berpikir geografi Sulawesi terlihat fantastis di peta, tunggu sampai kamu melihat dengan nyata. Interior pulau ini dinaungi oleh pegunungan ditembus hutan yang kental dengan satwa liar, seperti tarsius langka yang aktif di malam hari  dan burung maleo flamboyan berwarna-warni. Budaya telah mampu berevolusi, terputus dari seluruh dunia dengan topografi yang dramatis. Memenuhi dataran tinggi Toraja, dengan upacara pemakaman mereka yang rumit  dimana kerbau dan babi hutan  dikorbankan juga ada palm wine (gula aren anggur) mengalir secara bebas.  Sulawesi berbaring di tengah kepulauan Indonesia, garis berliku-liku menyerupai huruf seribu kilometer "K", dan salah satu daerah yang paling menarik di negara ini. Tempat di Sulawesi jauh lebih dari 100 km dari laut. Sulawesi adalah salah satu pulau yang masuk kedalam daftar pribadiku untuk dijelajahi sejak 2 tahun lalu.

Cerita perjalananku kali ini berbeda dari biasanya karena perjalanan ini ditemani oleh Cas Boerkamp. Pria asal Belanda ini sudah ku kenal sejak April 2016 karena ia sempat tinggal dirumahku selama dua malam saat menjelajahi pulau Sumatra, pulau dimana aku tinggal. Dua bulan lalu, aku dan Cas sempat menjelajahi pulau Banyak yang letaknya di Aceh Singkil. Saat penjelajahan itu, aku bercerita kepadanya tentang rencana liburanku di bulan Juni, dan ia menyatakan diri ingin ikut serta dalam perjalanan ini.

Untuk bisa menginjakkan kaki di Sulawesi, aku harus terbang dari Medan menuju Jakarta dan Jakarta menuju Manado. Kenapa Manado? Karena pulau selanjutnya adalah Nusa Tenggara Timur (NTT) alias Flores, maka akan lebih mudah jika kami lebih dulu menjelajahi Sulawesi Utara lalu merayap perlahan hingga Sulawesi Selatan dan terbang lagi menuju NTT. Selain hemat waktu, juga hemat biaya! Hehehe!

Berbeda denganku, Cas harus sedikit lebih repot untuk bisa tiba di Sulawesi karena visanya yang sudah hampir habis. Setelah dua bulan di Indonesia (Sumatra dan Jawa), ia terbang ke negeri Jiran Malaysia, tepatnya Kuala Lumpur. Dari Kuala Lumpur, Cas terbang menuju Makassar dan kembali mengajukan Visa disana. Pada hari yang sama, ia terbang ke Manado. Ya, bukan hal mudah alias perlu pengorbanan untuk bisa menginjakkan kaki di Sulawesi. 

Sebelum kami tiba di Sulawesi, aku telah menyusun sedikit rencana perjalanan bagi kami berdua. Maklum, aku orang yang well-organized dan butuh kepastian kemana aku akan pergi, berbeda dengan Cas yang go with the flow.  Maka sebelum aku tiba di Sulawesi, aku telah melakukan beberapa research dan menyusun rute perjalanan kami. Namun kami berdua bukan tipe orang yang kaku, jadi semua rencana kami bisa berubah sewaktu-waktu, tergantung mood dan situasi ditempat tersebut.

Bagi yang penasaran mengenai rute perjalanan kami, berikut rute perjalanan kami :
11.  Sulawesi Utara hingga Selatan :
Manado > Tomohon >  Gorontalo > Kotamubago > Bogani Nani Wartabone National Park > Togian Island > Ampana > Palu > Makassar > Rantepao (Tana Toraja) > Makassar.

22.  Nusa Tenggara Timur (NTT) Alias Flores :
Maumere > Larantuka > Lembata Island > Moni Village > Ende > Bajawa > Ruteng > Labuan Bajo > Lombok > Bali.

Okay, aku akan menjelaskan secara garis besar isi perjalanan kami di Sulawesi terlebih dulu.  
Here we go!

Kami sama-sama tiba di Manado pada 10.45 PM. Pesawat Cas tiba 20 menit lebih awal dari pesawatku, akhirnya dia harus menunggu aku tiba. Dari Sam Ratulangi Airport Manado, kami langsung menuju salah satu hotel di pusat kota Manado untuk beristirahat karena kami sudah terbang seharian, tenaga kami sudah habis pada hari itu. Hari pertama kami di Manado cukup santai, kami menuju salah satu museum di Manado yaitu Museum Negeri Propinsi Sulawesi Utara (Free Entrace – Donation Only) lalu sore harinya kami bertemu dengan dua orang masyarakat lokal yang aku kenal dari situs Couchsurfing. Dari bincang-bincang seru ini, mereka menawarkan kami untuk berkunjung ke Tomohon dengan mereka. Tentu saja, aku dan Cas setuju! Tidak ada alasan bagi kami untuk menolak kebaikan mereka. Mereka akan menunjukkan beberapa spot di Tomohon, bahkan meminjamkan sepeda motor kepada kami. Keesokan harinya kami berempat berangkat ke Tomohon dengan sepeda motor dan perjalanan ditempuh selama 1,5 jam untuk bisa tiba di Danau Linow, salah satu danau cantik yang membuatku betah duduk berlama-lama. Kami juga mengunjungi dua buah air terjun di Tomohon, namun kami tidak memiliki waktu yang cukup untuk mendaki gunung Lokon dan Mahawu. Kami menginap satu malam di Tomohon dan keesokan harinya sebelum kembali ke Manado, kami mengunjungi Extreme Market di Tomohon. Di Tomohon, dimana orang-orang Minahasa lokal mengatakan bahwa mereka makan hewan apapun yang berkaki empat kecuali meja dan kursi. Di pasar ini saya melihat monyet, kelelawar, kucing, anjing, babi, tikus, bajing dan bahkan ular raksasa diletakkan di atas meja dengan ekspresi menyakitkan masih terukir di wajah mereka. Beberapa anjing masih dalam kondisi hidup berada didalam kandang menunggu untuk diekskusi. Sedih sekali berada ditempat ini. Selama berkeliling pasar tradisional ini, aku tak bisa melepaskan genggamanku dari lengan Cas karena tidak tahan melihat penderitaan hewan-hewan malang ini. Tapi, inilah Tomohon dan tradisi setempat. Mereka pemakan segala! Haha.

Sore harinya, kami kembali ke Manado karena kami akan kembali melanjutkan perjalanan menuju Gorontalo dan Kotamubago pada malam hari. Kami menggunakan Private-Shared Taxi (Sejenis mobil Avanza/Innova) untuk ke Gorontalo. Manado-Gorontalo ditempuh dalam waktu 10 Jam dan dari Gorontalo ke Kotamubago ditempuh selama 6 Jam. Kami tiba di Kotamubago pada keesokan malam harinya dengan kondisi pinggang yang hampir patah karena terlalu lama duduk di dalam mobil, belum lagi jalan yang berliku membuat kepala kami pusing tujuh keliling. Haha. Sesampainya di Kotamubago, kami tewas didalam kamar hostel. Kami tidur hingga keesokan harinya dan dari Kotamubago kami melanjutkan perjalanan menuju Toraut. Perjalanan ke Toraut kami lewati selama 2 jam didalam angkot biru bersama warga setempat, lalu kami melanjutkan perjalanan dengan ojek selama 30 menit untuk bisa tiba di Bogani Nani Wartabone National Park. Melelahkan!

Bogani Nani Wartabone National Park ini lebih sepi dibandingkan dengan Tangkoko National Park, salah satu faktornya adalah lokasi yang sangat jauh. Tangkoko National Park hanya 2 jam dari Manado sedangkan Bogani Nani? Jauh sekali! Silahkan dihitung saja berapa jam yang kami habiskan dari Manado untuk bisa tiba disini. Tetapi, yang membuat kami senang adalah tempat ini sepi bahkan boleh dibilang minim signal handphone! Haha. Tidak ada guesthouse apalagi hotel, hanya ada rumah singgah milik Taman Nasional Bogani. Tidak ada yang memasak untuk kami, maka kami harus memasak makanan kami sendiri disini! Aku bertugas untuk memasak sedangkan Cas bertugas mencuci piring kotor setelah kami selesai makan. Haha. Kami juga melakukan trekking kedalam taman nasional dan melihat berbagai macam burung, serangga kecil dan menemukan air terjun didalam sana!

Dari Bogani Nani Wartabone National Park, kami melanjutkan perjalanan selanjutnya ke Togian Island. Kami menempuh perjalanan selama 13 jam dari Gorontalo dengan menggunakan Ferry. Ferry berangkat pada pukul 8.00 PM dan tiba di Wakai pada 09.00 AM keesokan harinya. Dari Wakai, kami sudah ditunggu oleh Mas Ajo! Mas Ajo adalah salah satu pekerja di penginapan yang bernama Harmony Bay. Kami menginap selama tiga malam di Harmony Bay, untuk bisa tiba disini kami harus menempuh perjalanan 30 menit lagi dengan boat kayu. Harga menginap disini tidak begitu murah dibanding penginapan lain. Dengan IDR300.000/malam/orang, kita sudah mendapat fasilitas makan tiga kali, snack satu kali dan alat snorkeling. Kamarnya cukup luas untuk dua orang dengan kamar mandi didalamnya. Pemandangan yang kami lihat setiap hari adalah laut luas dengan bonus sunset setiap sore hari sambil bermalas-malasan di hammock yang disediakan di balkon kamar kami. Harmony Bay ini sangat nyaman, bukan hanya staff yang ramah, makanan yang enak, tetapi juga kita bisa langsung snorkeling tanpa harus menyewa boat atau membayar lebih untuk trip lainnya. Lokasinya disebuah pulau yang tidak berpenghuni, tidak ada signal handphone dan arus listriknya pun hanya bisa digunakan setiap pukul 5.00 sore hingga 11.00 malam saja. Benar-benar meninggalkan gadget dan menikmati keindahan Togian Island. Pada hari ketiga, kami menyewa kapal boat dan mengunjungi pulau lain di Togian Island, yaitu Una-Una. Kenapa Una-Una? Karena ada Gunung! Haha. Cas itu penggemar Gunung. Kakinya akan gatal-gatal kalau dia tidak mendaki gunung. Haha. Akhirnya, selama 3 jam kita masuk lagi kedalam hutan, mendaki air terjun, melewati danau untuk bisa sampai di kawah Una-Una. Sebelum kesana, saya sudah diperingatkan Mas Ajo bahwa biasanya wanita tidak akan sanggup kesana karena medannya yang berat. Saat kembali ke Harmony Bay dan mendengar bahwa  aku menyelesaikan perjalanan hingga kawah Una-Una, Mas Ajo ini mengatakan bahwa mungkin aku adalah Wanita Indonesia pertama yang berhasil. Karena sepengetahuannya, selain tidak begitu menarik, akses yang berat juga sering jadi kendala bagi perempuan. I did it! Sedikit bangga dengan diri sendiri walau ketika kembali ke kapal, aku merasa butuh kaki baru! Hahaha. You did it, Erica! 6 hours walking loh! Hahaha. Timur Indonesia adalah rahasia surga - semuanya hijau, biru, tropis, eksotis. itu seperti mimpi. Timur Indonesia, Truly Oceania! Langit malam dengan selimut yang berkilauan bintang dan suara deru ombak adalah pemandangan paling menakjubkan dan romantis yang pernah aku lihat. Aku pasti akan merindukan ini.

Dari Togian, perjalanan berlanjut ke Makassar. Tapi, lagi-lagi tidak mudah! Tidak Percaya? Nih, aku kasih ilustrasinya! Harmony Bay ke Wakai 30 menit dengan kapal kayu, Wakai ke Ampana ditempuh 4 jam dengan ferry boat, lalu Ampana ke Palu selama 8 jam dengan bus yang super sempit, non AC, dan berdesak-desakan dibagian belakang bus. Karena kami trauma dengan perjalanan darat yang sudah kami lalui beberapa hari di Sulawesi, akhirnya kami memilih terbang saja dari Palu ke Makassar untuk menghemat waktu, tenaga dan emosi. Haha. Kami tiba di Makassar pada sore hari pukul 4.00 dan segera pergi ke terminal bus untuk melanjutkan perjalanan ke Rantepao / Tana Toraja. Bus kami kali ini sangat-sangat-sangat nyaman! We can adjust the seat (Woo-Hoo!!!), AC-nya dingin, disediakan selimut dan aku tidur sepanjang perjalanan ke Rantepao karena sangat lelah akibat perjalanan dari Togian ke Makassar yang super panjang ini. Hahaha. Kami tiba di Rantepao keesokan pagi hari pukul 5.30 AM dan langsung menuju Riana Guesthouse. Tanpa banyak negosiasi, setelah ditunjukkan kamar kosong oleh pemilik guesthouse, aku dan Cas langsung terkapar di ranjang. Kami tidur dari pukul 6.00 pagi hingga 11.00 siang. Kami benar—benar tidur! Benar-benar terlelap karena suasana di Rantepao yang juga adem, dingin dan hujan pada kala itu. Setelah bangun dari tidur panjang dan dalam, kami mandi, lalu siap untuk mengisi perut! Hari pertama kami di Rantepao juga sangat santai akibat lelah yang menggerogoti kami di hari sebelumnya. Kami makan, ngopi, nonton pertandingan sepak bola lalu makan lagi, tapi semua itu kami lakukan sambil menyusun rencana perjalanan untuk keesokan harinya.

Di dataran tinggi di ujung utara semenanjung tersebut adalah, wilayah daratan pegunungan yang orang mempertahankan cara-cara kuno dan bangga dalam rumah sabit beratap mereka. Toraja, karena itu akrab dipanggil, tentu Shangri-La dari Sulawesi Selatan.

Kami memutuskan untuk menjelajahi sisi Utara dari Rantepao terlebih dulu, yaitu Batutumonga. Harus saya katakan bahwa… Batutumonga sangat dingin!!! Tidak heran jika menyebutkan negeri diatas awan. Kami menyewa sepeda motor dan saya sebagai supirnya saat perjalanan menuju Batutumonga. Coba bayangkan betapa dinginnya ketika mengendarai sepeda motor! Kami melihat landscape yang luar biasa dan senyum masyarakat lokal menghiasi disepanjang perjalanan kami menuju Batutumonga. Melewati desa satu-jalan, kami melihat pemandangan yang menakjubkan hanya dari sisi jalan, sawah yang bertingkat, bersinar kuning terang dan hijau di bawah sinar matahari, dengan latar belakang yang sempurna dari langit biru murni dengan beberapa awan putih besar. Kami berhenti disebuah rumah kecil untuk beristirahat dan menikmati secangkir kopi serta sepiring mie yang menghangatkan tubuh kami pagi itu. Benar-benar indah. Kami juga mengunjungi Lokomata yang merupakan lubang cukup besar untuk memasukkan peti mati ke dalam batu besar. Selanjutnya destinasi terakhir di Batutumonga adalah Pana, dimana kami melihat pohon yang berisi kuburan bayi yang meninggal sebelum mampu berjalan. Mereka kemudian dimakamkan di pohon, menurut tradisi, pohon dianggap sebagai simbol utama dari kehidupan. Dengan mengubur bayi mereka - hanya mereka yang tanpa gigi - dalam pohon, pohon akan bertindak sebagai ibu baru bagi bayi tersebut, dan getah sebagai susunya. Selama pohon hidup, bayi tersebut akan terus memiliki kehidupan baru di dalam. Kuburan kecil ditutupi oleh penutup bambu. Lalu kami kembali ke Rantepao dan mengunjungi Londa. Dalam gua Londa, banyak peti mati dimakamkan, berfungsi sebagai kuburan unik bagi masyarakat Tana Toraja. Kamu akan melihat, banyak kerangka yang berserakan di sekitar gua. Diperingatkan ada tulang di mana-mana dan itu sedikit menakutkan, dibutuhkan cahaya untuk mengunjungi gua-gua. Kamu dapat menyewa lentera gas jika mau, tetapi kamu juga dapat hanya menggunakan cahaya pada ponselmu.

Hari selanjutnya, kami menjelajahi apa yang ada di bagian selatan dari Sulawesi dan kami berkesempatan untuk melihat tradisi kuat yang ada di Tana Toraja, aku yakin bahwa semua turis yang datang ke Tana Toraja memiliki tujuan yang sama, yaitu melihat dan mengikuti pesta kematian orang Toraja! Orang-orang Toraja adalah pemeluk agama Kristen yang taat, namun mereka masih mempertahankan tradisional, ritual kematian animisme mereka. Di antaranya adalah keyakinan besar setelah mati. Mayat dapat dipertahankan selama berbulan-bulan dan bahkan sampai satu tahun sampai upacara pemakaman yang tepat diadakan. Almarhum dimakamkan dengan barang yang mereka perlukan dan hewan dikurbankan sehingga jiwa mereka juga dapat mengikuti jiwa seseorang kehidupan setelah mati. Dalam arti, itu mengingatkanku pada keyakinan orang Mesir kuno. Puluhan babi dikurbankan, terlihat ratusan orang menghadiri upacara pemakaman yang mereka sebut sebagai ‘pesta’ kematian ini. Dihadapan kami, dihidangkan berbagai cemilan, minuman bahkan makan siang. Kami membawa buah tangan berupa rokok, gula, kopi, dan teh sebagai bentuk hormat kami kepada keluarga yang mengalami kemalangan. Kami (Aku tidak berani melihat, tetapi Cas melihatnya langsung proses sembelih babi itu >.<) mendengar jumlah tak terbatas memekik. Lebih dari setengah lusin babi dalam proses disembelih, mengerikan untuk menonton, Cas menontonnya! Aku hanya berdiri jauh dari tempat sembelih sambil menutup telinga dan bernyanyi untuk mengalihkan pendengaran dari suara babi yang sedang disembelih. Pria dengan pisau besar membuat satu sayatan dan kemudian membiarkan babi mati kehabisan darah. Maka perut dipotong terbuka lebar dan semua organ ditarik keluar dalam satu gerakan dan meletakkan di atas tikar bambu. Kemudian, orang yang membawa penyembur api pergi untuk bekerja pada babi, memanggang itu. Setelah hampir 2 jam disana, inilah yang ditunggu-tunggu oleh seluruh orang yang ada diacara 'pesta' kematian itu.. Yaitu acara kurban makhluk yang dianggap sebagai binatang yang paling penting. Dalam ‘pesta’ kematian ini yaitu Kerbau! Lagi-lagi aku tak berani melihat adegan sadis ini, Cas melihatnya! Haha. Kami meninggalkan tempat tersebut setelah acara puncak ini selesai.

Lalu kami juga mengunjungi Kambira yang letaknya 40 menit berkendara dari Rantepao. Kambira sama seperti Pana yang kami kunjungi kemarin, Kambira adalah tempat pohon yang berisi kuburan bayi yang meninggal sebelum mampu berjalan, bedanya di Kambira pohonnya lebih besar dari yang ada di Pana. Dari Kambira, kami pergi ke Kete Kesu. Kete' Kesu memang terbilang lengkap, disini terdapat gua, rumah tongkonan dan makam tebing. Desa ini berusia lebih dari 300 tahun dan diklasifikasikan sebagai Situs Warisan Dunia UNESCO. Desa ini memiliki 6 Tongkonan, yang merupakan bangunan tradisional yang dimiliki oleh bangsawan Toraja di mana nenek moyang mati disimpan. Bangunan-bangunan ini memiliki atap Saddleback tradisional, yang seharusnya mewakili tanduk kerbau. Ada juga 12 lumbung tradisional di mana beras disimpan. Semua bangunan di Ke'te Kesu yang indah dihiasi dengan gaya tradisional Toraja dengan desain bergaya dan geometris dalam warna merah, kuning, hitam dan putih yang dilukis di dinding. Di sisi belakang, kami melihat kuburan gantung milik orang Toraja. Peti mati disusun berdasarkan kelas sosial - orang kaya digantung lebih tinggi, yaitu lebih dekat ke surga, sedangkan makam orang miskin sering beristirahat langsung di tanah.

Sulawesi memang unik! Tidak hanya bentuk pulaunya yang unik menyerupai huruf ‘K’, tetapi juga keindahan alam, tradisi dan budaya setempatnya! Semua yang ada di Sulawesi menjadi kenangan indah dan pengetahuan baru bagi siapa saja yang menginjakkan kaki disana. Aku berharap bisa kembali lagi kelak, karena masih banyak sisi yang tidak ku kunjungi.  Dataran tinggi Sulawesi benar-benar adalah salah satu yang menarik dari Indonesia. Budaya yang unik dan pedesaan yang indah membuat liburan di sini menjadi pengalaman yang tak terlupakan. Aku berharap artikel ini telah memberikan beberapa ide tentang apa yang dapat dilakukan di Sulawesi!

Sulawesi, I’m in love!

Untuk foto, silahkan klik :
https://www.facebook.com/EriCaYiNz/media_set?set=a.1214954968529029.100000436137749&type=3