Selasa, 19 Mei 2015

Setitik Cahaya Untuk Lisa

Aku tak tahu harus menulis apa tengah hari ini, tapi entah mengapa keinginan saraf otakku untuk menulis menggiring tangan serta jemariku untuk kembali menyapa dan menyentuh laptopku yang manis. Aku juga tak tahu mengapa semua memori dalam otakku kembali bangkit. Ntah mengapa sejak semalam aku teringat masa kecilku, ketika aku menangis dicubit ibuku tersayang karena baju seragam SD ku yang kotor akibat bermain dengan teman sepermainanku. Aku teringat ketika aku masih ingusan dan menangis ketika harus pergi kesekolah pada kondisi yang masih sangat mengantuk dipagi hari, dan masih banyak kisah lucu lainnya yang membuatku tersenyum kala mengingat masa-masa SD ku.

Namun masa SD ku tak seindah masa SMP dan SMA ku, dikala duduk dibangku sekolah menengah pertama dan sekolah menengah atas, aku harus mengusahakan sendiri biaya sekolahku agar aku bisa tetap kembali bersekolah seperti teman-teman sebayaku yang lain. Saat itu, ayahku hanya seorang pebisnis yang bangkrut. Lalu ia juga menjadi seorang supir, penjual bawang goreng hingga akhirnya menjadi penjual aksesoris handphone. Ibuku sempat menjadi TKI di Singapura beberapa tahun demi membantu ayahku mencari nafkah. Lalu, ia kembali ke Indonesia. Namun tak berapa lama kemudian ayah dan ibuku bercerai.

Ketidaksanggupan ayah dan ibuku memberikan pendidikan yang layak untuk keempat buah hatinya kala itu adalah sebuah pelajaran yang tak terhingga bagiku. Hidup mewah yang kurasakan sejak kecil hilang ketika usiaku menginjak remaja. Kami pernah mengalami peristiwa kehabisan persediaan beras. Mau hutang pada tetangga sudah tidak mungkin lagi. Sudah banyak tetangga yang dimintai tolong untuk meminjami uang atau beras. Belum ada satupun yang kami bayar. Kami malu bila harus datang lagi ke salah satu dari mereka untuk meminjam uang atau beras. Begitupula dengan uang sekolah, aku sudah dua kali memohon keringanan dari kepala sekolah, sekarang aku tinggal membayar separuh dari uang sekolah semula. Namun ini masih sangat terasa berat sekali. Aku pernah meminta bantuan pada seseorang ternyata tidak diberi, melainkan mendapatkan jawaban yang sangat menyakitkan hati.

Dengan angkuh dia mengatakan : “Kalau memang tidak mempunyai uang mengapa sekolah disana? Daripada ngerepotin orang lain, mendingan kerja aja. Jangan sok mau sekolah deh, makan aja keluarga lu sering ngutang!”.

Aku dan adik-adikku tidak pernah menuntut. Makan hanya dengan nasi dan garam pun kami diam saja, meski banyak teman kami makan nasi dengan lauk dan sayur. Kami juga jarang sekali meminta uang jajan. Kesulitan dan penghinaan bertubi-tubi dari teman-teman sekelas membuatku bangkit, awalnya aku sering bolos karena takut ditagih uang sekolah oleh wali kelasku, aku diminta berdiri dikantor guru jika aku terlambat membayar uang sekolah membuatku malu. Aku harus sekolah, aku harus menjadi juara kelas, aku harus menjadi orang sukses. Aku harus membuat mereka berhenti mengolok-olokku dan keluargaku. Inilah menjadi pemicu bagiku untuk sekolah sambil bekerja. 

Aku tumbuh menjadi gadis yang ambisius, aku selalu berusaha keras untuk apa yang ku inginkan, aku berusaha sekeras mungkin mencari uang dengan cara yang benar ketika aku masih duduk dibangku sekolah, ku sabet  semua penghargaan dikelas, dan sekolah. Juara kelas, juara olimpiade, juara lomba ini dan itu ku raih, itu semua karena aku sudah tidak tahan diolok-olok teman sekelasku sebagai anak pemalas yang suka membolos. Namun aku tidak mungkin dan tidak dapat menerangkan pada merekaa tentang kesulitan hidup yang ku jalani.

Kemarin malam, ketika salah satu teman memberitakan seorang anak terancam tak dapat mengikuti ujian karena masih menunggak biaya sekolah, hatiku tiba-tiba terasa sakit. Seolah-olah aku melihat diriku sendiri. Dulu, setiap hendak ujian, aku harus dipenuhi ketakutan karena ketidaksanggupan orangtuaku melunasi uang sekolahku. Miris rasanya jika harus ada anak yang putus sekolah karena keterbatasan ekonomi yang dialami oleh keluarganya. Seandainya setiap orang mau membantu satu anak saja, maka tidak akan ada lagi anak Indonesia yang berhenti sekolah karena masalah ekonomi.
Pemerintah sudah saatnya memberikan anggaran biaya pendidikan yang lebih besar dari sebelumnya. Banyak anak-anak yang kecerdasannya diatas rata-rata namun tidak dapat mengenyam pendidikan yang layak hanya karena ketidakmampuan ekonomi keluarga. Disisi lain, banyak anak-anak yang berasal dari keluarga mampu namun menyia-nyiakan dan melupakan pendidikannya. Miris sekali pemandangan seperti ini.

Saya memutuskan memberikan bantuan bagi Lisa, memberikan kebahagiaan pada gadis kecil ini agar dapat mengikuti ujian seperti teman-temannya yang lain. Memberikan sebungkus nasi hanya menghilangkan penderitaan akibat lapar. Namun memberikan kesempatan bersekolah kepada satu orang, akan membantunya seumur hidup! Aku punya janji yang harus kutepati dalam hidup ini, yaitu “Mencerdaskan kehidupan bangsa” dan aku harus menepatinya. Gadis kecil ini tak perlu tahu siapa yang menolongnya, karena tugasnya hanya belajar dengan baik dan berbakti kepada orangtuanya.
Dunia ini akan lebih indah jika kita saling membantu sesama, tak peduli apa sukunya, apa warna kulitnya dan apa agamanya, karena kebaikan tak terbatas pada suku, warna kulit dan agama. 

Majulah! Majulah! Majulah! Berikan yang terbaik bagi kehidupan..

Semoga aku menjadi makanan bagi yang lapar, 
Semoga aku menjadi obat bagi yang sakit,
Semoga aku menjadi jembatan bagi yang menyebrang,
Semoga aku menjadi pelita bagi yang dalam kegelapan,
Semoga aku menjadi pelindung bagi yang takut..
TADAAAAAA! Sudah LUNAS!

Sepucuk Surat Untuk Lisa

Untuk Lisa..


1 komentar:

AGUS SALIM mengatakan...

Salut...semoga tindakan baik ini banyak di tiru