Rabu, 24 Juni 2015

A WEEK'S BACKPACKING IN THE CEYLON (Part I)

Siapa yang tidak mengenal Negara Sri Lanka? Negara ini sebelumnya dikenal sebagai Ceylon pada zaman penjajahan Britania, di Asia Selatan. Ini adalah sebuah negara pulau di Samudra Hindia, selatan India. Slogan terkenal Sri Lanka sering disebut "Permata Samudra Hindia" karena bentuknya dan juga keindahan alamnya. Hal ini menyiratkan Sri Lanka sebagai Negara yang diberkati dengan berbagai wisata alam dan budaya. Untuk wisatawan Asia yang antusias, Sri Lanka adalah pulau bernilai tidak akan hilang dalam buku harian perjalanan. Sri Lanka datang dengan bangga ke berbagai rapi pulau highlights sebagai pantai dibedakan, satwa liar berlimpah di hutan hujan, pegunungan dan hiking trails, warisan budaya, perkebunan teh, Buddhisme dirayakan lebih berwarna dengan keramahan yang luar biasa di atas semua.

I was lucky to have booked our flight from North Sumatera, Indonesia to Sri Lanka with Air Asia Airlines. Mungkin tak banyak orang yang berkeinginan untuk mengunjungi Sri Lanka, dan tak pernah terbesit sedikitpun dalam benak saya untuk merencanakan perjalanan ke Sri Lanka apalagi dengan style backpacker seperti ini. Perjalanan ini sungguh indah dan memberikan kesan tersendiri dalam benak saya, saya menamainya A week's backpacking in the Ceylon.

Akhirnya setelah transit dan tidur ngemper di Kuala Lumpur semalam suntuk, pukul 10.35 tibalah kami di Bandaranaike International Airport Colombo – Sri Lanka. Perjalanan dari Kuala Lumpur menuju Sri Lanka adalah 3 jam 5 Menit. 
Ngemper di Kuala Lumpur International Airport

Sri Lanka, I'm COMINGGGGGG!


Waktu di Sri Lanka adalah 1,5 jam lebih lambat dari waktu di Medan. Sesampainya kami di Bandara, kami sudah ditunggu oleh Sayalay Titikkha dan Venerable Piyaratana yang berasal dari Na Uyana Aranya Senāsanaya.  Na Uyana Aranya Senāsanaya berarti 'Ironwood Grove Forest Monastery' adalah sebuah Wihara Buddha di hutan Kurunegala, Sri Lanka. Luas Na Uyana  lebih dari 5000 hektar hutan di pegunungan 'Dummiya', dan tinggal sekitar 100 Bhikkhu. Na Uyana dinamakan demikian karena hutan kayu ulin Ceylon tua yang merupakan bagian dari wihara. Na Uyana juga memiliki wihara yang menampung kurang lebih 70 wanita yang ingin melatih diri dan para Sayalay yang disebut Dhammika Ashramaya. Dhammika terletak 2.5 kilometer dari Na Uyana Monastery.
Sayalay Titikkha. Asli orang Medan dan sedang berlatih di Sri Lanka.

Setelah menukar uang di Money Changer, saya pergi ke salah satu counter penjualan kartu telepon genggam yang ada di Bandara. Saya menggunakan kartu “Dialog” selama berada di Sri Lanka, harganya cukup bersahabat dan jaringan sinyalnya sangat baik. Harga yang ditawarkan adalah LKR 1399 atau setara dengan Rp. 145.000. Harga tersebut sudah termasuk pulsa, paket SMS dan Mobile data 2GB. Murah, kan?

Saya beserta rombongan dibawa oleh Sayalay Titikkha dan Venerable Piyaratana untuk menemui Venerable Ariyadhamma Maha Thera. Bhante Ariyadhamma adalah Bhikkhu Buddhis Sri Lanka yang senior yang juga merupakan guru meditasi tersohor di Sri Lanka. Usia beliau 76 tahun dan sudah menjadi Bhikkhu selama 56 Vassa. Beliau saat ini sedang mengalami beberapa gangguan kesehatan. Hal berkesan yang pernah saya dengar tentang yang mulia Bhante Ariyadhamma adalah beliau menyatakan tekad untuk jadi Sammasambuddha, sama seperti Pangeran Siddharta yang ingin menjadi Buddha. Konon katanya, lantunan pembacaan Paritta dari beliau memiliki energy positif yang dahsyat,  karena itu masyarakat Sri Lanka sangat menghormati beliau. Saya bersyukur dan berterima kasih karena berkesempatan bertemu beliau dan berdana untuk Bhikkhu Sangha yang ada di Wihara beliau. Bhante Ariyadhamma Maha Thera nampaknya senang sekali melihat kedatangan kami, terlebih lagi ketika beliau mengetahui kami akan tinggal di Na Uyana Monastery. Kami adalah grup pertama yang datang dari Indonesia yang menginap disana.
Venerable Ariyadhamma Maha Thera.

Berjalan kaki sekitar 15 menit untuk menemui Bhante Ariyadhamma, HUTAN ALAMI.

Ruangan dimana para Bhikkhu melakukan Chanting dan Meditation  di Wihara tempat Bhante Ariyadhamma tinggal.

FOTO BERSAMA DENGAN VENERABLE ARIYADHAMMA MAHA THERA.

Ksehatan Bhante Ariyadhamma mulai menurun.

Gerbang masuk wihara dimana Bhante Ariyadhamma tinggal, jalanan cukup rusak.


Chanting and Meditation

Setelah mengunjungi Venerable Ariyadhamma Mahathera, kami melanjutkan perjalanan menuju Na Uyana yang ditempuh selama kurang lebih 4,5 jam. Sesampainya di Na Uyana sekitar pukul 10.30 malam, kami tidak lagi berkesempatan menemui kepala Wihara Na Uyana Monastery yaitu Venerable Ariyananda Thera. Bhante Ariyananda Thera adalah The senior meditation instructor at Nauyana Meditation Centre sekaligus Murid dari Venerable Ariyadhamma Mahāthera yang merupakan Ketua Sangha Negara Sri Lanka. Pada Tahun 1999, bersama dengan 10 Bhante Lainnya, Bhante Ariyananda pergi menuju Nā-Uyana Forest Monastery untuk mendirikan Yayasan Shrī Kalyāni Yogāsrama. Sejak saat itu, Beliau juga menjadi Penasehat Spiritual dan Guru Meditasi di Nā-Uyana Forest Monastery yang pada saat ini mempunyai 100 Bhikhu dan 30 Upasakha. Sejak tahun 2003 pula, Beliau juga menjadi Penasehat Spiritual dan Guru Meditasi di Dhammika Ashramaya, Sebuah Monastery Bhikhuni di Sri Lanka yang pada saat ini mempunyai 70 Bhikhuni dan Upasika. Waktu yang sudah snagat larut ini memaksa kami harus menerima kenyataan bahwa menghadap Bhante Ariyananda tidak bisa kami realisasikan malam ini, namun kami telah membuat janji akan menghadap beliau keesokan harinya.
Ven, Ariyananda Thera adalah The senior meditation instructor at Nauyana Meditation Centre.

Ramah - Tamah bersama Bhante Ariyananda Thera.

FOTO BERSAMA


  Setelah tak berkesempatan menemui Bhante Ariyananda malam ini, kami dibawa menuju kamar penginapan yang disediakan oleh Na Uyana. Untuk bisa tiba di kamar, kami harus memanjat keatas sekitar 10 menit, tidak ada lampu penerangan jalan, kami hanya mengandalkan lampu senter saja. Kami diberitahu oleh Sayalay Titikkha bahwa kamar yang disediakan untuk kami adalah kamar terbaik, alias kamar dengan highest standard karena pada umumnya, kamar yang ada di Na Uyana masih menggunakan tikar, toilet tradisional dan kasur jerami. Bangunan semen di Na Uyana adalah golongan bangunan yang berkualitas tinggi. Walau kamar kami tergolong nyaman dan bersih, tapi selama kami menginap, kami selalu kesulitan untuk mendapatkan air untuk mandi. Setiap pagi, air di penginapan kami tidak mengalir. Kami terpaksa harus mandi pada malam hari agar tidak perlu mandi lagi keesokan hari ini. Tak hanya itu, letak penginapan kami yang cukup tinggi dan berada ditengah hutan, membuat kami harus kedinginan setiap malam walaupun kami tidak menggunakan kipas angin dan AC karena angin yang menerpa penginapan cukup kuat. Walau begitu, over all kami bahagia!

TADAAAAA!!! Sederhana namun memberikan kenangan dan kebahagiaan tak terhingga.

Keesokan paginya, kami bangun sekitar pukul 04.30 pagi dan turun gunung untuk mengikuti acara Pindacara. Salah satu cara kehidupan sebagai seorang pabbajitta/samana adalah melakukan pindapatta. Para bhikkhu, bhikkhuni, samanera, samaneri menerima dana makanan dengan cara demikian. Pindapatta berasal dan dua suku kata, yaitu: Pinda dan Patta. Pinda berarti gumpalan/bongkahan (makanan) dan Patta berarti mangkuk makan. Jadi dapat diartikan pindapata adalah pengumpulan makanan dengan mangkuk oleh para bhikkhu dari rumah ke rumah penduduk. Kebetulan kami memang telah menyiapkan keperluan Pindapatta yang kami bawa dari Indonesia. Kami membawa beberapa makanan khas kota Medan untuk diberikan kepada para Bhikkhu. Sekitar pukul jam 06.00 pagi, dari kejauhan saya melihat para Bhikkhu sudah berbaris sesuai vassa mereka. Urutan barisan biasanya dimulai dari vassa / usia kebhikkhuan tertua hingga termuda. Saya lihat pula masyarakat setempat telah bersiap-siap membasuh kaki dan mengeringkan kaki para Bhikkhu tersebut sebelum berjalan diatas jalur pindapatta yang telah disiapkan. Ada rasa haru dan bahagia yang menyelimuti diri saya. Para Bhikkhu berjalan untuk menerima derma makanan diiringi dengan lantunan paritta Sanghanussati yang dilantunkan oleh kami semua. Saya tidak pernah melihat acara pindapata yang se-khidmat ini. Saya sungguh bahagia. Jalur pindapatta yang dipersiapkan sungguh luar biasa apik, bukan hanya sekedar ada saja, namun saya melihat jalur pindapatta yang dihiasi oleh bunga-bunga di tiang bangunan dan disepanjang jalur menuju pengambilan makanan, masyarakat setempat melakukan semuanya dengan totalitas dan kesungguhan, bukan hanya asal ada saja.  Syukurlah, saya memiliki kesempatan mengikuti kegiatan pindapatta ini setiap pagi selama menginap di Na Uyana. Betapa senangnya saya!

Rombongan Bhikkhu datang dari kejauhan.

Membasuh dan mengeringkan kaki para Bhikkhu.

Para umat mengisi makanan kedalam mangkuk yang dibawa oleh para Bhikkhu.

Para umat selalu mengenakan kostum putih dan berbaris dengan rapi menunggu datangnya para Bhikkhu.

Tidak hanya Bhikkhu, adapula para Yogi lokal dan mancanegara yang berlatih meditasi di Na Uyana. 


Jalur Pindapatta dihias dengan indah oleh umat Sri Lanka pada hari kedua.

Luar Biasa..

Luar Biasa indah..

Sangha is my precious guide shows me what is right.

Rapi sekali...

Bhante Piyaratana 
Usai mengikuti acara tersebut, kami dipersilahkan menikmati sarapan oleh pengurus Na Uyana Monastery. Jika ingin jujur, makanan yang disajikan sangat jauh berbeda dengan makanan di Indonesia. Bahkan, saya hampir muntah karena indera perasa saya belum bersahabat dengan makanan tradisional Sri Lanka. Yang saya dengar, Sri Lanka adalah salah satu yang terbaik dalam membuat kari  di dunia. Kari yang dibuat tidak sama seperti kari-kari yang ditemukan di Indonesia pada umumnya, kari yang dihidangkan biasanya dengan sayuran,  beras, poppadoms, dhal dan berbagai  bahan makanan lainnya seperti kacang hijau atau acar.  Aneh memang, mamun saya tetap menghabiskannya. Saya termotivasi karena melihat banyaknya Bhikkhu dari luar negeri sudah bertahun-tahun hidup di hutan dan menikmati makanan tradisional di Na Uyana. Makanan asli Sri Lanka, bukanlah makanan yang disediakan di hotel-hotel, karena cita rasa dari makanan hotel pastilah berbeda dengan cita rasa makanan yang dimasak oleh penduduk setempat. Saya menikmati semua makanan yang disediakan walau rasanya tidak sesuai dengan harapan saya, namun ketulusan masyarakat disana dalam melayani kami menjadikan segalanya menjadi nikmat!
Sarapan pagi di Na Uyana Monastery.

BANANAAAA...

Bagi saya pribadi, masyarakat Sri Lanka memiliki tingkat keramahan yang sangat tinggi. Setiap pagi ketika saya bertemu mereka diruang makan, menuju toilet ataupun bertemu mereka dimanapun, semuanya menyambut saya dengan senyum berseri-seri. Di Sri Lanka, saya belajar bahwa untuk bahagia itu sangat sederhana, tak perlu rumah mewah ataupun makanan enak ala restoran berbintang. Masyarakat Sri Lanka menjadi contoh bagi saya untuk lebih mudah mencapai kebahagiaan tanpa harus membuat syarat kebahagiaan yang terlalu tinggi. Tak hanya itu, masyarakat Sri Lanka memberikan contoh nyata pada saya mengenai komitmen dan totalitas dalam mengembangkan ajaran Buddha. Di Sri Lanka, kita akan menemukan banyak larangan berfoto dengan membelakangi patung Buddha, dan tak jarang ada tempat yang yang melarang kita berfoto bersama patung Buddha. Kita pun tidak diperkenankan memakai alas kaki jika memasuki rumah ibadah atau situs-situs Buddhis sebagai bentuk respect dan penghormatan kita harus menanggalkan alas kaki kita sebelum memasuki kawasan ibadah. Sungguh satu kebiasaan yang baik!


Sri Lanka, I will back!




















2 komentar:

Unknown mengatakan...

Its cool to leave chaotic life for a while, back to nature, meeting new people in new environment, with different culture, different way of life..

Keep on travelling, keep on sharing, the world is waiting for ur other trips n stories.

You rock!

Unknown mengatakan...

Its cool to leave chaotic life for a while, back to nature, meeting new people in new environment, with different culture, different way of life..

Keep on travelling, keep on sharing, the world is waiting for ur other trips n stories.

You rock!