Senin, 16 November 2015

GURUKU, SAHABATKU.

Masih terekam jelas dalam benakku kejadian 8 tahun lalu yang mengubah hidupku. 8 tahun lalu aku bertemu dengan seseorang disebuah acara yang tak ku duga sekarang menjadi acara yang ku rayakan setiap tahun. Acara yang mengubah hidupku, mengubah pola pikirku dan acara yang membuatku bangkit dari keterpurukan hidup. Di acara tersebut sosoknya muncul pertama kali di hidupku. Ia tak berkata banyak, ia duduk dihadapanku tanpa berbicara, matanya terpejam, tubuhnya statis dan bibirnya tak mengeluarkan sepatah katapun. Tetapi, tak butuh waktu yang lama bagiku untuk mendekati sosoknya yang hangat dan penuh kasih. 8 tahun lalu ia hadir dalam hidupku dan hingga detik ini ia selalu menjadi motivasiku.

Saya berhutang budi kepada ayah saya untuk hidup, tapi kepada guru saya, untuk hidup dengan baik. Kira-kira inilah kalimat yang menjelaskan kejadian 8 tahun lalu. Kejadian 8 tahun itu mengubah hidupku, aku berhutang kepadanya untuk hidup yang lebih baik ini.

Guru adalah kata yang pantas untuknya. Bukan saja mengajari apa yang belum ku ketahui, tetapi ia memanduku, membimbingku, menunjukkan kepadaku apa yang belum ku jalani. Ia memberiku kesempatan untuk menjadi diriku, sebuah hal yang belum pernah ku dapatkan sebelumnya. Ia memberikanku sebuah kepercayaan, sebuah hal yang tak pernah diberikan orang lain sebelumnya. Aku terharu dan serasa ingin meneteskan airmata. Betapa tidak, sosok guru yang selama 8 tahun menemani perjalanan hidupku bahkan ia lebih mengetahui diriku dibanding orangtua kandungku.
Delapan tahun lalu, aku bertemu dengannya disebuah acara, ku lihat ia duduk tenang didepan sana, matanya terpejam. Ketika ia membuka matanya dan berbicara, aku tertegun. Banyak sekali hal baru yang ia sampaikan dan semua yang ia katakan menusuk hatiku, seolah-olah masalahku mendapatkan jawaban setelah sekian lama ku temui jalan buntu. Setelah acara itu selesai, aku ingin tahu siapa sosok yang berbicara didepan tadi, aku ingin rasanya mengucapkan terima kasih karena telah menjawab pertanyaan yang selama ini mengganjal hatiku. Aku malu-malu ketika berhadapan dengannya, mulutku terasa terkunci dan berat berbicara. Ku lihat sosok itu mulai mengembangkan senyum diwajahnya. Senyumnya hangat, tulus, dan tidak terlihat palsu. Aneh, Ia tidak terasa asing bagiku. Rasanya, sudah lama ku kenal sosok ini, tapi entah dimana kami pernah bertemu sebelumnya. Ah, kini ku sadari bahwa kami memang pernah bertemu sebelumnya, memang aku tak ingat dimana tempat kami bertemu, tapi satu yang ku tahu pasti, kami pernah bertemu di kehidupan sebelumnya. Ya, kehidupan sebelumnya.

Kami terlibat pembicaraan panjang, hingga aku memutuskan untuk akan mencarinya kembali. Aku mencarinya terus sejak pertemuan kami 8 tahun lalu. Bahkan aku tak pernah bosan terlibat pembicaraan dengannya. Ia adalah sosok yang memberiku inspirasi dan tidak pernah mengizinkanku puas begitu saja. Ia penuh kasih, peduli, membuatku merasa penting dan disambut, Ia menuntut, mendorongku dengan amat keras, Ia memiliki selera humor yang membuatku merasa tak pernah lelah untuk bercerita dengannya. Ia memiliki pengetahuan yang luas, namun ia tetap rendah hati dan selalu mau mendengarkan orang lain. Ia sederhana dan mudah dilayani. Bagiku ia adalah guru teladan, sungguh aku bangga menyebutnya sebagai guruku.

Bagiku, ia tak hanya sekedar guru. Ia adalah sahabatku, tempatku berkeluh kesah. Ia selalu mengatakan kepadaku, “Jika masukan dan krtitikku tak bisa membantu masalahmu, minimal biarkanlah itu menjadi penghibur bagimu”. Sudah 8 tahun aku mengenalnya dan ia tidak pernah berubah. Ia bagai matahari yang memberikan hangat. Walau terkadang ia begitu menyebalkan, ia sering sekali menyindir dan meledekku didepan orang lain, tapi aku tidak pernah bisa marah kepadanya. Dibalik sindirannya itu, aku tahu ia selalu memperhatikan gerak gerikku walau kami jarang bertemu.

Ia bagai ayah bagiku yang kehilangan sosok ayah kandung beberapa tahun silam akibat perceraian kedua orangtuaku. Ia tidak hanya menyekolahkanku, ia juga mendidikku dengan pelajaran yang tidak didapatkan dibangku pendidikan formal. Diluar aku terlihat kuat, namun hanya dihadapannya aku menunjukkan bahwa aku lemah, hanya didepannya aku menitikkan airmata, sungguh hanya didepannya aku mampu melakukan itu. Aku masih ingat, pidato berbahasa Inggris pertamaku yang ku ikuti. Ada ketegangan dan ketidak-percayaan diri saat aku akan mengikuti ajang perlombaan itu.

Aku mengambil handphone, lalu mengirim sebuah pesan teks kepadanya dan berkata, “Aku sungguh takut akan perlombaan esok. Semua peserta berasal dari perguruan tinggi, hanya aku yang mengenakan rok abu-abu besok. Aku tidak percaya diri. Aku takut”.   
Lalu, ia membalas pesanku, “Lakukan saja. Berikan penampilan terbaikmu. Berbicaralah seolah-olah kamu adalah putri Diana dari kerajaan Inggris yang sedang memberikan pidato kepada rakyatnya”.

Aku pernah terjebak ketakutan selama seminggu sebelum ujian nasional, dan saat aku ketakutan aku selalu mencarinya untuk meminta perlindungan, “Aku takut. Besok ujian nasional dimulai. Bagaimana kalau aku tidak lulus ya? Aku takut, aku tidak bisa tidur”.
Lalu ia membalas pesanku, “Bagus sekali kalau takut, artinya akan belajar sungguh-sungguh. Jika tidak ada rasa takut menghadapi ujian, pasti kamu tidak akan belajar sungguh-sungguh. Benar kan? Kalau besok kamu berkeringat terus disepanjang ujian, jangan lupa bawa kain untuk menghapus keringat dinginmu dan peras keringatmu didalam ember. Ingat, jangan menenggelamkan peserta dan pengawa ujian nasional dengan keringatmu. Semangat!”.

Aku tertawa membaca pesan yang ia balas. Ia tahu betul bagaimana menenangkanku dan mengembalikan kepercayaan diriku. Ia adalah teladan dan inspirasiku. Guru yang tak lekang oleh waktu. Guru yang memberikan contoh-contoh baik dalam kehidupan. Guru yang memberikan semangat hidup dan semangat pengabdian secara nyata. Ia sosok hebat yang pernah kutemui dalam kehidupanku kali ini.

Walau kehilangan kehangatan seorang ayah kandung, kehadirannya menyembuhkan luka itu. Aku bersyukur bertemu dengannya delapan tahun lalu. Dan aku bersyukur dia berhasil membangkitkan nilai-nilai positif dalam diriku. Ia selalu berhasil menginspirasiku dengan setiap kata-kata yang keluar dari mulutnya disetiap pembicaraan kami. Ia selalu berhasil membuatku bangga dengan pemikiran-pemikirannya. Dan ia selalu membuatku berharap, ya.. berharap.


Aku selalu berharap kelak, berkat jodoh baik yang kami jalin selama hidup kami di kehidupan ini dapat mempertemukan kami di kehidupan mendatang untuk menjadi sebuah keluarga yang bisa saling mendukung dan menyemangati hingga tujuan serta cita-cita luhur kami tercapai. 

Setiap aku memejamkan mata, seorang sosok yang hangat, berpengetahuan, baik hati, tulus dan selalu tersenyum selalu menghiasi benakku. Suara dan tawanya selalu terdengar. Bayangannya nyata! 

Terima kasih, Guruku.

Tidak ada komentar: